Ilustrasi rumah sakit (IDN Times/Arief Rahmat)
Penurunan jumlah peserta aktif, menurut Eni, sebagian besar disebabkan oleh lonjakan peserta nonaktif. Kelompok paling terdampak adalah warga yang terdaftar sebagai peserta mandiri kelas III, umumnya berasal dari sektor informal, seperti buruh harian dan pedagang kecil.
“Mereka tidak punya penghasilan tetap. Akibatnya, tidak mampu membayar iuran bulanan Rp42 ribu. Ketika iuran menunggak, status mereka otomatis nonaktif,” ujar Eni.
Kondisi ini menyebabkan banyak warga datang berobat ke rumah sakit atau puskesmas tanpa perlindungan jaminan kesehatan, dan akhirnya fasilitas kesehatan menanggung beban biaya pengobatan yang seharusnya dibiayai BPJS.
Eni menyebutkan, untuk mencapai UHC minimal 80%, perlu tambahan 200 ribu peserta aktif. Jika seluruhnya tergolong masyarakat tidak mampu dan harus ditanggung APBD, maka diperlukan dana sekitar Rp71 miliar per tahun.
“Perhitungan kami, Rp42 ribu per peserta per bulan dikalikan 200 ribu peserta selama setahun. Ini beban besar bagi anggaran daerah,” jelasnya.
Dinas Kesehatan telah mengusulkan agar dana tersebut dialokasikan lewat program Penerima Bantuan Iuran (PBI) daerah, namun keterbatasan anggaran masih menjadi tantangan.
Untuk itu, Eni mendorong peran swasta melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam membantu pembiayaan jaminan kesehatan warga miskin.