Penipu Rp1,8 M Dituntut 6 Bulan, Pengamat: Ini Mengkhianati Keadian

- Jaksa menuntut penipu senilai Rp1,8 miliar hanya 6 bulan penjara, menuai kritik tajam dari ahli dan praktisi hukum.
- Ancaman maksimal 4 tahun menimbulkan pertanyaan akan rasa keadilan publik dan efek jera, serta persepsi buruk di masyarakat.
- Penipuan terjadi sejak Januari 2022 dengan modus menawarkan jasa hukum palsu, menyebabkan kerugian korban mencapai Rp1.850.000.000.
Bandung, IDN Times - Keputusan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya menuntut terdakwa Rickie Ferdinansyah selama 6 bulan penjara dalam kasus penipuan senilai Rp1,8 miliar menuai kritik tajam dari kalangan ahli dan praktisi hukum. Tuntutan tersebut dinilai terlalu ringan dan jauh dari rasa keadilan masyarakat, terutama bagi korban.
Rickie Ferdinansyah, yang mengaku sebagai advokat, diseret ke meja hijau dalam perkara No 126/Pid.B/2025/PN Ckr karena menipu korbannya, Luky Hermawan, dengan dalih bisa menyelesaikan berbagai masalah hukum. Terdakwa menggunakan nama kantor hukum AR LAW FIRM secara ilegal, padahal berdasarkan surat resmi dari DPN Peradi, Rickie bukan advokat terdaftar.
Tindakan terdakwa menyebabkan kerugian hingga Rp1,85 miliar, namun dalam sidang di Pengadilan Negeri Cikarang pada 3 Juli 2025 lalu, jaksa Mylandi Susana hanya menuntut hukuman 6 bulan penjara, membuat publik bertanya-tanya.
1. Secara normatif ancaman maksimal 4 tahun

Ahli hukum pidana dan dosen Fakultas Hukum Unikom Bandung, Dr. Heri Gunawan menyatakan keheranannya terhadap tuntutan yang terlalu rendah itu.
“Secara normatif memang pasal 378 KUHP ancamannya maksimal 4 tahun. Tapi dengan kerugian sebesar itu, tanpa pengembalian, tuntutan 6 bulan terasa tak adil bagi korban. Itu hak jaksa, tapi rasa keadilan publik jadi pertaruhannya,” tegas Heri.
Ia juga menambahkan, hakim tidak harus terikat dengan tuntutan jaksa dan bisa memberikan vonis lebih tinggi hingga maksimal 4 tahun. Namun, jika vonis mengikuti tuntutan rendah tersebut, hal itu akan menjadi preseden buruk dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
“Bisa jadi nanti orang berpikir: nipu Rp1,8 miliar, hukumannya cuma enam bulan. Ini tak memberikan efek jera,” tambahnya.
2. Bisa timbulkan persepsi buruk di masyarakat

Pendapat senada juga datang dari praktisi hukum Gregorius Septhian Ustoda Inong. Ia mengingatkan bahwa meski jaksa punya diskresi, publik tetap berhak menilai apakah keadilan ditegakkan secara utuh.
“Dari kacamata korban dan publik, ini pasti dianggap tidak adil. Harusnya ada pertimbangan kerugian besar dan pertemuan yang berkali-kali antara korban dan terdakwa. Tapi kembali lagi, kewenangan ada pada jaksa, dan hakim nanti punya ruang penilaian tersendiri,” jelas Gregorius.
Sementara, pendapat Mantan aktivis 98 dan praktisi hukum pidana, Fidelis Giawa, S.H., turut mengecam tuntutan tersebut. Menurutnya, jaksa semestinya tidak hanya fokus pada Pasal 378 KUHP, tapi juga bisa menggunakan UU Advokat karena terdakwa mengaku-ngaku sebagai advokat padahal tidak resmi.
“Perbuatan ini dilakukan berulang kali. Harusnya ini bisa masuk kategori perbuatan berlanjut (concursus realis) dan layak dituntut maksimal,” ujarnya.
Ia mengingatkan, jika vonis akhirnya ringan, ini berbahaya karena bisa menjadi yurisprudensi negatif bagi peradilan lain.
3. Modus dan fakta kasus di persidangan

Penipuan ini terjadi sejak Januari 2022, ketika Rickie menawarkan jasa hukum kepada Luky Hermawan di Cikarang. Korban menyerahkan beberapa surat kuasa untuk menangani berbagai kasus seperti RUPS perusahaan, perceraian, hingga perkara perdata di PN Cikarang dan Cirebon.
Namun ternyata, semua perkara tersebut tidak ditangani karena Rickie bukan advokat. Fakta ini dikuatkan dengan surat resmi dari Peradi yang menyatakan Rickie tidak terdaftar sebagai anggota.
Total kerugian korban mencapai Rp1.850.000.000, dengan bukti berupa rekaman transfer dana, surat kuasa, dan rekening giro perusahaan.
Kini, harapan publik agar keadilan ditegakkan ada di tangan majelis hakim Pengadilan Negeri Cikarang. Para pakar hukum sepakat, meski jaksa menuntut rendah, hakim tidak terikat dan dapat menjatuhkan vonis maksimal berdasarkan pertimbangan fakta dan rasa keadilan.
“Keadilan bukan hanya milik pelaku, tapi juga korban. Hakim adalah garda terakhir yang bisa mengoreksi tuntutan rendah seperti ini,” tutup Heri Gunawan.