Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Saah satu pengrajin boneka Circa, Wati (kiri) dan pemilik toko Boneka Circa, Itta (kanan) memperlihatkan hasil kerajiannya. Debbie Sutrisno/IDN Times

Bandung, IDN Times - Puluhan boneka tertata rapi di sebuah rak berwarna putih. Boneka-boneka ini duduk berpasangan, menggunakan pakaian adat dari sejumlah daerah. Ada pakaian adat Sunda, Jawa, hingga Madura. Di rak lainnya, terdapat bonek kecil yang bisa digunakan sebagai gantungan kunci. Ada juga boneka hewan yang ditata di bagian paling atas rak.

Sore itu, Jumat (19/5/2023), toko Circa Handmade sudah tidak begitu ramai. Sang pemilik, Itta Djoanita dan asistennya, Wati Astuti, tengah berbincang sambil membereskan boneka yang ada di toko. Sesekali mereka berbincang dengan pengunjung yang sedang melihat-lihat boneka.

"Tempat ini dulu saya dan adik menjadi inisiatornya. Awalnya kami tidak fokus pada produk yang dibuat, tapi lebih ke bagaimana memberdayakan perempuan sekitar," kata Itta ketika berbincang dengan IDN Times, usai membereskan boneka hendak menutup tokonya.

Itta menyempatkan diri bercerita mengenai motivasi dia membangun usaha hingga mampu mempekerjakan puluhan perempuan yang ada di sekitar rumahnya. Di awal 2006, Itta melihat banyak perempuan muda yang ada di Kampung Cisasawi, Desa Cihanjuang, Kota Cimahi, putus sekolah. Mereka lantas tidak bekerja dan dinikahkan di umur yang terbilang muda oleh orangtuanya.

Dari kondisi itu, Itta dan adiknya kemudian berpikir untuk membuka usaha agar para perempuan muda ini bisa mandiri meski sudah tidak bersekolah. Musababnya, untuk menjadi petani dan menggarap lahan pertanian yang ada di sekitar desa, mereka tidak punya ilmunya.

Munculah ide membuat boneka kecil. Sedikit ilmu yang dimiliki Itta dan adiknya dalam membuat prakarya seperti boneka lantas dituangkan pada usahanya tersebut. Itta kemudian mengajak Wati yang tidak lain adalah tetangganya sendiri. Wati pun salah satu perempuan di Desa Cihanjuang yang putus sekolah dan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan dapur.

Boneka pertama yang dibuat seperti jenis Megumi khas dari Jepang. Pemilihan ini tak lain karena Itta dan adiknya lebih suka pada boneka model Asia ketimbang jenis boneka dari Amerika. Membuat lima boneka dan dibawa ke kantor sang adik, boneka-boneka tersebut ludes terjual. Padahal saat itu bentuknya belum proposional dibandingkan sekarang.

"Dari situ kita jadi ada semangat untuk buat lebih banyak lagi," kata Itta.

Perlahan tapi pasti jumlah pekerja pun terus ditambah dengan mencari anak perempuan yang putus sekolah dan tidak bekerja. Mereka yang datang ke toko kemudian diajarkan membuat boneka. Sayangnya tidak semua perempuan tersebut ulet dalam membuat boneka yang memang dikerjakan pakai tangan, tidak memakai banyak mesin. Silih berganti orang, dari hanya empat pekerja yang membuat boneka, saat ini total pengrajin sudah mencapai 28 orang.

1. Berikan berbagai pelatihan kepribadian

Debbie Sutrisno/IDN Times

Tak hanya membantu para perempuan keluar dari tepi jurang pernikahan dini, Itta melalui Circa Handmade pun memberikan berbagai pelatihan kepada para pekerjanya. Mulai dari belajar berbicara di depan umum (public speaking), bersekolah kembali, hingga mendapat bantuan konseling dari psikolog anak. Hal ini dilakukan agar para pekerjanya tidak hanya handal dalam membuat boneka, tapi ada ilmu lain yang ke depannya bisa digunakan untuk kemandirian mereka.

