Pendidikan Penghayat Kepercayaan Kurang Terakomodiasi Pihak Sekolah

Bandung, IDN Times - Aliran kepercayaan saat ini mulai mendapat akses dari pemerintah dalam aktivitas keseharian. Salah satunya penulisan kolom penghayat kepercayaan pada kartu tanda penduduk (KTP).
Meski demikian, masih banyak hal yang harus dipenuhi pemerintah seperti di sektor pendidikan formal. Salah satu penyuluh aliran kepercayaan Budidaya di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Indra Anggara (20) mengatakan, pemberian ilmu agama seperti siswa pada umumnya sulit diberikan pada sekolah formal. Karena ketika ada pelajaran agama di sekolah tersebut, siswa penghayat kepercayaan tidak bisa belajar aliran yang mereka percayai.
"Jadi karena tidak ada penyuluhnya juga di sekolah-sekolah tersebut. Ketika ada pelajaran agama untuk siswa lain, siswa penghayat kepercayaan paling hanya diam di luar kelas," kata Indra ketika dihubungi IDN Times, Kamis (8/9/2022).
Kondisi ini bukan kabar baik untuk para penghayat kepercayaan, karena pada siswa seharusnya bisa mendapatkan ilmu mengenai kepercayaannya ketika berada di lembaga pendidikan.
1. Siswa penganut kepercayaan tersebar di banyak sekolah
Indra mengatakan, saat ini terdapat 63 siswa yang masih belajar dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Sementara jumlah penyuluh penghayat memang baru sedikit sekitar 10 orang, di mana 6 perempuan dan 4 laki-laki.
Selain minat lembaga pendidikan untuk memberikan pelajaran pada penghayat kepercayaan, jumlah penyuluh pun jadi kendala sulitnya belajar siswa aliran kepercayaan ketika berada di sekolah. Terlebih dalam satu sekolah biasanya hanya ada beberapa siswa saja.
"Ini juga memang yang jadi persoalan. Kita siswa ada yang tersebar di Lembang (KBB) maupun di sekitar Cimenyan (Kabupaten Bandung). Sedangkan penyuluhnya tidak banyak jadi tidak bisa setiap minggu datang ke sekolah," kata Indra.