Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG_20251222_154655.jpg
Penghayat kepercayaan di Kota Bandung. IDN Times/Debbie Sutrisno

Intinya sih...

  • Identitas spiritual tidak tercantum di KTP

  • Ketidaksesuaian identitas berpotensi konflik sosial

  • Tekanan sosial dan ekonomi menghambat perubahan identitas di KTP

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandung, IDN Times - Pengakuan negara terhadap penghayat kepercayaan sudah tertuang secara resmi dalam administrasi kependudukan. Namun, kenyataannya tidak semua penghayat berani mencantumkan identitas kepercayaannya di Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Di Kota Bandung, jumlah penghayat kepercayaan yang kolom agamanya sudah tercantum sebagai “Kepercayaan” masih tergolong sangat sedikit. Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Bandung, baru sekitar 145 KTP yang telah diterbitkan dengan kolom agama kepercayaan.

“Nah, kalau bicara dari data statistik, kan pembuktiannya adalah di KTP ya. Di KTP warga Kota Bandung itu belum banyak sebenarnya. Baru kurang lebih ada 145 KTP yang sudah diterbitkan oleh Disdukcapil Kota Bandung yang kolom agamanya sudah kepercayaan. Hanya sedikit. Itu boleh dikatakan de jure-nya,” ujar Ketua Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Kota Bandung adalah Bonie Nugraha Permana, Senin (22/12/2025).

1. Secara spiritual banyak, tapi identitas masih agama resmi

Penghayat kepercayaan di Kota Bandung. IDN Times/Debbie Sutrisno

Ia menjelaskan, secara fakta di lapangan atau de facto, jumlah penghayat kepercayaan jauh lebih banyak dibandingkan data administrasi negara. Namun, sebagian besar dari penghayat masih mencantumkan agama resmi di KTP karena berbagai pertimbangan.

De facto-nya sebenarnya yang sudah secara spiritual seperti kami, penghayat kepercayaan, ini banyak. Hanya mereka masih berisi, di kolom agamanya itu masih ada yang ikut agama ya, agama apa pun, agama Islam, agama Kristen, agama Katolik, dan lain-lain,” katanya.

Menurutnya, pilihan tersebut merupakan hak masing-masing individu dan tidak bisa dipaksakan. Terlebih, dalam ajaran penghayat kepercayaan tidak dikenal konsep dakwah atau mencari pengikut.

“Bagi saya sebenarnya tidak menjadi masalah yang prinsipi. Itu masalah pilihan orang, kami juga tidak bisa memaksa. Hanya memang kalau boleh menyarankan, saya tidak bersiar, karena dalam ajaran kami tidak ada istilah kami harus mencari jamaah, mencari penganut agama kami,” ujarnya.

2. Ada potensi konflik sosial karena identitas tidak selaras

Penghayat kepercayaan di Kota Bandung. IDN Times/Debbie Sutrisno

Meski begitu, ia menilai ketidaksesuaian antara identitas spiritual dan identitas sebagai warga negara berpotensi memicu konflik sosial. Hal ini berkaitan dengan perbedaan ritual yang dijalankan penghayat kepercayaan dengan agama-agama resmi.

“Tapi ketika spiritual menjadi identitas kita tidak sesuai dengan identitas sebagai warga negara, ini akan menimbulkan sebuah potensi konflik sosial. Jadi bagaimanapun ritual-ritual yang kami lakukan ini berbeda dengan ritual-ritual agama-agama itu,” katanya.

Ia menambahkan, praktik ritual penghayat kepercayaan kerap dipandang negatif oleh sebagian kalangan agamawan.

“Ada kalanya beberapa kalangan agamawan tidak setuju dengan ritual-ritual seperti ini. Ada istilahnya musyrik, tidak ada istilahnya apa pun lah,” katanya.

Kondisi inilah yang membuat sebagian penghayat merasa berada dalam posisi rentan, terutama ketika identitas di KTP tidak mencerminkan keyakinan yang sebenarnya.

“Nah, saya khawatir ketika para penghayat kepercayaan di KTP-nya masih tertera agama, ini bisa menjadi konflik. Karena di agama tersebut memang tidak diajarkan tata cara seperti itu,” ucapnya.

3. Takut dikucilkan masyarakat hingga kehilangan hak waris

Penghayat kepercayaan di Kota Bandung. IDN Times/Debbie Sutrisno

Bonie menegaskan bahwa pemerintah Kota Bandung sebenarnya sudah memberikan kemudahan bagi warga yang ingin mengubah kolom agama menjadi kepercayaan di KTP.

“Untuk pemberian fasilitas dari pemerintah sama sekali sudah tidak ada hal-hal. Saya apresiasi dan acungi jempol untuk Pemerintah Kota Bandung, terutama Disdukcapil Kota Bandung, yang mereka bisa dengan sangat mudah, selama persyaratannya terpenuhi, itu KTP bisa langsung diganti,” ungkapnya.

Namun, persoalan utama justru datang dari lingkungan sosial dan keluarga. Banyak penghayat yang masih menyimpan ketakutan akan stigma dan perlakuan diskriminatif.

“Yang terjadi sekarang justru ada di kalangan masyarakat. Permasalahannya memang ada yang berkaitan dengan masih takut dengan perlakuan pemerintah yang mempersulit. Padahal saya bisa menyampaikan pemerintah sudah tidak ada istilah mempersulit,” katanya.

Selain itu, tekanan sosial di lingkungan terdekat juga menjadi penghalang. Mereka ada yang takut kehidupan di keluarga jadi terasingkan atau dijauhi saudara maupun teman ketika diketahui sebagai seorang penghayat kepercayaan. Bahkan, faktor ekonomi dan hak waris turut memengaruhi keputusan mereka.

“Termasuk juga masalah, mohon maaf kalau saya sampaikan, kalau pindah agama katanya nanti tidak mendapat warisan dari orangtuanya. Hal-hal seperti itu kan faktual sekali dan itu terjadi. Ini menjadi salah satu yang akhirnya menghalangi niat mereka untuk merubah identitas di KTP,” katanya.

Menurutnya, mencantumkan kepercayaan di KTP sejatinya menjadi bentuk kejujuran terhadap diri sendiri dan negara, sekaligus langkah untuk menghindari konflik sosial di masa depan.

Editorial Team