Berbagai pelatihan ini didapat Circa dari sejumlah perusahaan yang ingin bekerjasama. Artinya, dalam setiap bantuan dari perusahaan, Itta tidak selalu meminta uang atau barang. Ada diskusi lebih dulu mencari program apa yang cocok diberikan kepada para pekerja. Sejumlah pelatihan kemudian bisa berdampak baik untuk semua pihak, baik produksi boneka, maupun kepribadian para pekerja.

"Sesuai dengan nama Circa yang artinya kurun waktu, kita ingin setiap tahun ini ada yang lebih baik dari tujuan hidup kita. Jadi ada kemajuan sehingga setiap orang di sini nantinya mau untuk tampil, tanpa meremehkan latar belakangnya," papar Itta.

Kebermanfaatan Circa Handmade pun dirasakan Wati yang menjadi pekerja di toko ini sejak awal berdiri. Dia bergabung dengan Itta dan adiknya saat umurnya masih 18 tahun. Asam garam perjalanan Circa Handmade pun dirasakan Wati.

Sebelum bergabung di Circa, Wati merupakan perempuan yang hanya lulus sekolah dasar. Sempat menimba ilmu di sekolah menengah pertama (SMP), sayang pendidikannya tidak selesai. Wati pun lantas bekerja di sebuah yayasan yang juga membuat boneka saat berusia 16 tahun.

Sambil bekerja di Circa, Wati kemudian menamatkan sekolahnya di SMP Terbuka. Di sana dia melihat banyak adik kelas yang nasibnya hampir mirip. Selesai sekolah tak jelas mau apa dan hanya menunggu untuk dinikahkan.

Beberapa temannya lalu mencoba bekerja di Circa membantu membuat boneka. Meski ada juga yang kemudian memilih bekerja di pabrik setelah ikut pelatihan di sini.

"Memang saat itu di sini (Cihanjuang) cukup tinggi pernikahan dini. Karena perempuan mungkin dulu engga punya banyak cita-cita karena ga dikasih banyak pilihan juga. Jadi coba kita buat pilihan buat mereka untuk berkegiatan, dan akhirnya ada yang coba juga," kata Wati.

Dengan bergabung bersama Circa Handmade, Wati mendapat banyak ilmu. Khususnya bagaimana seharusnya seorang perempuan wajib sekolah untuk mendapat pelajaran dan ilmu untuk kehidupan setelah menikah nantinya.

Selain dia, lanjut Wati, ada juga seorang pekerja yang dulu sangat ditentang oleh keluarganya untuk bekerja di Circa. Pekerja tersebut jadi dikucilkan keluarga karena dianggap membangkang keinginan orangtua. Namun, setelah berada di sini dan mendapat berbagai pelatihan, pekerja itu justru menjadi orang yang dipercaya diri dan handal dalam mengajar berbagai hal khususnya pembuatan boneka.

"Itulah yang harus diberikan pada perempuan. Mereka harus dikasih pilihan juga kala mau hidup karena kita semua ini sebenarnya sama (antara lelaki dan perempuan)," ujarnya.

2. Jatuh bangun kala pandemik COVID-19

Debbie Sutrisno/IDN Times

Di tengah tekad memberikan peluang usaha untuk perempuan muda agar tidak tergiur pernikahan dini, Circa Handmade bukan tanpa kendala dari segi bisnis. Itta mengatakan, pada awal usahanya berdiri dia memang mendapat banyak pemasukan meski barang yang dijualnya tidak banyak.

Guna meningkatkan produktivitas, Itta kemudian meminjam uang sebesar Rp50 juta ke Bank BRI sekitar tahun 2010 dengan mengagunkan sertifikat rumah keluarga besarnya. Dia berusaha meyakinkan keluarga bahwa usahanya akan tetap tumbuh sehingga sertifikat rumah tidak bakal hilang ditelan perbankan.

Setelah berhasil membayar utang di cicilan pertama, Itta kemudian mengajukan kembali pendanaan dan mendapat kucuran Rp250 juta. Dengan sistem yang sudah dibangun, penjualan boneka berjalan lancar. Utang yang dipinjam pun lunas.

"Yang paling terasa itu pas pandemik COVID-19. Pas barang sudah siap dikirim ke Australia pada Januari 2020, ternyata mereka menutup pasar karena banyak kegiatan juga tidak bisa berjalan di sana. Dikira wabah ini akan hilang dalam hitungan bulan, nyatanya baru selesai tiga tahun," ungkap Itta.

