Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
nikmatislam.com

Bandung, IDN Times - Dian, bukan nama sebenarnya, masih ingat betul saat dia membaca pemberitaan mengenai peresmian Gedung Dakwah Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) di Kota Bandung yang dihadiri langsung Wali Kota Bandung Yana Mulyana dan perwakilan aparat negara lainnya.

Perasaan Dian biasa saja. Sebab, dia merasa dari dulu tekanan pada muslim Syiah sudah sering terjadi di Kota Bandung yang mengklaim sebagai kota toleransi.

"Aku sendiri kaget gak kaget, sih, soalnya kejadian seperti ini sudah biasa. Jadi cuma mikirnya 'oh gini lagi gak ada perubahan dari dulu'," kata Dian saat berbincang dengan IDN Times, beberapa waktu lalu.

Tak lama informasi ramai di media massa dan mesia soail, obrolan mengenai peresmian gedung tersebut dibicarakan juga di grup WhatsApp Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) muda yang diikuti Dian bersama puluhan anak muda lainnya.

Meski kondisi intoleransi ini sudah dirasakan muslim Syiah sejak dulu di Kota Bandung, IJABI muda sangat menyayangkan langkah wali kota dan jajaran pejabat daerah yang datang dalam peresmian tersebut.

"Kagetnya itu kok bisa (Yana Mulyana dan polisi) datang. Padahal kita kalau pas kegiatan Asyura saja sering dihalang-halangi sama polisi sampai datang," ujar Dian.

Peresmian Gedung Dakwah ANNAS dilakukan pada 28 Agustus 2022. Gedung ini berada di Jalan R.A.A. Martanegara No.30 Turangga, Kota Bandung. Peresmian gedung tersebut oleh pejabat Pemkot Daerah pun mendapat kecaman, tak terkecuali dari Kementerian Agama.

1. Semakin takut untuk membuka diri pada masyarakat

Ilustrasi toleransi agama (IDN Times/Mardya Shakti)

Dian dan kedua orangtuanya adalah muslim Syiah yang tinggal di Kabupaten Bandung, yang sehari-hari beraktivitas di Kota Bandung. Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) hingga berkuliah, Dian menimba ilmu di Kota Bandung. Sedangkan ayahnya mengajar di salah satu SMA swasta.

Sayangnya, hingga saat ini Dian tak berani untuk memberita tahu orang-orang di sekitarnya bahwa ia adalah seorang muslim Syiah. Dian lebih memilih bungkam dan menjalani pendidikan apa adanya.

Pernah suatu hari ketika di perkuliahan ada kelas agama, seorang dosen mengajak berbincang para mahasiswa mengenai mahzab apa yang mereka anut. Beruntung, Dian tidak jadi sasaran sang dosen. Jika iya, dia kebingungan untuk menjelaskan kondisinya kepada dosen dan teman sekelas agar tidak mendapat perundungan selesai jam kelas.

"Ada sebenarnya (arahan orangtua) mending kami diam tapi aman. Kami gak usah ngomong (sebagai muslim Syiah), karena yang penting keselamatan dulu," ujar Dian.

Menutup diri dari orang sekitar juga dilakukan Dian di lingkungan rumahnya. Karena sempat ada kejadian yang tidak mengenakan mengenai kepercayaan yang dia anut, Dian lebih memilh tidak aktif di organisasi sekitar rumah.

Rasa takut memberi tahu teman di kampus maupun rumah tidak terlepas dari pengalaman kedua orangtuanya yang juga sempat dijauhi dan menjadi bahan omongan orang. Sang ayah pernah punya tetangga yang sangat dekat, lalu kemudian menjauh ketika tahu bahwa keluarga ini merupakan muslim Syiah.

Pun dengan sang ibu yang merupakan pegawai negeri sipil (PNS), kerap menjadi bahan perbincangan rekan sekantor karena memiliki kepercayaan berbeda dari yang lain.

"Jadi gak tahu harus gimana, karena kami diam saja pasti diomongin, apalagi kalau melakukan sesuatu bisa jadi diapa-apain," katanya.

2. Intoleransi pada muslim Syiah kerap terjadi

Editorial Team

Tonton lebih seru di