Pengamat UPI Sebut Sekolah Rakyat Berpotensi Menimbulkan Disparitas

- Sekolah Rakyat di 13 kabupaten/kota Jawa Barat berpotensi menciptakan disparitas pendidikan.
- Pemerintah seharusnya memperhatikan kelompok menengah ke bawah dalam memberikan fasilitas yang sama.
- Kajian mendalam dan evaluasi diperlukan untuk mengubah disparitas pendidikan tersebut.
Bandung, IDN Times - Kehadiran Sekolah Rakyat di 13 kabupaten/kota di Jawa Barat berpotensi menimbulkan disparitas dalam dunia pendidikan. Hal ini ditenggarai adanya perbedaan kurikulum dan juga fasilitas yang diberikan oleh negara berbeda dengan sekolah lainnya.
Pengamat Kebijakan Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan mengatakan, disparitas ini bisa muncul karena negara tidak turut memberikan perbaikan terhadap sekolah-sekolah negeri di luar Sekolah Rakyat.
Menurutnya, saat ini masih banyak sekolah negeri biasa yang justru fasilitasnya kalah jauh dengan Sekolah Rakyat yang digagas oleh Kementerian Sosial (Kemensos).
"Sekarang konsepnya Sekolah Rakyat semestinya memperbaiki infrastruktur sekolah biasa jadi dimana ada Sekolah Rakyat, sekolah biasa sama fasilitasnya. Setidaknya setara," ujar Cecep saat dikonfirmasi, Kamis (10/7/2025).
1. Sekolah negeri lainnya harus jadi perhatian

Pemerintah seharusnya turut memikirkan kelompok masyarakat lainnya di luar kategori miskin, dan miskin ekstrem. Cecep mengatakan, di luar kategori ini ada kelompok menengah ke bawah tapi bukan masuk miskin yang mana harus juga diperhatikan.
"Miskin ekstrem dan miskin di Sekolah Rakyat sementara ada juga warga yang tidak masuk kategori tersebut seperti menengah ke bawah tapi tidak miskin bisa merasakan fasilitas yang sama. Pemerintah harusnya bersikap adil ke sekolah lainnya," jelasnya.
Cecep menuturkan, program ini bisa saja berhasil selama dapat mengubah adanya persoalan disparitas tersebut. Oleh karena itu, dia menyarakan agar kajian lebih mendalam dan evaluasi dapat dilakukan di tahun berikutnya.
"Makanya harus dibuat kajian secara komprehensif persoalan pendidikan kita itu dimana kalau saya melihat persoalan utama itu satu dari sisi fokus anggaran kita yang 20 persen dari APBN itu tidak jelas. Peruntukannya luas dan diberikan ke kementerian lain itu harusnya di recofusing," katanya.
1. Fasilitas sekolah negeri harus setara

Belum lagi urusan standarisasi sarana prasarana dan pembiayaan pendidikan yang belum sepenuhnya berpihak membuat selalu ada persoalan di setiap penerimaan siswa-siswi baru. Hal itu juga turut menjadi adanya disparitas itu sendiri.
"Oleh karena itu Sekolah Rakyat bisa berhasil mana kala secara sinergi membangun non Sekolah Rakyat atau negeri itu disetarakan distandarkan fasilitasnya seperti Sekolah Rakyat. Walaupun tidak harus sama karena memang sasarannya berbeda," tuturnya.
Lebih lanjut, Cecep berpandangan, Sekolah Rakyat ini tidak hanya dibangun di beberapa tempat saja, melainkan memakai bangunan sekolah-sekolah negeri lainnya.
"Bisa juga sekolah rakyat diperbanyak jadi di tahun berikutnya sekolah biasa bisa jadi Sekolah Rakyat diubah statusnya jadi masyarakat bisa menikmati fasilitasnya," katanya.
"Disparitas itu terjadi karena pemerintah abai dalam men standarisasi kualitas, kualitas pendidikan kita abai setiap tahun seperti itu saja," tambahnya.
Dekan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, UPI itu menilai, Sekolah Rakyat harus jadi momentum untuk recovery dalam dunia pendidikan. Namun, jika tidak dilakukan maka akan terjadi dikotomi, disparitas, antara sekolah negeri dan Sekolah Rakyat.
"Sekolah itu harus jadi panjatan sosial agar mereka memperbaiki nasib orang tuanya. Itulah pemahamannya. Kemensos tidak hanya selesai mendirikan sekolahnya, tapi berdayakan orang tuanya, karier gurunya harus dihitung dengan baik," ujar Cecep.
Dia juga memberikan masukan agar calon murid Sekolah Rakyat bisa memiliki keinginan yang besar untuk tinggal dan belajar dalam asrama. Menurutnya, pendekatan rekrutmen harus dilakukan secara menyeluruh.
"Pendekatannya harus holistik bukan berarti orang yang miskin, miskin ekstrem itu diajak sekolah selesai, bukan begitu pendekatannya karena orang tua juga mereka punya pemahaman mengubah mindset itu harus diberikan pemahaman," kata dia.
3. Rekrutmen calon murid tidak mudah

