Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
cover artikel (2).jpeg
IDN Times/Aditya Pratama

Intinya sih...

  • Anak jadi angkatan percobaan pendidikan

  • Bangun pondasi pendidikan karakter berkelanjutan

  • Generasi emas atau cemas di 2045

Bandung, IDN Times - Pemerintah terus mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul untuk mencapai Indonesia Emas 2045. Target bonus demografi itu diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi lebih baik dan merata dengan kualitas manusia yang lebih tinggi.

Namun, sebagian masyarakat khususnya di dunia pendidikan merasa pesimis dengan impian tersebut. Sebab, sejak Indonesia Merdeka, pembentukan SDM berkualitas melalui sistem pendidikan tidak pernah tuntas dilakukan. Kurikulum pendidikan Indonesia kerap kali berubah dan anak didik selalu menjadi korban. Seperti diketahui, sejak kurikulum di Indonesia dimulai pada 1947 dengan "Rencana Pelajaran 1947", tidak ada program pendidikan yang terus berkelanjutan dalam menciptakan SDM Indonesia . Bahkan, kurikulum pendidikan ini telah berganti sebanyak  10 kali sejak Indonesia Merdeka(lihat grafis).

Perubahan kurikulum terbanyak terjadi pada pasca reformasi. Di era ini kurikulum pendidikan Indonesia berganti sebanyak 6 kali. Perubahan pondasi sistem pendidikan itu terjadi karena mengikuti situasi politik, sosial, hingga kebutuhan pembangunan nasional.  Jika pada tahun-tahun sebelumnya, kurikulum pendidikan sarat dengan semangat revolusi, nasionalis dan teknokratis, era reformasi diklaim mulai memberi ruang kompetensi dan kemandirian.

Tidak berhenti di sana, kurikulum (2004) pada masa kepemimpinan Menteri Pendidikan Abdul Malik Fadjar yang dilakukan dengan bertahap dan fokus Berbasis Kompetensi. Fokus pencapaian kompetensi siswa melalui pembelajaran yang kontekstual dan aktif. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ini menekankan pada penilaian berbasis kelas. Sekolah memiliki fleksibilitas untuk mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). 

Belum tuntas capaian kurikulum 2004, di tahun 2006, Menteri Pendidikan kembali diganti oleh Bambang Sudibyo dan mengubah arah kurikulum pendidikan pula. Pada masa ini pemerintah menyusun satu kurikulum yang berfokus pada kebutuhan masing-masing sekolah yang disebut KTSP. Dengan itu, Ia berupaya mengurai penerapan kurikulum yang tersentralisasi yang selama puluhan tahun berlangsung. 

Implikasinya, sekolah dan guru pada masa ini mempunyai kewenangan untuk mengembangkan pengajaran masing-masing. Patokannya, sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Meskipun dalam perjalanannya, kurikulum ini banyak mendapatkan kritik karena dianggap belum berhasil. Utamanya karena minimnya kualitas sekolah dan guru, serta hambatan infrastruktur pendukung. Bukannya berinovasi sesuai karakteristik kebutuhan siswanya, sekolah justru rentan menduplikasi kurikulum sekolah lain. 

Pada 2014, Menteri Pendidikan M Nuh kembali mengganti kurikulum pendidikan di Indonesia. Dia mencanangkan Kurikulum 13 (K-13) atau populer disebut Kurtilas. Pendekatan dari kurikulum ini adalah saintifik melalui mengamati, menanya, mencoba, dan menalar. 
Baru juga setahun berjalan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Anies Baswedan menghentikan penerapan kurikulum K-13 dan kembali lagi ke KTSP. Menurut dia, penerapan K-13 dinilai terlalu tergesa-gesa dan sekolah belum pada siap. 

Di era Joko Widodo, Mendikbud Ristek Nadiem Makarim pada tahun 2022 meluncurkan Kurikulum Merdeka. Sesuai namanya ‘merdeka’, kurikulum ini dimaksudkan memiliki fleksibilitas, keleluasaan dan kemudahan bagi murid dalam pembelajaran yang lebih dalam dan menyenangkan. Di samping, kurikulum ini juga fokus dalam upaya penguatan karakter. 

