Bandung, IDN Times - Nusep Supriadi tampak sibuk dengan pisau dan sebatang kayu bekas di tangannya. Sembari duduk menghadap ke sungai Cikapundung, Nusep dengan sabar memarut kayu secara perlahan membentuk lengkungan panjang.
Siang itu, Rabu (15/9/2021), Nusep sendirian di teras bagian bawah rumah panggungnya. Mengenakan kaus oblong dan sandal capit, dia tampak santai membuat bahan kerajinan tangan.
"Ini rencana buat bahan lukisan kayu. Kayunya saya manfaatkan dari yang suka ada mengalir di sungai saja," ujar Nusep menceritakan kegiatannya ketika berbincang dengan IDN Times, Rabu (15/9/2021).
Nusep merupakan warga asli Kota Bandung yang semenjak kecil sudah tinggal di sekitar Sungai Cikapundung. Selama 40 tahun, dia menjadi salah satu orang yang merasakan perubahan signifikan sungai sepanjang 28 kilometer (km) ini.
Dia coba menggali ingatan ke masa lalu ketika diriya masih kecil, bermain bersama teman sebaya di sungai ini. Airnya jernih. Lebarnya lebih dari sekarang. Anak-anak di sekitar bantaran menjadikan Sungai Cikapundung sebagai tempat untuk bersenang-senang.
Tapi sekarang, kondisi Sungai Cikapundung berbalik 180 derajat. Sampah rumah tangga, kotoran hewan, hingga kotoran manusia masuk ke sungai. Ini berdampak pada pencemaran bakteri E-coli yang terkandung dalam air sungai.
"Ikan khas sungai seperti benter, kehkel, badar, ini sudah punah sekarang. Saat sungai mulai tercemar secara tidak langsung keberadaan ikan itu juga hilang," ujar Nusep.
Kondisi ini jelas memprihatinkan. Bukan hanya persoalan sungai yang tidak terawat karena timbunan sampah maupun sedimen. Lebih dari itu, ini adalah Sungai Cikapundung. Sungai yang syarat akan sejarah dalam perjalanan masyarakat Kota Kembang.