Pendekatan dalam merekrut murid Sekolah Rakyat memang tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Kondisi ini sesuai dengan yang terjadi di Poltekesos Bandung di mana untuk mendapatkan 100 murid di jenjang SMA harus diwarnai dengan penolakan para orang tua.
Diketahui, penjaringan para calon murid ini sendiri tidak sembarangan karena harus menggunakan data Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) di mana para siswa dengan kategori satu atau sering disebut keluarga miskin ekstrem lah yang berhak menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat.
"Untuk merekrutnya kita bekerja sama dengan Dinas Sosial, yaitu dengan menggunakan para pendamping program Keluarga Harapan," ujar Koordinator Satgas Rekrutmen Siswa Sekolah Rakyat Poltekesos Bandung, Lina Favourita Sutiaputri saat ditemui di Poltekesos Bandung, Rabu (9/7/2025).
Pihak Kemensos dan juga Dinas Sosial sebelumnya sudah mensosialisasikan mengenai Sekolah Rakyat kepada para keluarga yang masuk dalam kategori miskin ekstrem ini. Namun, di lapangan diungkapkan Lina masih ada beberapa yang menolak.
"Tidak semua anak dari keluarga yang desil 1 (miskin ekstrem) itu bersedia gitu ya. Ada yang dalam perjalanannya mundur dan kemudian kami ya dari tim rekrutmen di Poltekkes juga turun ke lapangan untuk menguatkan motivasi mereka untuk mau ikut di dalam sekolah rakyat ini," katanya.
Berdasarkan dari data yang didapatkannya, Lina mengatakan, keluarga menolak anaknya untuk bersekolah di Sekolah Rakyat ini ada berbagai macam alasan. Salah satunya ada yang mengaku ingin langsung bekerja saja. Menurutnya, hal itu memang berbeda dari tujuan Sekolah Rakyat itu sendiri.
"Tujuan dari penyelenggaraan sekolah rakyat ini setelah setelah lulus dari Sekolah Rakyat itu bukan untuk cepat-cepat bekerja, tetapi diharapkan mereka dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi atau universitas. Gitu tujuannya," jelasnya.
Lina menuturkan, Sekolah Rakyat dibangun untuk membuat Individu-individu yang unggul yang nantinya menjadi agen perubahan di dalam keluarganya itu sendiri.
"Asumsinya kan, kalau misalnya pendidikannya lebih tinggi nanti mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih tinggi, penghasilan yang lebih tinggi, yang akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Seperti itu kan programnya ya," kata dia.
3. Sekolah Rakyat di Jabar diklaim sudah siap

Meski begitu, Lina memastikan, saat ini sudah ada sebanyam 100 orang murid yang akan belajar di Sekolah Rakyat. Mereka nantinya akan dibagi dalam empat rombongan belajar (Rombel) atau empat kelas, dengan gurunya langsung dari sudah ditunjuk oleh Kementerian Sosial.
"Untuk jumlah rombelnya ya di Poltekkesos dari 100 orang itu menjadi empat rombel. Di mana setiap rombel ya atau rombongan belajar itu terdiri dari 25 orang siswa," katanya.
Sementara, berdasarkan data sementara yang ada di Pemprov Jabar, ada 13 Sekolah Rakyat yang tersebar di beberapa kabupaten dan kota, dan total muridnya mencapai 1.353 orang. Mereka merupakan siswa-siswi dari jenjang SD, SMP, SMA.
"Total sampai saat ini ada 1.353 orang siswa yang tersebar di 13 sekolah rakyat yang ada di wilayah Jabar," ujar Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jabar, Herman Suryatman melalui pesan WhatsApp, Rabu (2/7/2025).
Adapun sebaran sekolah tersebut, meliputi Kota Bogor (Sentra Galih Pakuan), Kabupaten Bogor (Sentra Inten Soeweno), Kabupaten Bekasi (Sentra Pangudi Luhur). Kabupaten Sukabumi (Sentra Phalamarta), Kabupaten Bandung Barat (Sentra Wyata Guna dan BPPKS Kemensos RI), Kabupaten Bandung (kawasan Stadion Si Jalak Harupat).
Selanjutnya, Kota Bandung (Polteksos dan Sentra Wyata Guna), Kabupaten Sumedang (Balai Latihan Kerja Sumedang), Kota Cirebon (SMPN 18 Kota Cirebon), Kota Cimahi (Sentra Abiyoso dan Dinas Sosial Jabar).
"Seluruh Sekolah Rakyat itu siap beroperasi Juli 2025 ini," ucapnya.