Pada saat itu, situasi pandemik COVID-19 yang mengharuskan banyak pembelajaran tatap muka yang beralih ke daring, turut jadi pertimbangan perumusan Kurikulum Merdeka itu. Alih-alih seperti K-13 yang punya beban materi pelajaran dan administrasi yang berat, Kurikulum Merdeka ini disebut-sebut membebaskan murid mendalami minat dan bakatnya. Pembelajarannya berbasis pengerjaan proyek yang terfokus pada materi esensial. 

Saat kepemimpinan Prabowo-Gibran, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, mengatakan K-13 dan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional. Dia juga menerapkan Tes Kompetensi Akademik (TKA) tidaklah wajib dan tidak jadi penentu kelulusan murid. 

Dengan begini, bisa diliat situasi jika ganti rezim maka ganti pula kurikulum di sistem pendidikan Indonesia. Bongkar pasang kurikulum ini seakan hanya untuk kepentingan politis untuk mengejar janji politik. Tetapi, tidak ada strategi jangka panjang pendidikan berkelanjutan demi kemajuan bangsa Indonesia.

Kurikulum yang cepat berganti tentunya kurang baik bagi pendidikan anak. Di samping, dampaknya yang bisa langsung dirasakan pada siswa, guru, dan lingkungan pendidikan gonta-ganti kurikulum ini dianggap bisa menggangu pembentukan SDM berkualitas secara merata.

Apalagi, imipian pemerintahan saat ini untuk mencapai generasi emas Indonesia akan sulit terjadi. Untuk mempersiapkan generasi emas Indonesia 2045, penting bagi dunia pendidikan melakukan perubahan pola pikir. Pendidikan tidak sekadar dimaknai dengan transfer akademik (keilmuan) saja, melainkan dilengkapi dengan karakter. Keseimbangan akademik dan karakter inilah yang perlu disiapkan sejak sekarang. 

IDN Times/Aditya Pratama

1. Anak jadi angkatan percobaan pendidikan

IDN Times/Humas Pemkot Bandung

Jaringan Pemantau Pelajar Indonesia (JPPI) menilai, gonta-ganti kurikulum yang terjadi selama ini hanya menjadikan anak-anak korban dari sistem pendidikan Indonesia. Kebijakan pendidikan, termasuk kurikulum yang gonta-ganti tanpa arah jelas, dinilai menimbulkan kebingungan dan bahkan mematikan motivasi belajar siswa.

“(Siswa) Frustrasi dan pada akhirnya membuat mereka kehilangan motivasi. Mereka mungkin bertanya-tanya, ‘Untuk apa saya belajar ini jika besok bisa berubah lagi?’” kata Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, Jumat (18/7/2025).

Ia mempertanyakan bagaimana generasi emas Indonesia dapat terwujud jika fondasi pendidikan yang diberikan kepada anak-anak tidak stabil dan berkualitas? Menurutnya, ketidakpastian kebijakan ini menghambat pengembangan keterampilan krusial pada anak-anak, seperti pemecahan masalah, kreativitas, dan berpikir kritis.

Ia menegaskan bahwa anak-anak, terutama pada jenjang transisi, seperti dari SD ke SMP atau SMP ke SMA, kerap menghadapi tekanan besar untuk terus menyesuaikan diri dengan kurikulum yang berubah tiba-tiba. Hal ini tidak hanya berdampak pada akademik, tetapi juga pada kesehatan mental siswa.

“Stres akibat ketidakpastian ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental, menurunkan minat belajar, dan bahkan memicu kecemasan,” kata Ubaid.

2. Bangun pondasi pendidikan karakter berkelanjutan

Suasana MPLS di Sekolah Rakyat Menengah Pertama 2 Kota Medan di Sentra Bahagia (IDN Times/Indah Permata Sari)

Pendidikan karakter di nilai menjadi salah satu target utama setiap negara untuk membentuk SDM mereka. Jepang yang di kenal menjadi salah satu negara yang memiliki kurikulum terbaik menerapkan karakter pendidikan yang kuat.

JPPI menekankan bahwa kebijakan pendidikan seharusnya lahir dari partisipasi bersama, bukan hanya keputusan segelintir pejabat yang sedang menjabat. Ia meminta pemerintah melibatkan akademisi, praktisi pendidikan, orang tua, masyarakat sipil, bahkan perwakilan siswa dalam perumusan kebijakan pendidikan.

