Bandung, IDN Times – Alex adalah pria yang tak pernah absen dalam mengunggah foto hingga meme di akun media sosialnya. Maklum kiranya, seperti anak muda Indonesia lainnya, Alex memang cukup melek dalam berselancar di media sosial. Bedanya, yang ia unggah bukanlah fotonya pribadi, melainkan foto perempuan-perempuan cantik untuk mencuri perhatian akun-akun lainnya.
Ketika itu tahun 2017, di mana Alex memang harus berpura-pura menjadi orang lain, karena bagaimana lagi, dari sanalah ia mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan bulanan. Kepada The Guardian, Alex mengaku bekerja sebagai buzzer politik dari Basuki Tjahaja Purnama (Ahok/BTP), yang ketika itu tengah maju untuk Pilkada DKI Jakarta 2017 dengan status petahana.
Alex digaji untuk untuk memberi opini sesuai dengan pesanan di kolom komentar dari berbagai unggahan yang berserakan di media sosial. Dengan bermodalkan satu ponsel pintar, ia membuat beberapa akun untuk menjalankan pesanannya.
Pengalaman Alex adalah salah satu potret dari taktik para politikus di Indonesia dalam memanfaatkan media sosial sebagai senjata menggiring opini publik. Pemanfaatan media sosial untuk mempropaganda memang telah menghiasi berbagai isu penting yang terjadi di Indonesia, terutama isu-isu yang melibatkan pemerintah.
Yang teranyar, dugaan penggiringan opini publik lewat media sosial juga terjadi pada isu Otonomi Khusus Papua Barat.
Konflik di Papua Barat antara pemerintah dan kelompok masyarakat memang telah terjadi bertahun-tahun dan berlarut-larut. Pemerintah Indonesia tampak lebih tertarik untuk mengendalikan potensi kerusuhan politik di wilayah Papua, alih-alih mengatasi akar dari masalah yang terjadi di sana.
Secara politis, Papua Barat memang memiliki sejarah yang kompleks sehingga berujung pada berbagai kerusuhan yang terjadi di sana. Menghadapi itu, Pemerintah Indonesia sendiri telah berulang kali diduga berupaya membatasi informasi terkait apa yang terjadi di sana.
Media sosial mulai dari Instagram, TikTok, X (dahulu bernama Twitter), Facebook, hingga Snack Video pun berperan penting sebagai muara dari informasi mengenai situasi di Papua Barat. Masalahnya, tidak semua informasi yang berserakan di berbagai media sosial itu dapat dipercaya, karena diduga telah dikontrol oleh seseorang di balik layar komputer.
Internews, Indonesia Corruption Watch, SAFEnet, dan Centre for Information Resilience, menjadi lembaga-lembaga yang mengendus penyebaran disinformasi tentang Otonomi Khusus yang seragam dan terkontrol dengan alur yang dapat dinilai sebagai inauthentic behaviour. Informasi yang disebar di berbagai media sosial tersebut bisa dipandang sebagai propaganda, yang secara berulang-ulang memunculkan narasi bahwa langkah pemerintah dalam membentuk Otonomi Khusus Papua Barat berhasil.
Berbagai temuan ini berujung pada laporan investigasi berjudul Disinformasi Keberhasilan Otonomi Khusus Papua Barat sebagai buah kolaborasi di antara Internews, Indonesia Corruption Watch, SAFEnet, dan Centre for Information Resilience, di mana telah di-publish baru-baru ini.