Bandung, IDN Times - Di usia Indonesia yang terus bertambah, pembicaraan mengenai demokrasi kembali menjadi perhatian penting banyak kelompok masyarakat. Sejumlah organisasi sipil mulai menegaskan bahwa kualitas demokrasi Indonesia mengalami kemunduran, bukan hanya melalui indikator politik, tetapi juga melalui pengalaman keseharian warga.
Yayasan Tifa, yang baru saja genap berusia 25 tahun, menjadi salah satu organisasi yang menyuarakan kegelisahan tersebut. Dalam diskusi nasional bertajuk “Pergerakan dan Ketahanan Masyarakat Sipil dalam Neo-otoritarianisme di Indonesia”, mereka menyoroti bahwa gejala regresi demokrasi semakin terlihat nyata.
Isu ini tidak hanya menjadi refleksi sejarah, tetapi juga menjadi peringatan bahwa pekerjaan menjaga ruang aman berdemokrasi belum selesai. Tantangan-tantangan yang muncul bukan lagi sebatas ancaman besar dan terang-terangan, melainkan tekanan senyap yang mengikis kebebasan publik perlahan-lahan.
Karena itu, gerakan masyarakat sipil dipandang perlu memperbarui strategi, memperkuat solidaritas, dan terus memastikan bahwa ruang partisipasi tetap hidup. Sejumlah narasumber dalam diskusi ini memberikan pandangan tentang bagaimana ancaman terhadap demokrasi bekerja dan bagaimana publik bisa meresponsnya.
