Bandung, IDN Times - Pemerintah terus mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul untuk mencapai Indonesia Emas 2045. Target bonus demografi itu diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi lebih baik dan merata dengan kualitas manusia yang lebih tinggi.
Namun, sebagian masyarakat khususnya di dunia pendidikan merasa pesimis dengan impian tersebut. Sebab, sejak Indonesia Merdeka, pembentukan SDM berkualitas melalui sistem pendidikan tidak pernah tuntas dilakukan. Kurikulum pendidikan Indonesia kerap kali berubah dan anak didik selalu menjadi korban. Seperti diketahui, sejak kurikulum di Indonesia dimulai pada 1947 dengan "Rencana Pelajaran 1947", tidak ada program pendidikan yang terus berkelanjutan dalam menciptakan SDM Indonesia . Bahkan, kurikulum pendidikan ini telah berganti sebanyak 10 kali sejak Indonesia Merdeka(lihat grafis).
Perubahan kurikulum terbanyak terjadi pada pasca reformasi. Di era ini kurikulum pendidikan Indonesia berganti sebanyak 6 kali. Perubahan pondasi sistem pendidikan itu terjadi karena mengikuti situasi politik, sosial, hingga kebutuhan pembangunan nasional. Jika pada tahun-tahun sebelumnya, kurikulum pendidikan sarat dengan semangat revolusi, nasionalis dan teknokratis, era reformasi diklaim mulai memberi ruang kompetensi dan kemandirian.
Tidak berhenti di sana, kurikulum (2004) pada masa kepemimpinan Menteri Pendidikan Abdul Malik Fadjar yang dilakukan dengan bertahap dan fokus Berbasis Kompetensi. Fokus pencapaian kompetensi siswa melalui pembelajaran yang kontekstual dan aktif. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ini menekankan pada penilaian berbasis kelas. Sekolah memiliki fleksibilitas untuk mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Belum tuntas capaian kurikulum 2004, di tahun 2006, Menteri Pendidikan kembali diganti oleh Bambang Sudibyo dan mengubah arah kurikulum pendidikan pula. Pada masa ini pemerintah menyusun satu kurikulum yang berfokus pada kebutuhan masing-masing sekolah yang disebut KTSP. Dengan itu, Ia berupaya mengurai penerapan kurikulum yang tersentralisasi yang selama puluhan tahun berlangsung.
Implikasinya, sekolah dan guru pada masa ini mempunyai kewenangan untuk mengembangkan pengajaran masing-masing. Patokannya, sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Meskipun dalam perjalanannya, kurikulum ini banyak mendapatkan kritik karena dianggap belum berhasil. Utamanya karena minimnya kualitas sekolah dan guru, serta hambatan infrastruktur pendukung. Bukannya berinovasi sesuai karakteristik kebutuhan siswanya, sekolah justru rentan menduplikasi kurikulum sekolah lain.
Pada 2014, Menteri Pendidikan M Nuh kembali mengganti kurikulum pendidikan di Indonesia. Dia mencanangkan Kurikulum 13 (K-13) atau populer disebut Kurtilas. Pendekatan dari kurikulum ini adalah saintifik melalui mengamati, menanya, mencoba, dan menalar.
Baru juga setahun berjalan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Anies Baswedan menghentikan penerapan kurikulum K-13 dan kembali lagi ke KTSP. Menurut dia, penerapan K-13 dinilai terlalu tergesa-gesa dan sekolah belum pada siap.
Di era Joko Widodo, Mendikbud Ristek Nadiem Makarim pada tahun 2022 meluncurkan Kurikulum Merdeka. Sesuai namanya ‘merdeka’, kurikulum ini dimaksudkan memiliki fleksibilitas, keleluasaan dan kemudahan bagi murid dalam pembelajaran yang lebih dalam dan menyenangkan. Di samping, kurikulum ini juga fokus dalam upaya penguatan karakter.
Pada saat itu, situasi pandemik COVID-19 yang mengharuskan banyak pembelajaran tatap muka yang beralih ke daring, turut jadi pertimbangan perumusan Kurikulum Merdeka itu. Alih-alih seperti K-13 yang punya beban materi pelajaran dan administrasi yang berat, Kurikulum Merdeka ini disebut-sebut membebaskan murid mendalami minat dan bakatnya. Pembelajarannya berbasis pengerjaan proyek yang terfokus pada materi esensial.
Saat kepemimpinan Prabowo-Gibran, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, mengatakan K-13 dan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional. Dia juga menerapkan Tes Kompetensi Akademik (TKA) tidaklah wajib dan tidak jadi penentu kelulusan murid.
Dengan begini, bisa diliat situasi jika ganti rezim maka ganti pula kurikulum di sistem pendidikan Indonesia. Bongkar pasang kurikulum ini seakan hanya untuk kepentingan politis untuk mengejar janji politik. Tetapi, tidak ada strategi jangka panjang pendidikan berkelanjutan demi kemajuan bangsa Indonesia.
Kurikulum yang cepat berganti tentunya kurang baik bagi pendidikan anak. Di samping, dampaknya yang bisa langsung dirasakan pada siswa, guru, dan lingkungan pendidikan gonta-ganti kurikulum ini dianggap bisa menggangu pembentukan SDM berkualitas secara merata.
Apalagi, imipian pemerintahan saat ini untuk mencapai generasi emas Indonesia akan sulit terjadi. Untuk mempersiapkan generasi emas Indonesia 2045, penting bagi dunia pendidikan melakukan perubahan pola pikir. Pendidikan tidak sekadar dimaknai dengan transfer akademik (keilmuan) saja, melainkan dilengkapi dengan karakter. Keseimbangan akademik dan karakter inilah yang perlu disiapkan sejak sekarang.