Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi tersangka diborgol. (IDN Times/istimewa)
Ilustrasi tersangka diborgol. (IDN Times/istimewa)

Intinya sih...

  • 21 suporter Persikas Subang diamankan setelah membentangkan spanduk "Selamatkan Persikas" dalam acara gubernur Jawa Barat
  • LBH Bandung menilai penangkapan sebagai pembungkaman suara rakyat, dan kepolisian melakukan pemaksaan dan perlakuan tidak patut selama pemeriksaan
  • Pembentangan spanduk merupakan hak berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945, namun polisi melakukan penangkapan tanpa dasar hukum yang jelas
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandung, IDN Times - Beberapa hari lalu, ada 21 suporter Persikas Subang (Persikas) yang membentangkan spanduk bertuliskan “Selamatkan Persikas” dalam acara “Nganjang Ka Warga” bersama Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, Rabu (28/5/2025), diamankan aparat. Setelah didata dan diminta keteranga mereka dilepas kembali.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menilai bahwa penangkapan itu adah bentuk nyata pembungkaman suara rakyat dan kemunduran demokrasi di tingkat lokal.

"Kami mengecam keras tindakan represif yang dilakukan aparat terhadap aksi damai tersebut. Kami juga menyesalkan sikap arogan Gubernur yang melontarkan hinaan kepada anak-anak muda Subang yang menyuarakan aspirasi dengan damai," kata Direktur LBH Bandung, Heri Promono, melalui siaran pers yang diterima IDN Times, Minggu (1/6/2025).

Menurut LBH, spanduk “Selamatkan Persikas” bukan bentuk provokasi, itu adalah aspirasi rakyat Subang yang menolak diam ketika klub kebanggaan mereka hendak dijual atau dipindahkan secara sepihak. Sepak bola adalah milik rakyat, bukan milik elite, maka ketika ruang partisipasi publik dibungkam, dan ekspresi damai dianggap ancaman, yang rusak bukan hanya demokrasi, tapi juga martabat pemerintahan itu sendiri.

1. Puluhan remaja itu ditangkap paksa

ilustrasi kebebasan dari belenggu (pexels.com/pixabay)

Untuk diketahui, Polisi melakukan penangkapan terhadap 21 orang (3 di antaranya diduga anak di bawah umur) sekitar pukul 22.00 WIB sesaat setelah pembentangan spanduk dan kemudian memboyong mereka ke kantor polisi sekira pukul 23.30 WIB, tanpa ada dasar dan bukti permulaan bahwa telah terjadi dugaan tindak pidana.

Sebanyak 21 orang dimintai keterangan di Polsek Ciasem tanpa ditawari apakah akan didampingi penasihat hukum atau tidak. Salah satu dari mereka mengaku bahwa ada pemaksaan untuk mengakui sesuatu yang bukan kebenarannya. Selain itu, dari beberapa sumber berita terdapat sebuah foto yang memperlihatkan para suporter sedang berjongkok dengan telanjang dada, sebuah perlakuan yang sungguh tidak patut untuk dilakukan institusi negara kepada warganya.

Proses pemeriksaan dilakukan sampai sekitar pukul 04.00 WIB dini hari, mereka kemudian dilepaskan dan pulang ke rumah masing-masing. Namun, sekitar pukul 11 siang (29 Mei 2025), mereka kembali dijemput oleh Unit Jatanras Satreskrim Polres Subang tanpa surat penangkapan atau surat panggilan yang patut sesuai hukum.

Kepolisian menjemput tanpa dasar yang jelas, para suporter kembali diminta memberikan keterangan di Polres Subang tepatnya di Satreskrim dan kemudian menandatangani dokumen pemeriksaan tanpa diberi tahu tujuan pemeriksaan tersebut mengenai apa. Ponsel milik para suporter pun diambil oleh polisi tanpa dasar, salah satu dari ponsel tersebut bahkan diminta untuk dibuka secara paksa.

