Sebelumnya, berdasarkan keterangan dari ibu Valyano Boni Raphael, Veronica Putri Amal turut mempertanyakan hasil keputusan Polda Jabar atas pemecatan ini. Ia menjelaskan ada perbedaan hasil tes psikologi dari Polda Jabar dengan beberapa hasil yang sudah dilakukan secara mandiri.
"Anak saya sempat diperiksa oleh SPN Polda Jabar di RSJ Provinsi Jabar dan RS Muhamadiyah. Anak saya di periksa di Poli Jiwa. Saya pernah menanyakan hasil tapi tidak diberikan."
"Kemudian anak kami keluar dari SPN kami ambil, kami melakukan pemeriksaan di biro Psikologi hasilnya berbeda dengan yang dipaparkan SPN yang menyatakan anak kami menderita Psikopat, NPD, dan gangguan jiwa. Hasilnya sehat dari Psikologi Yayasan Indonesia," tutur Veronica.
Setelah itu, Veronica juga melakukan pemeriksaan yang serupa kepada Valyano di Rumah Sakit Polri. Hasilnya juga menyatakan sehat.
"Saya tanyakan bagaimana bisa di rumah sakit yang sama Biro Polda Jabar dan Rumah Sakit Polri dapat dua keterangan berbeda untuk anak kami," ujarnya.
Selain itu, ia juga turut mempertanyakan soal alasan jam pelajaran yang dinilai kurang dipenuhi oleh Valyano. Ia mengetahui dalam satu pendidikan siswa itu 1.200 jam pelajaran (JP) untuk materi dalam sekolah, dan 200 JP untuk latja. Artinya satu hari rata-rata 8 JP.
"Anak kami masuk RS Siloam untuk operasi gigi impaksi pada 16 Agustus sampai 19 Agustus 2024 tapi anak kami harus kembali masuk ke Siloam di mana karena ada pemukulan oleh SPN dan sudah disidang kode etik karena terbukti bersalah akibat pemukulan tersebut. Operasi impaksi anak kami luka sobek jahitannya," katanya.
Lalu Valyano kembali masuk rumah sakit Siloam 29 Agustus sampai 2 September 2024 karena panas dan demam tinggi. Kemudian di rawat di Sartika asih 25-27 Oktober 2024 karena menderita bronkopneumonia dengan leukosit 26.100 dan di hari kedua diminta paksa untuk keluar dari RS dan kembali ke SPN. Padahal, saat itu leukosit baru 15.000.
"Kalau kami mencatat JP yang disampaikan SPN, di sini tertata kalau dihitung 15 hari dikali delapan JP anak kami hanya tidak mengikuti 120 JP di rumah sakit di mana akumulasi dari sekolah kalau 1.200 ditambah 200 JP untuk lantja kalau dihitung 1.200 dikali 12 persen akumulasi sekitar 144 JP. Anak kami masih di bawah 120 JP," katanya.
Di sisi lain, ia menerangkan, saat anaknya keluar dari rumah sakit di hari kedua, diminta langsung ke klinik di SPN. Saat itu, Valyano diminta untuk mengunyah bakwan dingin oleh petugas klinik. Padahal anaknya masih belum lima hari setelah menjalani operasi gigi tersebut.
Setelah itu, Valyano diminta keluar dari barak oleh salah satu petugas dengan baju hitam menggunakan hoodie untuk mengikuti selasar SPN.
"Setelah sampai di selasar anak kami ditutup kepala dengan kain hitam anak kami lalu diminta untuk mengikuti suara petugas itu dan diminta buka baju dan ikat pinggang. Kemudian disuruh tiarap kemudian dipukul dengan lidi dan bekasnya ada," katanya.
Dengan kondisi ini, Valyano melepas jahitannya karena bengkak akibat efek dari kejadian tersebut. Kemudian, pada beberapa hari setelannya, saat hendak latihan judo ada bekas pukulan dari Bripda Glora yang menonjok bagian perut. Kasus ini juga sudah masuk sidang etik.
"Dan di situ ada Pak Aglison menampar anak saya dan jaitan lepas di situ disaksikan oleh Peneas dan Bintang tapi Peneas dan Bintang pada saat sidang kode etik, bilang anak saya hanya didorong bahunya," katanya.
Kemudian, saat dipukul dengan lidi, oknum pemukul tersebut sempat menanyakan mengapa membawa Kabid Dokes saat pemeriksaan di rumah sakit. Petugas tersebut juga menyebutkan nama AKBP Bonifasius.
"Anak saya bingung kenapa ada nama anak bapaknya disebut, bagiamana bisa bawa nama bapaknya, kemudian lidi digabung kemudian dicambuk sebanyak seratus kali. Lalu diminta jangan membuka tutup kepala apabila suara langkah kaki petugas tersebut masih ada, kalau tidak ada boleh tutup kepala," kata Veronica.
Sementara, DPR telah mencatat tiga point penting hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III ini. Salah satunya meminta agar Kapolda Jabar melakukan evaluasi atas pemberhentian Valyano tersebut.
"Komisi Ill DPR RI meminta Kapolda Jawa Barat untuk melakukan evaluasi terhadap pemberhentian saudari Valyano Boni Raphael melalui SK Kapolda Nomor: Kep/1605/XI1/2024 tertanggal 3 Desember 2024 secara transparan dan berkeadilan," ujar Ahmad Syahroni saat membacakan hasil rapat.