Penderita HIV/AIDS di Jabar Mencapai 8.886 Orang Selama 2024

Bandung, IDN Times - Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Barat (Jabar) menyatakan, penderita HIV/AIDS di tahun 2024 tidak mengalami peningkatan signifikan dibandingkan 2023. Pada tahun ini, kasus Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) tercatat ada penurunan.
Hal itu diketahui berdasarkan data yang tercatat dari awal hingga penghujung tahun ini. Kepala bidang (Kabid) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Jabar, Rochady Hendra Setia Wibawa mengatakan, jumlah data pasien penderita HIV/AIDS di Jabar 2023 tercatat 9.710 dan tahun 2024 tercatat 8.886.
Dari jumlah itu, penderita perempuan di tahun 2023 ada 2.464 orang dan tahun 2024 ada 2.121 orang. Sementara jumlah ibu Hamil positif HIV/AIDS di tahun 2023 sejumlah 560 bumil (ibu hamil), untuk 2024 didapat 275 bumil," ujar Rochady saat dikonfirmasi Jumat, (29/11/2024).
1. Kasus penderita di Jabar ada penurunan

Berdasarkan data yang ada, Rochady mengungkapkan, penderita ada kecenderungan menurun, termasuk kelompok perempuan dan ibu hamil. Meski begitu, Ia mengatakan, kasus HIV/AIDS tetap ditemukan, hanya saja kecenderungannya tidak lebih tinggi dari tahun sebelumnya yaitu di 2023.
"Kasus yang ditemukan masih rerata sama dengan tahun periode sebelum nya," ucapnya.
Lebih lanjut, Rochady memastikan Dinkes Jabar telah melakukan berbagai upaya untuk memutus mata rantai HIV/AID agar tidak terjadi peningkatan. Pelayanan untuk penderita dikatakannya telah disediakan.
"Semua obat obatan masuk kedalam program pemerintah, sehingga jika pasien HIV/AIDS menggunakan obat program pemerintah itu gratis. Obatnya di semua fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah atau swasta. Obat ARV nya Gratis dari pemerintah/Kemenkes RI," jelasnya.
2. Pengendalian dan penanganan HIV/AIDS sudah dilakukan

Terpisah, Ketua Tim Pencegahan Penyakit Menular dan Tidak Menular Dinkes Jabar, Yudi Komarudin mengatakan, dalam menangani HIV/AIDS ada beberapa hal yang sudah dilakukan dalam hal pengendalian dan penanganan. Hanya saja, hal ini dirasakannya masih kurang jika hanya dilakukan oleh pemerintah saja.
"Penyelesaian atau pengendalian penanggulan HIV ini nggak bisa hanya dilakukan oleh petugas kesehatan. Tapi tentunya ini harus dilakukan oleh lintas sektor termasuk masyarakat itu sendiri," ujar Yudi.
Salah satu bentuk penanganan yang sudah dilakukan Dinkes Jabar, kata Yudi, melakukan pengetesan ke beberapa populasi kunci, dalam hal ini orang dengan beresiko, dan rentan. Tes ini dilakukan kepada beberapa ibu hamil yang ada.
"Jadi setiap ibu hamil yang ada di Jawa Barat, kita lakukan tes. Sehingga tadi juga ditemukan data total ibu hamil yang menjadi penderita," ujarnya.
3. Jabar punya 384 fasilitas kesehatan yang menangani penderita HIV/AIDS

Selain itu, Dinkes Jabar juga memiliki layanan kesehatan untuk para penderita HIV/AIDS yang ada di beberapa rumah sakit dan juga puskesmas. Yudi mengatakan, saat ini fasilitas kesehatan yang mampu memberikan layanan pengobatan untuk ODHA baru ada di 384.
Kendati demikian, semua layan yang ada baik di rumah sakit swasta dan pemerintah hingga puskesmas sudah bisa melayani pengetesan.
"Jadi kita baru ada 384 Layanan Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP). Tapi kalau semua puskesmas, seluruh rumah sakit sudah bisa melakukan tes. Tapi untuk pengobatan, itu baru kita ada 384. Itu kita kembangkan terus akses layanannya," katanya.
Di dalam rumah sakit dan puskesmas yang memiliki PDP ini nantinya akan ada pemberian konseling pada penderita, diberikan edukasi hingga obat ARV yang tentunya harus terus diminum seumur hidup, jika tidak diminum maka akan mengakibatkan meningkatnya stadium dari HIV/AIDS ini.
"Layanan PDP itu sudah ada di seluruh rumah sakit di kabupaten dan kota. Seperti di kota Bandung banyak, bahkan di kota Bogor seluruh Puskesmas sudah jadi layanan PDP," katanya.
4. Optimistis kasus bisa turun di 2030

Dengan beberapa upaya yang ada saat ini, Yudi mengharapkan kasus penderita HIV/AIDS bisa turun di 2030. Namun, dirinya juga meminta berbagai pihak turut membantu dalam melakukan pencegahan mulai dari kabupaten dan kota.
Seperti melakukan edukasi penanganan HIV dari lingkungan keluarga hingga pendidikan. Menurutnya, kabupaten dan kota perlu melakukan edukasi terhadap siswa-siswi di tingkat SMP agar tidak menjadi penderita.
"Itu harus sudah diinformasikan, kaitan dengan edukasi seks, seperti itu. Kaitan dengan pemahaman di keluarga bisa memberikan edukasi kepada anak-anaknya, itu bisa supaya menyampaikan kaitan dengan edukasi informasi, jangan sampai generasi penerus ini melakukan hal yang salah," jelasnya.
Selain itu, para penderita saat ini memiliki kecenderungan tidak terbuka terhadap keluarga. Menurutnya, hal ini harus lebih diperhatikan oleh para penderita. Bahkan, masyarakat ada yang melakukan pengobatan di luar kota dibandingkan di daerahnya sendiri.
"Contoh misalnya orang dari Garut untuk akses obat ke kota Bandung. Orang Cianjur ke kota Bandung. Orang kota Bandung malah ke Purwakarta. Jadi masi banyak seperti itu. Karena tadi saking dia takut ketahuan oleh keluarga besarnya atau oleh tetangganya gitu," kata dia.