Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi demokrasi (unsplash.com/ Edwin Andrade)
Ilustrasi demokrasi (unsplash.com/ Edwin Andrade)

Intinya sih...

  • Ancaman demokrasi bergerak secara senyap, mengikis kebebasan publik secara halus namun sistematis.

  • Masalah lama seperti impunitas dan pelanggaran HAM terus berulang, terutama menimpa kelompok akar rumput.

  • Generasi muda menggunakan teknologi untuk gerakan baru, namun solidaritas tetap menjadi kekuatan utama dalam menjaga demokrasi.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandung, IDN Times - Di usia Indonesia yang terus bertambah, pembicaraan mengenai demokrasi kembali menjadi perhatian penting banyak kelompok masyarakat. Sejumlah organisasi sipil mulai menegaskan bahwa kualitas demokrasi Indonesia mengalami kemunduran, bukan hanya melalui indikator politik, tetapi juga melalui pengalaman keseharian warga.

Yayasan Tifa, yang baru saja genap berusia 25 tahun, menjadi salah satu organisasi yang menyuarakan kegelisahan tersebut. Dalam diskusi nasional bertajuk “Pergerakan dan Ketahanan Masyarakat Sipil dalam Neo-otoritarianisme di Indonesia”, mereka menyoroti bahwa gejala regresi demokrasi semakin terlihat nyata.

Isu ini tidak hanya menjadi refleksi sejarah, tetapi juga menjadi peringatan bahwa pekerjaan menjaga ruang aman berdemokrasi belum selesai. Tantangan-tantangan yang muncul bukan lagi sebatas ancaman besar dan terang-terangan, melainkan tekanan senyap yang mengikis kebebasan publik perlahan-lahan.

Karena itu, gerakan masyarakat sipil dipandang perlu memperbarui strategi, memperkuat solidaritas, dan terus memastikan bahwa ruang partisipasi tetap hidup. Sejumlah narasumber dalam diskusi ini memberikan pandangan tentang bagaimana ancaman terhadap demokrasi bekerja dan bagaimana publik bisa meresponsnya.

1. Ancaman demokrasi yang bergerak secara senyap

Penguatan Ruang Sipil Jadi Agenda Utama Yayasan Tifa di Usia ke-25 (Dok. IDN Times)

Direktur Eksekutif Yayasan Tifa, Oslan Purba, menjelaskan bahwa pola tekanan yang muncul saat ini tidak lagi bersifat kasar seperti masa lalu. Ancaman hadir secara halus namun sistematis, menggerus kebebasan publik sedikit demi sedikit.

“Kami melihat sistem yang saat Orde Baru berlangsung, tampaknya kembali. Kita sedang mengalami regresi demokrasi. Kita berada dalam titik balik, kita gagal mempertahankan nyala api reformasi,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa masyarakat sipil kini harus menyusun strategi baru agar tetap mampu bertahan dan bergerak.

“Kita harus menemukan kembali cara-cara baru untuk menggelorakan dan memperkuat ketahanan masyarakat sipil di tengah situasi neo-otoritarian,” kata Oslan dalam diskusi tersebut.

2. Masalah lama yang terus berulang

ilustrasi hak asasi manusia (pixabay.com/Geralt)

Penguatan analisis datang dari akademisi Fakultas Hukum UGM, Herlambang Perdana Wiratraman, yang menyoroti bahwa fitur dominan rezim masa lalu tidak benar-benar menghilang.

Menurutnya, banyak masalah dasar demokrasi tidak pernah diselesaikan. “Impunitas tidak pernah diselesaikan. Pelanggaran HAM masa lalu dan infrastruktur politik tidak pernah bergeser secara dominan,” kata Herlambang.

Selain itu, represi yang terjadi dinilai paling berat menimpa kelompok akar rumput. Hal ini disampaikan Ketua Jaringan Jaga Desa, Fatrisia Ain, yang menyoroti kriminalisasi terhadap petani, intimidasi terhadap perempuan desa, serta tekanan terhadap komunitas adat.

“Kami menghadapi pelanggaran hak yang berlipat. Sawit yang lebih banyak dimiliki pengusaha, negara yang sudah jadi korporasi,” ungkapnya.

3. Peran generasi muda dan solidaritas sebagai penopang

Aksi demonstrasi buruh tani di gedung DPR/MPR RI pada Rabu siang (24/9/2025). (IDN Times/Rachel Kathryn)

Di tengah kondisi demokrasi yang memburuk, aktivis muda HAM Eno Liska menilai bahwa generasi muda mencoba mencari bentuk gerakan baru lewat teknologi. Mobilisasi digital menjadi salah satu strategi yang kerap digunakan anak muda untuk menyuarakan kritik.

“Aksi-aksi besar seperti Darurat Demokrasi, Indonesia Gelap, dan aksi Agustus lalu bergerak lewat mobilisasi mulut ke mulut via teknologi,” ujar Eno.

Namun, menurutnya, kekuatan utama generasi muda saat ini tetap terletak pada solidaritas. “Satu-satunya yang masih menyelamatkan kita hari ini adalah solidaritas,” katanya.

Yayasan Tifa menekankan bahwa serangan terhadap demokrasi hari ini tidak muncul dalam bentuk larangan keras, melainkan melalui rasa takut yang membuat masyarakat memilih diam. Di usia ke-25, mereka menyerukan pentingnya menjaga ruang kebebasan bersama, agar warga tetap berani bersuara dan menjaga demokrasi sebagai ekosistem hidup.

Editorial Team