Menteri Transmigrasi Iftitah Raih Gelar Doktor Ilmu Bidang Politik

- Menteri Transmigrasi Iftitah Raih Gelar Doktor Ilmu Bidang Politik dari Universitas Padjadjaran
- Penelitian menunjukkan pemilih mempertimbangkan kedekatan emosional, media, politik uang, dan distribusi logistik dalam Pilpres 2024
- Public Mood berpengaruh signifikan terhadap perilaku memilih di Indonesia, menunjukkan karakter politik yang dinamis dan multidimensional
Bandung, IDN Times - Menteri Transmigrasi M. Iftitah Sulaiman Suryanagara berhasil mendapatkan gelar doktor dalam bidang ilmu politik dari Universitas Padjadjaran(Unpad). Gelar ini diraih setelah yang bersangkutan melakukan sidang terbuka di Bandung, Jumat (11/7/2025).
Untuk meraih gelar ini, Iftitah menjabarkan disertasinya tentang 'Elektabilitas Perilaku Memilih dalam Pilpres 2024: Analisis Multidimensi atas Pengaruh Karakteristik Sosial, Rasionalitas Politik dan Dinamika Utilitas Maksimal dalam Pembentikan Preferensi Elektoral di Indonesia'. Adapun tim penguji disertasi dipimpin oleh Prof. dr. Arief Sjamsulaksana Kartasasmita, Sp.M(K)., M.M., M.Kes., Ph.D.
Dalam abstrak yang dibuat Iftitah mengatakan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perilaku memilih dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Indonesia dengan mengintegrasikan berbagai faktor demografis, sosiologis, psiko-sosial, dan rasionalitas pemilih, serta mempertimbangkan pengaruh kampanye media, kekuatan uang, hingga distribusi logistik.
Dalam menganalisis perilaku memilih, studi ini menggunakan metode model pilihan diskrit untuk menjelaskan bagaimana kombinasi faktor-faktor tersebut memengaruhi keputusan politik pemilih.
"Selanjutnya, penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif guna mendalami hasil temuan data kuantitatif, untuk menjelaskan bagaimana utilitas maksimal terbentuk hingga membentuk public mood yang bisa memengaruhi arah perilaku memilih di Indonesia," ujarnya dalam sidang disertasi tersebut.
1. Pemenang Capres 2024 punya kedekatan emosional

Hasil penelitian ini, lanjutnya, menunjukkan bahwa pada dasarnya setiap pemilih berusaha memilih kandidat yang dapat memberikan manfaat terbesar bagi mereka, tercermin dalam pemilihan Capres yang mereka anggap paling mampu memenuhi kebutuhan dan harapannya. Pemilih tidak hanya menghitung keuntungan rasional dari kebijakan atau program yang ditawarkan, tetapi juga mempertimbangkan aspek emosional dan sosial, seperti identitas diri, afiliasi agama, keterikatan etnis, dan lainnya.
"Dengan demikian, pemilih mencari utilitas maksimal yang tidak hanya berbasis pada kalkulasi rasional ekonomi-politik semata, tetapi juga pada faktor-faktor kedekatan personal emosional dengan kandidat," paparnya.
Meski demikian, Ifittah menarik kesimpulan bahwa bahwa pemilih para Pilpres 2024 di Indonesia tidak dapat dijelaskan secara linear atau deterministik berdasarkan satu pendekatan teoritis semata. Sebaliknya, perilaku memilih di Indonesia justru menunjukkan pola eklektik, yaitu perpaduan kompleks antara faktor demografis, sosiologis, psiko-sosial, kalkulasi rasional, bahkan faktor-faktor lain seperti model pendekatan kampanye, media, dan intensitas distribusi insentif politik juga menentukan preferensi terhadap kandidat presiden.
Dari aspek demografis, usia terbukti sebagai variabel yang paling membedakan preferensi politik. Misalnya, pemilih muda menunjukkan kecenderungan mendukung Prabowo atau Anies, yang menandakan bahwa preferensi generasi muda tidak seragam, tetapi terbelah antara ketertarikan pada simbolisme agama dan figur berwibawa.
Sementara dengan baseline jumlah pendukung yang lebih kecil, kandidat Ganjar lebih banyak memperoleh dukungan kuat dari kelompok usia paruh baya dan tua, yang tampaknya lebih responsif terhadap narasi perbaikan dan efisiensi birokrasi.
"Sementara itu, variabel pendidikan dan pendapatan memiliki korelasi yang lebih lemah, tetapi tetap relevan: Prabowo, misalnya, cenderung lebih disukai oleh pemilih dengan latar belakang pendidikan non-formal dan berpendapatan tinggi, mengindikasikan daya tariknya bagi kelas pekerja informal dan elite ekonomi. Disisi lain, gender dan jenis pekerjaan tidak memainkan peran pembeda yang berarti," kata dia dalam kesimpul penelitian ini.
2. Media, politik uang, dan distribusi logisik masih berpengaruh pada Pilpres 2024