“Soal perlu keterlibatan semua pihak, kebijakan pendidikan harus lahir dari konsensus bersama, bukan sekadar keputusan satu atau dua individu yang sedang menjabat,” tegas Ubaid.

Menurutnya, kebijakan yang lahir dari partisipasi bersama akan memiliki legitimasi dan akuntabilitas bersama, sehingga semua pihak merasa memiliki tanggung jawab untuk mengawal implementasi dan mengevaluasinya secara terbuka. Jika nantinya ada penyimpangan, semua pihak pun bisa mengoreksi bersama.

JPPI berharap pemerintah dapat menata ulang arah kebijakan pendidikan agar anak-anak Indonesia mendapatkan fondasi pendidikan yang stabil dan berkelanjutan, sehingga potensi mereka dapat berkembang maksimal tanpa terbebani ketidakpastian.

Sementara itu, Dewan Anak Mataram (DAM) mencatat sejumlah persoalan yang terjadi di dunia pendidikan saat ini. Maraknya kasus bullying, kekerasan seksual, penyalahgunaan narkoba, judi online hingga siswa yang merokok di sekolah, seharusnya menjadi perhatian pemerintah ketimbang sibuk mengutak-atik kurikulum pendidikan.

Persoalan ini sering disuarakan pada setiap peringatan Hari Anak Nasional (HAN) tiap tahunnya kepada pemerintah. Namun, seolah-olah suara anak tak didengar oleh pemerintah dengan semakin maraknya kasus bullying, kekerasan seksual, narkoba, judi online dan anak yang merokok di lingkungan sekolah di Kota Mataram.

Salah satu cara mempersiapkan anak tangguh di masa mendatang adalah penguatan pendidikan karakter yang harus di bangun. Pemerintah Kota Bandung mengaku telah mempersiapkan penguatan karakter anak melalui dinas pendidikan. Wali Kota Bandung M Farhan mengaku, pendidikan karakter adalah hal paling dasar yang harus dimiliki setiap siswa, setelah itu barulah pendidikan akademik.

"Perubahan sistematik terhadap pendidikan itu memang pasti ada siapapun pemimpinnya. Jadi ketika ada perubahan lima tahun bisa jadi sistem yang diterapkan kurang mengakar atau memang perlu ada perubahan mengikuti jaman saat itu," kata Farhan kepada IDN Times, Rabu (16/7/2025).

Dia pun tak mempersoalkan adanya perubahan sistem pendidikan minimal dalam lima tahun karena itu sudah cukup untuk melihat bagaimana berjalannya sistem atau tidak untuk para pelajar.

"Saya pribadi melihatnya tidak masalah. Dalam ilmu sistem, kita mengenal istilah system dynamic, artinya memang harus ada dinamika dalam sistem, mengikuti perkembangan zaman. Namun memang, dalam pendidikan, dibutuhkan juga konsistensi," ungkapnya.

3. Generasi emas atau cemas di 2045

Suasana MPLS di Sekolah Rakyat Menengah Pertama 2 Kota Medan di Sentra Bahagia (IDN Times/Indah Permata Sari)

Gonta-ganti kurikulum atau kebijakan pendidikan sangat dirasakan para Generasi Z dan Generasi Alpa di Tanah Air. Seperti sejumlah siswa di Denpasar dan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Peserta didik ini merasa menjadi angkatan percobaan dampak dari gonta-ganti kurikulum pendidikan. Mereka yang mulai merasakan Kurikulum Merdeka terpaksa harus membiasakan diri kembali dengan sistem pendidikan baru yang diterapkan di era pemerintahan Prabowo Subianto.

“Jujur aja, rasanya kayak kita itu sebagai angkatan percobaan yang terus-menerus dihadapkan sama perubahan kebijakan tanpa persiapan yang matang,” ujar Ayu Amanda siswi kelas 3 sekolah menengah atas (SMA) di Kabupaten Gianyar kepada IDN Times, Sabtu (19/7/2025).

Menurut dia, sebagai pelajar yang telah menyesuaikan diri dengan Kurikulum Merdeka dengan memberikan kebebasan pada siswa untuk memilih mata pelajaran sesuai minat, kembali harus menyesuaikan diri karena kurikulum tahun ini telah berganti.

