Warga melintas di depan mural wajah-wajah Presiden Indonesia dari Soekarno hingga Joko Widodo di Kampung Jagalan, Solo, Jawa Tengah, Kamis (13/8/2020). Selain sebagai sarana edukasi tentang sosok tujuh presiden Indonesia, hiasan mural tersebut juga untuk menyambut HUT ke-75 RI dan sebagai tempat swafoto bagi pengunjung kampung tersebut (ANTARA FOTO/Maulana Surya)
Ahmad Ilham Wibowo, Kepala Bidang Riset dan Edukasi Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII). Ilham menjelaskan, pemerintah baik lewat kepolisian, Satpol PP, atau aparat negara yang lain, sebenarnya tidak boleh melakukan intervensi dalam bentuk apapun. Adapun tindakan membuat mural yang bermuatan kritik dapat dikatakan merupakan salah satu perwujudan dari kebebasan berpendapat atau memberikan kritik dalam bentuk tulisan yang telah dijamin secara konstitusional oleh Pasal 28 UUD NRI 1945.
"Termasuk melakukan penghapusan terhadapnya, kecuali di dalamnya terdapat muatan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan rakyat Indonesia. Atau pembuatan mural dilakukan di tempat-tempat yang tidak seharusnya, seperti tempat ibadah," ungkapnya, Sabtu (28/8/2021).
Namun, berdasarkan Pasal 28J UUD NRI 1945, pemerintah memang boleh membatasi hak tersebut dengan beberapa syarat. Pertama diatur dalam undang-undang dan memenuhi alasan-alasan yang sah yakni, untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.