Sementara itu dalam uji hipotesis lain terkait kampanye media, politik uang, dan distribusi logistik atau imbalan memiliki pengaruh signifikan terhadap pembentukan preferensi pemilih dalam Pilpres 2024, menunjukkan pengaruh yang cukup beragam. Dalam konteks komunikasi politik, peran media masih ambivalen. Televisi dan radio, media tradisional, masih menjadi sumber utama informasi bagi pemilih, terutama di wilayah pedesaan.
Media ini efektif menjangkau segmen pemilih yang lebih konservatif dan kurang tersambung secara digital. Sebaliknya, meskipun media sosial menjadi kanal dominan dalam kehidupan sehari-hari pemilih, pengaruhnya terhadap preferensi politik tidak sekuat yang diperkirakan.
"Hal ini bisa disebabkan oleh kelebihan informasi, bias algoritma dan rendahnya kepercayaan terhadap isi media sosial, yang membuat pemilih kembali mengandalkan jaringan sosial dan media konvensional untuk validasi," kata dia.
Karena itu, penelitian ini mengkonfirmasi bahwa eklektisisme perilaku memilih di Indonesia menjadi karakteristik utama dalam demokrasi pasca reformasi, termasuk di Pilpres 2024. Karakter eklektik ini merupakan respons terhadap dinamika politik yang sangat cair, ketidakpastian ekonomi, serta ketegangan antara modernisasi dan konservatisme kultural.
Dalam situasi ini, pemilih Indonesia menunjukkan fleksibilitas berpikir politik yang tidak bisa dipetakan secara biner, antara ideologis atau transaksional, antara identitas atau rasionalitas, melainkan bergerak di antara keduanya, tergantung konteks, pengalaman sosial, dan narasi yang dominan saat kampanye.
3. Public Mood ikut berpengaruh

Di sisi lain, hasil uji hipotesis penelitian ini menunjukkan bahwa utilitas maksimal dan public mood secara signifikan memengaruhi perilaku pemilih. Evaluasi rasional terhadap program, rekam jejak, dan kredibilitas kandidat memang menjadi dasar pertimbangan utama, namun keputusan akhir pemilih sering kali dimediasi oleh afeksi emosional, baik yang bersifat integral, seperti kecemasan atau harapan terhadap masa depan bangsa, maupun insidental, seperti efek viralitas narasi kampanye atau tekanan sosial sesaat.
Model eklektik perilaku memilih yang terkonfirmasi dalam temuan penelitian ini menjelaskan bahwa tidak ada satu faktor dominan yang secara tunggal mampu menjelaskan keputusan pemilih. Dalam konteks ini, utilitas maksimal juga terbentuk melalui proses sintesis antara logika rasional dan resonansi emosional, yang dipengaruhi oleh latar belakang sosiologis, eksposur media, kekuatan simbolik tokoh, serta intensitas kampanye politik.
"Public mood berperan sebagai atmosfer kolektif yang mencerminkan sensitivitas publik terhadap dinamika sosial-politik, dan turut menjadi pemicu pergeseran preferensi pemilih dari waktu ke waktu. Dengan demikian, perilaku memilih dalam Pilpres 2024 merefleksikan karakter politik Indonesia yang dinamis dan multidimensional, di mana pemilih tidak sekadar bertindak sebagai agen rasional, melainkan juga sebagai subjek emosional yang merespons konteks dan simbol politik secara adaptif," kata dia.
Namun, perilaku politik yang eklektik ini memiliki konsekuensi yang signifikan terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Kemudian, keragaman faktor yang memengaruhi perilaku memilih menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia terus berkembang sebagai sistem yang mengakomodasi berbagai dimensi politik, pemilih tidak hanya terpaku pada satu faktor tetapi mampu mengevaluasi kandidat berdasarkan kombinasi isu sosial, ekonomi, dan politik.
"Hal ini mencerminkan adanya proses demokratisasi yang lebih matang, di mana pilihan politik menjadi lebih kompleks dan melibatkan banyak pertimbangan," pungkasnya.