Amanda selaku pelajar ikut mengkritisi pemerintah yang seharusnya tidak perlu gonta-ganti kurikulum. Kurikulum yang ada sekarang butuh perbaikan agar semakin adaptif terhadap perkembangan zaman. Karena siswa seperti dirinya dan teman-teman merasa kesulitan untuk terus menyesuaikan diri setiap kali kurikulum berganti.

Saat membicarakan harapan terhadap pendidikan dan kurikulum di Indonesia, Amanda berharap agar kurikulum di Indonesia lebih adaptif dan relevan dengan kebutuhan zaman. Kurikulum yang ada lebih memperhatikan siswa dengan menyeimbangkan antara teori dengan praktik.

“Selain itu, semoga secepatnya ada pemerataan fasilitas agar semua siswa, baik di kota maupun desa, mendapat kesempatan belajar yang sama serta optimal,” ucap Amanda.

Sementara, siswa SMA lainnya di Gianyar, Komang Ratri, mengamati kurikulum di Indonesia kerap berganti setiap adanya periode pemerintahan baru. Menurut dia, seharusnya dunia pendidikan di Indonesia dapat mencetak generasi yang tak hanya pintar secara akademis, tetapi juga siap menghadapi tantangan masa depan secara mental. 

Sehingga, Pemerintah Indonesia harus fokus dalam mengembangkan pendidikan Indonesia dengan meningkatkan kualitas kurikulum. Kurikulum harus relevan dan adaptif terhadap kebutuhan masa depan pelajar di Indonesia. Kini Ratri menginjak kelas 2 SMA Fase F, mengambil Paket 5 yang dominan jurusan IPS. Ratri memilih beberapa mata pelajaran seperti ekonomi, Bahasa Inggris tingkat lanjut, informatika, dan sosiologi.

Ratri merasa cocok dengan adanya sistem Kurikulum Merdeka karena Ia dapat berekspresi dengan metode pembelajaran sesuai minatnya. Sehingga, bagi Ratri, proses pembelajaran jadi lebih menyenangkan dan membaur dengan teman-teman.

Melihat realita ini, Koordinator Fasilitator Dewan Anak Mataram Kukuh Tegar Dewanto (20) mengaku khawatir apa yang dicita-citakan terwujudkan Generasi Emas 2045 malah akan menjadi Generasi Cemas 2045.

"Kita khawatir jadi generasi cemas 2045 kalau melihat realita sekarang banyak anak yang terpapar narkoba, merokok, judol, kasus kekerasan seksual dan bullying di sekolah. Sebelum melangkah yang lebih besar, pemerintah harus memperhatikan hal-hal seperti ini," kata Kukuh saat berbincang dengan IDN Times, Sabtu (19/7/2025).

4. HAN 2025 harus jadi moment pendidikan

Ilustrasi pendidikan di Indonesia (Pexels.com/Haidar Azmi)

Wakil Ketua Dewan Anak Mataram, Manuel Yoel Sanjaya (16) mengaku para pelajar sangat lelah dengan adanya gonta-ganti kurikulum pendidikan. Dari kurikulum 2013 ke kurikulum merdeka para siswa mengaku sangat lelah. Apalagi sekarang pemerintah akan mengganti lagi ke kurikulum 2025.

"Kalau nyamannya, kayaknya kurikulum 13. Karena kurikulum merdeka ini banyak sekali kita pelajari. Semuanya kita pelajari, semua kita hapal, kerja kelompok banyak, dan itu bikin fokus terpecah-pecah," kata Yoel.

Dia menyebut sejumlah isu utama yang mendesak diperhatikan pemerintah saat ini adalah bullying. Karena banyak laporan yang diterima Dewan Anak Mataram, kasus bullying masih terjadi di lingkungan sekolah baik secara verbal dan fisik.

Isu berikutnya terkait maraknya siswa yang merokok di sekolah terutama siswa SMP dan SMA/SMK. "Banyak banget anak-anak yang merokok di lingkungan sekolah. Bahkan di depan sekolah, depan pintu gerbang sekolah mereka sudah berani merokok memakai seragam sekolah," tuturnya.

Selain siswa, ternyata banyak juga laporan bahwa guru yang merokok di lingkungan pendidikan. "Kami juga heran kenapa guru merokok di ruang guru, sedangkan di sekolah saja sudah tidak boleh," katanya heran.

