(IDN Times/Azzis Zulkhairil)
Pendekatan dalam merekrut murid Sekolah Rakyat memang tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Kondisi ini sesuai dengan yang terjadi di Poltekesos Bandung di mana untuk mendapatkan 100 murid di jenjang SMA harus diwarnai dengan penolakan para orang tua.
Diketahui, penjaringan para calon murid ini sendiri tidak sembarangan karena harus menggunakan data Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) di mana para siswa dengan kategori satu atau sering disebut keluarga miskin ekstrem lah yang berhak menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat.
"Untuk merekrutnya kita bekerja sama dengan Dinas Sosial, yaitu dengan menggunakan para pendamping program Keluarga Harapan," ujar Koordinator Satgas Rekrutmen Siswa Sekolah Rakyat Poltekesos Bandung, Lina Favourita Sutiaputri saat ditemui di Poltekesos Bandung, Rabu (9/7/2025).
Pihak Kemensos dan juga Dinas Sosial sebelumnya sudah mensosialisasikan mengenai Sekolah Rakyat kepada para keluarga yang masuk dalam kategori miskin ekstrem ini. Namun, di lapangan diungkapkan Lina masih ada beberapa yang menolak.
"Tidak semua anak dari keluarga yang desil 1 (miskin ekstrem) itu bersedia gitu ya. Ada yang dalam perjalanannya mundur dan kemudian kami ya dari tim rekrutmen di Poltekkes juga turun ke lapangan untuk menguatkan motivasi mereka untuk mau ikut di dalam sekolah rakyat ini," katanya.
Berdasarkan dari data yang didapatkannya, Lina mengatakan, keluarga menolak anaknya untuk bersekolah di Sekolah Rakyat ini ada berbagai macam alasan. Salah satunya ada yang mengaku ingin langsung bekerja saja. Menurutnya, hal itu memang berbeda dari tujuan Sekolah Rakyat itu sendiri.
"Tujuan dari penyelenggaraan sekolah rakyat ini setelah setelah lulus dari Sekolah Rakyat itu bukan untuk cepat-cepat bekerja, tetapi diharapkan mereka dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi atau universitas. Gitu tujuannya," jelasnya.
Lina menuturkan, Sekolah Rakyat dibangun untuk membuat Individu-individu yang unggul yang nantinya menjadi agen perubahan di dalam keluarganya itu sendiri.
"Asumsinya kan, kalau misalnya pendidikannya lebih tinggi nanti mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih tinggi, penghasilan yang lebih tinggi, yang akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Seperti itu kan programnya ya," kata dia.