Adapun mengenai alasan mereka dijemput ke Polres Subang adalah diduga adanya laporan dari panitia kegiatan tersebut dan polisi langsung bertindak atas laporan tersebut. Pihak polres pun beralasan bahwa mereka meminta keterangan untuk mencari dalang pembentangan spanduk di acara Dedi Mulyadi hingga akhirnya mereka diminta melakukan permintaan maaf dan keesokan harinya (30 Mei 2025) diminta datang ke kediaman Dedi Mulyadi di Lembur Pakuan, Kota Subang.

2. Pembentangan spanduk tak melanggar hukum

Gerbang Biru Stadion GBLA Jebol, Oknum Bobotoh Diamankan Polisi (IDN Times/Azzis Z.)

Heri menuturkan, pertanyaan mendasar dari kasus dua hari ke belakang adalah apa unsur tindak pidana yang diduga dilakukan oleh para suporter sehingga perangkat negara bernama kepolisian harus menggunakan upaya penangkapan dan pemeriksaan yang tidak perlu.

Seharusnya Kepolisian melaksanakan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 11 ayat (1) huruf a dan d, di mana polisi dilarang melakukan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum serta penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia. Serta Pasal 7 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No. 12/2005 yang menjelaskan bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.

Aksi pembentangan spanduk oleh suporter Persikas Subang dalam kegiatan publik merupakan bentuk sah dari hak berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 serta Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 dan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12/2005.

"Kedua instrumen HAM ini secara tegas menjamin kebebasan setiap individu untuk menyampaikan pikiran dan pendapat, termasuk melalui media spanduk atau bentuk ekspresi lainnya," kata Heri.

3. Seorang pemimpin jangan antikritik

IDN Times/Debbie Sutrisno

Selama tidak mengandung unsur kekerasan, ujaran kebencian, atau hasutan langsung yang mengancam keamanan, setiap warga negara berhak menyampaikan aspirasi, termasuk melalui spanduk, poster, atau bentuk ekspresi visual lainnya. Membatasi hal ini tanpa dasar hukum yang jelas justru bertentangan dengan prinsip negara demokrasi dan perlindungan kebebasan sipil. Penangkapan terhadap suporter Persikas Subang berpotensi menciptakan iklim represif terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kepolisian seharusnya memprioritaskan pendekatan proporsional, bukan langsung melakukan kriminalisasi.

LBH mengecam tindakan penangkapan terhadap 21 suporter adalah pelanggaran terhadap hak berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 dan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12/2005.

Penangkapan dan pemaksaan memberikan keterangan terhadap 21 orang (3 orang diduga anak di bawah umur) adalah penangkapan sewenang-wenang atau ‘false arrest’ yang mana seharusnya polisi berpedoman pada aturan KUHAP.

Selain itu, Polisi mengabaikan asas nesesitas, legalitas dan proporsionalitas dalam tindakannya yang bertentangan dengan Undang-Undang HAM dan Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian;

Gubernur Dedi Mulyadi dianggap telah mencederai etika kepemimpinan dengan mempermalukan rakyat yang sedang menyampaikan pendapatnya. Sekaligus menunjukan praktik ‘abuse of power’ dengan dengan berbicara bahwa ia akan mencari tahu rumah dan sekolah dari para suporter.

"Seorang pemimpin yang takut dikritik bukanlah pemimpin rakyat, melainkan penguasa tiran. Kami menuntut pemberian sanksi terhadap penangkapan dan proses hukum yang tidak berdasarkan aturan berlaku yang telah dilakukan oleh Polsek Ciasem dan Polres Subang. Penangkapan yang dilakukan tanpa adanya tuduhan jelas dan prosedur yang menyimpang dari aturan merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan juga sebuah bentuk penyelewengan kewenangan yang dimiliki oleh sebuah institusi negara," pungkasnya.

Editorial Team