Melihat kondisi sekarang ini, Yoel pesimis Generasi Emas 2045 akan terwujud. Kecuali, pemerintah dapat menangani isu-isu yang berkembang di atas sesuai dengan apa yang disuarakan Forum Anak di Kota Mataram.

"Karena pemerintah kurang peka mendengarkan suara anak yang akan menjadi Generasi Emas 2045. Suara kami saat ini gak didengar, bagaimana kami bisa menjadi generasi emas kalau keluh kesah kami sekarang gak didengarkan," ucapnya.

Dia berharap suara anak yang disampaikan pada setiap peringatan Hari Anak Nasional didengarkan oleh pemerintah. Kemudian ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan supaya kasus bullying, kekerasan seksual, narkoba serta larangan merokok di sekolah benar-benar diatensi oleh pemerintah.

"Pemerintah daerah supaya lebih peka lagi. Bagaimana kita menjadi generasi emas 2045 kalau keluh kesah anak gak didengar," tandasnya.

Siswa salah satu SMK di Kota Mataram ini mengatakan pada kurikulum merdeka hampir tidak ada waktu bermain-main. Pulang sekolah pada sore hari, langsung kerja kelompok hampir sampai malam hari.

"Ketimbang gonta-ganti sistem pendidikan, lebih baik pemerintah memperhatikan isu-isu bullying, kekerasan seksual, narkoba dan rokok yang marak di sekolah," ujarnya.

6. Program prioritas tapi tidak wajib

Ilustrasi belajar coding (pexels.com/Christina Morillo)

Rencana Kemendiksasmen untuk segera menetapkan program digital bagi siswa SD dan SMP pada tahun ajaran 2025/2026 dengan kurikulum AI atau kecerdasan buatan serta kurikulum coding (keterampilan pemrograman) sudah sampai hingga tingkat daerah. Dinas pendidikan kabupaten dan kota terus mempersiapkan tenaga pengajar dan siswa didik untuk mendapatkan mata pelajaran (mapel) tersebut.

Kepala Bidang Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan Disdik Kota Semarang, Dr. Miftahudin SPd, MSi mengatakan,  pihaknya melibatkan empat lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) yang sudah ditunjuk kemendikdasmen untuk mempersiapkan tenaga pengajar koding dan AI di sejumlah sekolah. Lembaga tersebut di antaranya Universitas Negeri Semarang (Unnes), Universitas Wahid Hasyim (Unwahas), Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), dan KodeKiddo.

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kota Semarang, hingga saat ini sudah ada 236 guru SD dan SMP yang mengikuti pelatihan untuk kesiapan pembelajaran koding dan AI. Mereka berasal dari SD dan SMP baik negeri maupun swasta di Kota Semarang. Menurut Miftah, memang belum semua guru dan sekolah mengikuti pelatihan pembelajaran koding dan Ai. Namun, pihaknya akan memantau pelaksanaan dari pelatihan yang sedang berjalan ini, kemudian mengevaluasi untuk pelatihan berikutnya.

Sementara itu, salah satu guru mata pelajaran Coding SMK Kejuruan, Kota Palembang, Rio Darmawan juga mengaku siap untuk memberikan ilmunya kepada siswa. Meski belum ada pelatihan, tapi dirinya akan memberikan materi pembelajaran melalui dunia digital yang sangat mudah diakses siswa.

Rio mengaku, tantangan terbesar dalam mengajar coding adalah masih rendahnya literasi teknologi para siswa. Banyak dari mereka berasal dari desa yang belum pernah mengoperasikan komputer. Apalagi menurutnya mata pelajaran coding masih sangat awam bagi siswanya sehingga di awal pembelajaran ini masih belum antusias mengikuti pelajaran coding.

Untuk mengatasi hal itu, Rio menerapkan metode bertahap. Ia tidak hanya mengenalkan coding saat pelajaran khusus, tapi juga disisipkan dalam mata pelajaran informatika. Menurutnya coding sebagai pembelajaran yang cukup penting di era sekarang yang tak bisa jauh dari teknologi. Sehingga pelajaran ini akan mendorong pola pikir siswa untuk lebih kritis.

Ia juga berharap, sistem pendidikan nasional ke depan lebih mengedepankan kemampuan dan karakter siswa, bukan sekadar memenuhi kewajiban administratif. “Sekarang anak tetap harus naik kelas, walaupun belum tentu bisa baca atau perilakunya belum baik. Dulu kalau belum siap, ya gak naik. Kalau kebijakan pemerintah kan semua harus dinaikkan,” tandasnya.

