Bandung, IDN Times - Cahaya matahari masih malu-malu menyelinap di sela-sela jendela saat Indrawati keluar dari kamar kos-kosan. Pakaiannya tebal. Sepatu dan jaket dikenakan untuk menepis angin yang cukup terasa dingin di kulit. Maklum, cuaca di Kota Bandung memasuki Oktober memang sedang dingin-dinginnya seiring musim penghujan.
Sepeda motor matik yang terparkir lantas dihidupkannya. Sambil menunggu mesin motor panas dan siap dipacu, dia mengaktifkan aplikasi Gojek yang ada di ponsel pintarnya. Siapa tahu sudah ada penumpang yang hendak diantarkan ke tempat tujuan.
15 menit berlalu, orderan belum juga masuk. Kak Wati, sapaan Indrawati, tetap tancap gas bersama motor kesayangannya ke daerah pusat Kota Bandung. Dia ingin menunggu order di tempat nongkrongnya di sekitar mal Bandung Indah Plaza (BIP).
"Saya kalau rajin bisa jam 4 pagi keluar dari kosan. Cuman sekarang-sekarang sekitar jam 7 baru keluar cari orderan," ujar Kak Wati saat berbincang dengan IDN Times, Selasa (18/10/2022).
Sambil menunggu order, Wati bercerita bahwa dia sudah menjadi driver Gojek sejak 2019. Awalnya, dia tak ingin menghabiskan waktu di jalanan karena sudah mempunyai usaha sendiri di bidang keuangan. Sayang, usaha tersebut amburadul ketika satu pekan sebelum pemerintah mengumumkan pandemik COVID-19, Wati mengalami kecelakaan. Salah satu lututnya retak, membuatnya sulit bergerak. Kondisi itu kemudian berdampak pada bisnis yang dijalankan.
Berdiam selama tiga bulan setelah kecelakaan, perempuan 30 tahun asal Medan ini memutar otak untuk mencari penghasilan. Hidup sendiri di Kota Bandung dan harus menyisihkan uang untuk orangtuanya membuat Wati lantas memutuskan fokus menjadi driver Gojek.
"Usaha berantakan dan uang habis sama biaya berobat, akhirnya prioritas utama saya ya di Gojek saja karena ini yang bisa membantu dan menghasilkan uang bagi saya," kata Wati.
Meski harus menahan sakit di lututnya, Wati tetap bekerja semaksimal mungkin, mulai dari mengantar orang, makanan, hingga barang. Dia tak ingin berleha-leha tanpa bekerja dan sekadar menunggu lututnya sembuh 100 persen.
Wati tak menampik jika pandemik COVID-19 memberikan dampak pada penurunan jumlah pendapatan driver. Terlebih ketika ada aturan pemerintah yang melarang membawa penumpang. Penghasilannya bisa turun drastis.
Sebelum pandemik dan banyak pesaing dari perusahaan tetangga, Wati bisa mengantongi uang dalam sehari mencapai Rp300 ribu hingga Rp400 ribu. Itu belum dipotong uang makan dan bensin.
Sekarang setelah pandemik mulai landai pendapatannya memang belum kembali seperti awal mula bergabung dengan Gojek. Meski demikian dia bersyukur masih bisa bekerja dan menghasilkan uang.
"Saya sangat terbantu dengan adanya perusahaan seperti ini (Gojek). Karena kita seperti ini bisa mendapat pekerjaan. Sekarang saya sehari bisa dapat Rp150 ribu sampai Rp250 ribu. Itu buat diri sendiri dan sebagian diberikan pada orang tua," kata Wati.
Satu hal yang diharapkan Wati agar Gojek bisa mempertimbangkan besaran insentif bagi driver yang sekarang kecil dan makin sulit didapat. Dulu, sebelum ramai persaingan, driver bisa mendapat insentif hingga Rp30 ribu untuk 15 trip. Namun, sekarang insentif tersebut sangat sulit didapat. Padahal, insentif tersebut sangat membantu para driver untuk kebutuhan sehari-hari. Jumlah uang itu bisa lebih besar ketika ada bonus dari konsumen.
Dari data Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), di Kota Bandung sendiri mitra driver GoRide mengalami pemulihan penghasilan sebesar 18 persen dengan rata-rata pendapatan per bulan tahun 2021 sebesar Rp3,8 juta dan tahun 2020 sebesar Rp3 juta.
Sementara mitra driver GoCar mengalami pemulihan penghasilan sebesar 28 persen dengan rata-rata pendapatan per bulan tahun 2021 sebesar Rp2,1 juta dan tahun 2020 sebesar Rp1,6 juta.
Menjadi driver ojek online juga dijalani Dewi (42). Dia lebih dulu mendaftar sebagai driver pada 2018. Sekadar ikut ajakan teman di kantor, ceritanya.
Bekerja di kantor akuntan, banyak waktu senggang yang ingin Dewi manfaatkan mencari tambahan penghasilan. Alhasil dia mendaftar sebagai driver. Hampir setiap hari kerja dia menyempatkan mengantar penumpang atau makanan dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 09.00 WIB.
Setelah pulang kantor sekitar pukul 16.00 WIB, Dewi kemudian melanjutkan aktivitas sebagai pengemudi ojek online (ojol) hingga tengah malam.
"Saya seorang janda. Kerja sendiri dan tinggal sendiri jadi waktu untuk mencari tambahan bisa lebih lama. Anak kan pesantren jadi memang tidak yang ditunggu di rumah," kata Dewi.
Pandemik COVID-19 pun menjadi titik Dewi makin serius menjadi seorang ojol. Kantor akuntan yang mempekerjakannya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak. Alhasil hanya dengan mengantarkan penumpang sampai makanan adalah cara Dewi mencari pemasukan.
"Karena saya di umur yang sudah tua tidak mungkin mencari pekerjaan. Mana ada perusahaan yang mau. Cuman di perusahaan seperti ini (Gojek) yang bisa memberikan pekerjaan," ungkap Dewi.
Tinggal di sekitar Jalan Gatot Subroto, Dewi kerap keluar rumah mencari orderan sekitar pukul 07.00 WIB. Saat pandemik dan belum banyak aktivitas dia biasa keluar rumah pukul 10.00 WIB. Karena sekarang masyarakat sudah mulai banyak kegiatan, Dewi sudah bisa dapat orderan penumpang yang hendak bepergian dari pagi hari.
Meski pendapatannya tidak besar mencapai Rp100 ribu setelah dikurangi berbagai kebutuhan harian termasuk makan dan bensin sepeda motor, uang tersebut Dewi cukupkan untuk membiayai anaknya yang pesantren.
"Ya kita cukup-cukupin lah yah. Kadang juga ada gali lubang tutup lubang. Tapi minimal sekarang ada perusahaan membantu dengan umur seperti ini," kata dia.