Bandung, IDN Times - Ruang kelas Yayasan PKBM Hidayah riuh para siswa yang tengah belajar. Sejak pagi, sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD) ini sudah ramai didatangi orang tua yang membawa anaknya untuk belajar tatap muka. Relaksasi aturan untuk membuka pembelajaran tatap muka (PTM) disambut senyum riang siswa maupun orang tua.
Di antara suara gelak tawa 50 siswa PAUD yang belajar di dalam, terdapat satu ruang kelas yang hening. Letaknya di dekat pintu masuk. Dari balik kaca, kelas ini terlihat cukup gelap. Hanya ada dua guru dan empat murid yang tengah belajar. Kelas ini digunakan untuk belajar siswa difabel intelektual.
Eulis dan Dhea Tri, dua guru tengah mengajar secara terpisah. Dua siswa, Aji dan Dika, belajar dengan Eulis di salah satu sudut ruangan. Di sisi ruangan lainnya, terdapat Dhea yang tengah memberikan pelajaran menghitung kepada Galih. Sementara, satu siswa lainnya, yaitu Amar yang cukup pemalu belajar terpisah, menggambar dan menyusun puzzle.
"Tadi kan kita sudah belajar menghitung dan menulis, sekarang kita belajar mewarnai. Yang digambar sekarang ayah yah. Pensil warna ada di meja, Sok dipilih yang kalian suka yang mana," ujar Eulis memberi arahan pada Aji dan Dika usai keduanya belajar menulis, Senin (13/9/2021).
Aji dan Dika langsung sigap mengambil pensil warna. Aji membubuhkan warna oranye di bagian muka gambar ayah, sedangkan Dika menggunakan pensil warna biru. Sesekali mereka bercanda, meninggalkan kursi, berkeliling kelas, lalu duduk kembali di kursi merampungkan tugas mewarnai.
"Sudah bu," teriak Dika menunjukkan gambar yang baru setengah diwarnainya, bagian muka saja.
Sementara itu, Aji masih terus mewarnai badan ayah pada gambar tanpa terganggu teriakan Dika. Di saat Aji dan Dika lanjut mewarnai, Eulis menuju tempat Amar yang ada di samping meja guru. Di balik tembok penyekat dari triplek cokelat, siswa sekolah dasar (SD) ini sedang asyik bermain teka-teki puzzle, mulai dari gambar buah-buahan, kendaraan, hingga rambu lalu lintas.
"Kalau Amar ini memang pemalu. Jadi dia belum mau gabung sama yang lain buat belajar. Inginnya belajar sendirian," ungkap Eulis sambil bercengkerama dengan Amar.
Menggunakan pakaian merah putih khas siswa SD, Amar sangat menikmati permainannya. Dia kerap memanggil Eulis dan menunjukkan potongan puzzle yang dipegangnya untuk ditempel. Bertanya apakah puzzle yang dipegang sudah sesuai dengan letaknya atau belum.
Selesai mengajar Amar, Eulis kembali ke kursinya di depan Dika dan Aji. Hasil mewarnai keduanya lantas dibawa menuju ke tembok pemisah ruangan.
"Ayo ditempel di sini," ajak Eulis kepada Aji dan Dika. Amar yang mendengar ajakan itu sesekali mengintip malu-malu dari balik tembok.
PKBM Hidayah terletak di Kelurahan Bojongsari, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tempat yang juga disebut Dreamable ini memiliki beberapa ruangan, di mana salah satunya digunakan untuk mengajar siswa dengan difabel intelektual.
Eulis menceritakan, pandemik COVID-19 menjadi momok yang menakutkan bagi para siswa difabel intelektual. Musababnya, siswa yang selama ini belajar di dalam kelas harus berhenti sejenak. Aturan pemerintah yang tidak memperbolehkan kegiatan pembelajaran tatap muka selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) membuat mereka kesulitan mengakses pendidikan saat belajar secara daring dari rumah.
Mengakali hal tersebut, saat awal pandemik pada 2020, para guru di Dreamable kerap mengajar dari rumah ke rumah setiap siswa secara bergilir. Namun waktu belajar sangat terbatas sekitar dua jam saja. Para siswa pun hanya dapat belajar tatap muka dengan guru satu kali dalam seminggu. Sisanya diupayakan secara daring.
Memasuki 2021, guru di PKBM Hidayah sempat membuka kelas secara sembunyi-sembunyi. Hanya mereka yang jarak dekat dan tidak harus dijemput, bisa datang ke sekolah. Sedangkan mereka yang jauh tetap belajar di rumah secara daring, atau ketika guru datang ke kediamannya.
"Kita biasa ada mobil jemputan untuk siswa yang jauh. Tapi karena PPKM pas COVID-19 lagi tinggi-tingginya, susah juga kalau mobil jalan kan nanti ketahuan. Ga enak sama masyarakat. Jadi kita khususkan yang bisa datang sendiri diantar orang tua untuk belajar di sekolah," ungkap Eulis.