Meskipun, pelajaran coding dan AI ini menjadi program prioritas kemendikdasmen. Tetapi, pemerintah tidak menjadikan kurikulum ini sebagai mapel wajib bagi siswa di sekolah. Nantinya, masing-masing satuan pendidikan dapat memilih satu dari tiga opsi yang ditawarkan pemerintah. Pertama, sekolah boleh menjadikan koding dan AI sebagai mata pelajaran (mapel) pilihan di kelas 5 dan 6 SD serta SMP kelas 7,8,9. Kedua, sekolah bisa mengintegrasikan koding dan AI dengan mapel yang ada di sekolah. Ketiga, sekolah bisa menjadikan koding dan AI sebagai ekstrakurikuler

Diketahui kurikulum AI ini merupakan inisiatif dan jadi bagian digitalisasi pendidikan yang menjadi program unggulan Presiden Prabowo Subianto, yang dapat mengembangkan sejumlah kemampuan siswa, seperti kreativitas dan kolaborasi. Tujuannya tidak saja untuk mempelajari coding dan AI, tetapi agar kemampuan-kemampuan non-akademik mereka juga dapat dikembangkan, sehingga dapat membantu di dunia kerja nantinya.

7. Bangun grand desain pendidikan berkelanjutan

Merdekanya pendidikan Indonesia

Langkah besar menuju kemandirian pendidikan untuk Indonesia emas harus dipastikan pemerintah lewat peningkatan sarana prasarana, pengajar dan segala lini dalam pendidikan. Untuk itu perlu upaya pengelolaan pendidikan yang lebih baik dengan menempatkan ahli pendidikan di dalam mengawal visi misi pendidikan secara matang.

Ketua PGRI Palembang, Ahmad Zulinto mengatakan, persoalan pergantian kurikulum yang dilakukan pemerintah harus dikonsep secara berkesinambungan. Sehingga tidak ada lagi kesan ganti pemerintahan ganti kurikulum. Degan kesinambungan itu, guru dan peserta didik tidak dikorbankan untuk kepentingan sesaat yang justru membuat mereka pusing.

Pengamat Pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof Cecep Darmawan mengatakan, untuk membentuk SDM tangguh pada 2045 selain pendidikan karakter memang harus ada grand design untuk puluhan tahun ke depan. Ini penting dibuat secara mendalam sehingga siapapun pemimpin yang dipilih dalam lima tahunan, punya dasar yang sama dalam pengembangan pendidikan siswa atau pelajarnya.

"Kita harus menentukan, arah pendidikan kita ini mau dibawa ke mana," kata Cecep.

Pendekatan filosofis ini harus menekankan bahwa pendidikan didasarkan pada nilai-nilai ideologi bangsa. Itu menjadi landasan utama. Kedua, ada pendekatan sosiologis di mana pendidikan harus selaras dengan jiwa dan karakter masyarakat Indonesia.
"Jadi, jangan hanya meniru atau mengadopsi sistem dari luar secara mentah-mentah," ungkapnya.

Selama ini banyak gagasan dari para tokoh bangsa yang sudah merancang sistem pendidikan tidak hanya berbasis ilmu pengetahuan, tapi juga nilai-nilai spiritual dan kebangsaan. Di sisi lain, nilai-nilai lokal, budaya, dan tradisi masyarakat di setiap daerah harus menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan. Pemerintah boleh mengambil hal-hal baik dari luar, tapi harus disesuaikan dengan jiwa Pancasila. Sebab, pendidikan itu bukan hanya untuk membuat orang cerdas atau kompeten secara akademis, tapi juga harus membentuk karakter, sikap, nilai-nilai spiritual, keimanan, dan ketakwaan. "Itulah yang harus menjadi bagian dari kerangka besar pendidikan kita," katanya.

Pendidikan harus diarahkan untuk mencetak generasi yang tidak hanya berkarakter, tapi juga punya kompetensi sesuai dengan potensi dan kebutuhan bangsa. Indonesia ini negara kepulauan, dikelilingi laut dan sumber daya alam yang luar biasa, tapi mengapa pendidikannya belum sepenuhnya diarahkan ke sana. Padahal, alangkah baiknya sekolah-sekolah terutama di wilayah kepulauan, memiliki jurusan atau program yang sesuai dengan potensi lokal.

