Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Pakar Unpar: Larangan Studi Tur oleh Dedi Mulyadi Harus Dikaji Kembali

IMG-20250721-WA0013.jpg
(IDN Times/Azzis Zulkhairil)
Intinya sih...
  • Larangan studi tur di Jawa Barat membuat pelaku pariwisata protes dan mengalami dampak ekonomi negatif.
  • Pakar Unpar, Kristian Widya Wicaksono, menilai kebijakan harus memperhitungkan semua dampak positif dan negatif serta didukung oleh riset mendalam.
  • Jika larangan tetap dipertahankan, Gubernur Dedi Mulyadi harus mencari solusi konkret untuk para pelaku pariwisata yang terdampak.

Bandung, IDN Times - Surat Edaran Gubernur Jawa Barat mengenai larangan studi tur kini membuat para pelaku pariwisata. Pasalnya, larangan yang sudah lama diterapkan ini membuat para pelaku pariwisata seperti bus dan lainnya menjadi sepi.

Mereka juga sudah turun ke jalan dan menyampaikan aspirasi di depan kantor gubernur Dedi Mulyadi, Gedung Sate. Bahkan, aksinya juga dilakukan hingga menutup jalan layang Pasupati atau kini Mochtar Kusumaatmadja di mana itu merupakan akses utama masuk dan keluar Tol Pasteur.

Pakar kebijakan publik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Kristian Widya Wicaksono mengatakan, larangan studi tur yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 45/PK.03.03/KESRA harus dilihat secara utuh, setelah munculnya amsi massa kemarin.

"Demonstrasi yang dilakukan pekerja wisata kemarin merupakan akumulasi dari kekecewaan mereka terhadap dampak dari kebijakan pelarangan studi tur. Sebab, bagaimana pun hal ini berhubungan dengan sumber mata pencaharian yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat," ujarnya saat dihubungi, Selasa (22/7/2025).

1. Risiko atas sebuah kebijakan memang selalu ada

IMG_20250721_132943.jpg
(IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Pejabat atau pemangku kepentingan seharusnya mengeluarkan kebijakan dengan semua pertimbangan yang matang. Menurutnya, pertimbangan dampak-dampak kepada masyarakat untuk setiap golongannya bisa turut diperhitungkan.

"Resiko dari sebuah kebijakan akan selalu ada baik besar maupun kecil. Namun, dalam pengambilan keputusan maka pembuat keputusan harus memperhitungkan semua risiko tersebut dengan seksama dan mengambil langkah mitigasi untuk memastikan dampak buruk kebijakan dapat teratasi dengan baik," katanya.

2. Perlu ada riset serius

IMG-20250721-WA0017.jpg
(IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Selain itu, membuat atau memutuskan kebijakan tidak bisa langsung diterapkan begitu saja, perencanaan harus turut ditempuh karena untuk mendapatkan hasil yang baik dan mengetahui semua dampak negatif dan positifnya. Riset mendalam juga perlu dilakukan terlebih dahulu.

"Inilah alasan yang melandasi bahwa perlu riset yang serius dalam pembuatan kebijakan, agar kalkulasi risiko dilakukan dengan betul-betul mendetail agar tidak merusak keseimbangan di tengah masyarakat," ungkapnya.

Kristian pun menyoroti kecenderungan intervensi pemerintah yang kadang berlebihan dalam urusan masyarakat. Padahal, tidak semuanya urusan ini diselesaikan dengan dikeluarkannya surat edaran dan lainnya.

"Bahkan tidak semua hal harus diintervensi dengan kebijakan. Bisa jadi justru ada hal-hal yang semestinya diselesaikan secara mandiri oleh masyarakat tanpa harus ada intervensi kebijakan dari pemerintah," katanya.

3. Alasan harus jelas dan bisa diterima semua pihak

IMG-20250721-WA0019.jpg
(IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Mengenai Dedi Mulyadi yang kekeuh ogah mencabut larangan ini, meskipun para pelaku pariwisata mendesak agar sekolah diizinkan kembali untuk menggelar studi tur, Kristian mengatakan, alasan harus kuat dan dapat diterima oleh pelaku pariwisata.

"Semestinya dilandasi oleh alasan yang bisa diterima oleh publik, terutama oleh kelompok yang terdampak oleh keputusan tersebut. Harus ada landasan berbasis bukti, data, informasi, dan pengetahuan yang relevan dengan alasan mempertahankan kebijakan tersebut," ujarnya.

"Kalau hanya sekedar bersikukuh mempertahankan keputusan tanpa adanya argumentasi pendukung yang bisa dipertanggung-jawabkan. Maka hal ini justru akan memicu reaksi yang semakin negatif dari pelaku pekerja pariwisata," katanya.

Kristian menambahkan, jika Gubernur Dedi Mulyadi tetap bersikukuh mempertahankan kebijakan ini, pemerintah provinsi seharusnya bertanggung jawab dan mencari solusi konkret atas apa yang dialami para pelaku pariwisata.

"Jika pun keputusan mempertahankan surat edaran larangan study tour tetap dilanjutkan, maka setidaknya Gubernur bertanggung jawab untuk mencarikan rombongan wisatawan lain yang bisa menggantikan rombongan wisatawan pelajar," kata dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Galih Persiana
EditorGalih Persiana
Follow Us