Faktor pertama, kata dia, adalah tidak kuatnya komitmen para kepala daerah dalam mengemban tugas memimpin daerahnya masing-masing. Faktor kedua, Yod berpendapat, sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang membuat tiap kepala daerah sering terpeleset khilaf melakukan korupsi.
“Karena ternyata di era reformasi ini Pilkada tidak mudah dan murah. Dalam kata lain, sistem Pilkada saat ini sangat mahal,” tutur dia, dalam diskusi KPK Panen Koruptor di Jabar yang digelar oleh Pusaka RMOL Jabar di Kedai Kongres, Kota Bandung, Senin (28/10) malam. Ongkos politik yang mahal untuk menjadi kepala daerah, bagi Yod, membuat seorang kepala daerah menempuh segala cara untuk membayar duit yang telah ia keluarkan jika berhasil memenangi kontestasi politik.
Selanjutnya, faktor ketiga ialah sistem pengupahan kepala daerah yang ia nilai terlalu kecil. “Bayangkan saja, seorang kepala daerah yang fungsinya mengatur daerahnya juga melaksanakan tugas dari pusat, itu digaji kecil. Salah satu Bupati di Jateng (dalam pemberitaan) menyampaikan gajinya hanya Rp5,9 juta. Seorang gubernur hanya Rp8 jutaan,” katanya.
Fenomena ketiga itu baginya sedikit banyak mendorong seorang kepala daerah berani melakukan tindak pidana korupsi. “Sebagai kader Golkar, tentu saya sedih. Apalagi kalau ada sesama kader partai yang kena, itu sangat menyedihkan, meski sebenarnya tidak ada kaitannya dengan partai,” ujar sosok yang dalam 40 tahun terakhir berkecimpung di dunia politik Jawa Barat ini.