"Itu juga harus diselaraskan dengan kearifan budaya setempat.

Dia menekankan bahwa pendidikan kita tidak boleh menjadi proyek tambal sulam melainkan harus ada kesinambungan dan satu kesatuan visi. Walaupun kekuasaan berganti, politik pendidikan harus tetap mengacu pada grand design yang utuh dan berkelanjutan.

Pengamat Kebijakan Pendidikan Universitas Gadjah Mada (UGM), Subarsono juga menilai perubahan kebijakan pendidikan setiap pergantian pemerintah dipastikan terjadi, karena merupakan keputusan politik. Ia menyebut perubahan kebijakan ini berdampak buruk pada siswa.

Subarsono mengungkap perubahan kebijakan hendaknya bersifat inkremental untuk menjaga stabilitas ekonomi, politik, dan sosial.  Kebijakan pendidikan yang berubah-ubah setiap pergantian pemeritahan memiliki implikasi pada struktur organisasi di bawahnya yang dipastikan juga berubah.

Di tingkat pusat terjadi restrukturisasi di sektor pendidikan dengan dipecahnya menjadi tiga kementerian, maka bisa jadi distribusi kualitas ASN antar kementerian tidak sama atau timpang, sehingga kecepatan perjalanan ketiga kementerian tersebut tidak akan sama. Implikasi ekonominya, menambah Anggaran negara karena ada tambahan menteri, tambahan dijen dan tambahan direktur dan lain-lain.

Pada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah terjadi perubahan Ujian Nasional (UN) diganti dengan Tes kompetensi Akademik, juga memiliki implikasi pada guru, karena para guru perlu mengenalkan kepada para siswanya jenis TPA dan melatih siswa untuk mengadapi tes tersebut.

Pada tingkat masyarakat sebagai pengguna pendidikan juga mengalami perubahan dalam kaitannya dengan penerimaan siswa baru, karena terjadi perubahan sistem penerimaan. Dari orangtua calon siswa perlu mempelajari sistem penerimaan siswa baru secara teliti agar anaknya bisa diterima di sekolah favorit.

”Bahkan pemerintah mengenalkan Sekolah Rakyat, boarding school di bawah Kementerian Sosial. Ini membingungkan karena tupoksi kementerian sosial bukan di bidang pendidikan,” ungkap Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) UGM itu.

Subarsono mengungkapkan dampak kebijakan yang berubah-ubah juga dirasakan siswa, mereka yang masih dalam usia pertumbuhan dan belum dewasa akan mengalami kebingungan. ”Ini perlu pencerahan dari pihak sekolah dan pemangku kepentinagn di dunia pendidikan,” kata Subarsono.

Dalam pengambilan kebijakan pendidikan, Subarsono berpendapat bahwa para menteri pendidikan baru sebaiknya pada tahun petama tidak melakukan perubahan kebijakan tetapi belajar dulu dari kebijakan sebelumnya. Selain itu membentuk tim kajian kebijakan untuk mengevaluasi jenis kebijakan apa sebelumnya yang kurang berhasil dan yang sukses. Kebijakan mana yang perlu dirubah, dimodifikasi dan disempurnakan. Apakah pada kebijakan Kurikulum, apakah kebijakan SDM, atau kebijakan sarpras yang mencakup antara lain ruang kelas, kepustakaan, laboraturium, internet, multi media. 

”Pada level pendidikan dasar dan menengah nampaknya perlu roadmap tujuan pendidikan selama 20 tahun (jangka panjang) sehingga perubahan kebijakan setiap lima tahun perlu berpijak pada roadmap yg sudah ada. Apakah tujuan pendidikan memberikan knowledge, memberikan skill dan dan membetuk attitude yang baik atau yang lain,” kata Subarsono.

IDN Times/Aditya Pratama

(Debbie Sutrisno, M Iqbal, Silviana Via, Anggun Puspitoningrum, Fariz Fardianto, Ni Komang Yuko Utami, Rangga Arfizal, Feny Maulia Agustin, Riyanto, Muhammad Nasir, Herlambang Jati Kusumo, Ashrawi Muin)

Editorial Team