Di tengah kondisi ini, Itta pun harus melepas sejumlah pekerja yang selama ini membantunya. Mereka kemudian membuka usaha masing-masing untuk bertahan hidup. Sementara di Circa, Itta dan Wati berpikir keras mencari jalan agar usahanya tidak tutup total.

Mereka kemudian membuat kreasi boneka yang menggunakan alat pelindung diri (APD). Boneka itu cukup banyak diminta rumah sakit. Yang paling banyak, Circa Handmade akhirnya memproduksi masker karena barang itu paling banyak dicari masyarakat.

"Saat pandemik siapa coba ingat ganti baju boneka atau membeli boneka. Masyarakat ya fokus pada kesehatan, makanan, dan pendidikan. Cuman ya, kita coba bertahan saja lah," ujarnya.

Pascapandemik, penjualan Circa pun perlahan membaik. Permintaan dari dalam dan luar negeri mulai berdatangan kembali termasuk dari Australia. Selama pandemik pula, Circa menggali ide untuk membuat boneka dengan pakaian adat terbaru. Saat ini sudah ada 18 boneka sesuai adat provinsi yang bisa dipesan pembeli. Ke depan Circa ingin membuat boneka baru sehingga seluruh pakai adat di provinsi Indonesia dimiliki.

"Sekarang kita sudah bisa memproduksi 250 buah boneka per bulan. Banyaknya pesan dulu baru kita buatkan," kata Itta.

Saat ini Cicra menjual boneka dengan kisaran harga Rp165 ribu hingga Rp395 ribu per buah. Harga tersebut berbeda-beda tergantung dari desai boneka dan ukurannya. Karena ada ukuran boneka dari 21, 27, 30, 40, hingga 50 sentimeter (cm).

3. Membangun koperasi untuk menampung berbagai kerajian masyarakat

Debbie Sutrisno/IDN Times

Selain mengembangkan Circa Handmande, Itta pun sekarang sudah mendirikan Koperasi Bumi Sadaya Cihanjuang. Koperasi ini didirikan sejak beberapa tahun lalu untuk menampung produk dari para pengrajin yang ada di sekitar Circa, termasuk pada pengrajin yang selama ini membantu membuat boneka. Sejauh ini sudah ada beberapa produk yang dikurasi seperti boneka, pakaian, hingga kraft lainnya.

Produk-produk tersebut nantinya akan dikurasi terlebih dulu sebelum dijual ke para pembeli. Para pengrajin ini memilih menitipkan barangnya ke Circa dan Koperasi  Bumi Sadaya Cihanjuang karena merasa tempat ini sudah menjadi rumah mereka. Sehingga ketika barangnya terjual, Circa juga yang bakal mengalami peningkatan.

"Mereka pikir ini sudah toko sendiri juga. Dan kalau di Circa kan pasarnya sudah jelas. Kita juga standar kualitasnya dijaga jadi mereka tahu harus buat produk seperti apa agar bisa terjual," papar Itta.

Dengan membuat produk kerajinan sendiri, Itta berharap semakin banyak barang yang dibuat mandiri oleh masyarakat khususnya perempuan yang ada di Cihanjuang. Harapannya para perempuan ini lebih mandiri dalam mencari penghasilan.

Sementara itu, Regional Head Small Medium Enterprise (SME) BRI Regional Bandung, Nurrohmi Handayani menuturkan, keberadaan UMKM atau koperasi ini bisa berkembang lewat bantuan keuangan dari perbankan. Menurutnya, selama ini BRI tidak menutup bagi pelaku usaha manapun dalam mengembangkan bisnisnya. Bantuan modal bisa diberikan mulai dari jumlah Rp5 juta, hingga miliaran rupiah.

Kemudian ini ditunjang melalui kerja sama BRI dengan Permodalan Nasional Madani (PNM) dan Pegadaian. Sehingga bantuan ultra mikro pada UMKM pun bisa berjalan lebih masif. "Kita lakukan pemberian modal secara berjenjang kepada mereka. Penyertaan modal tidak akan sulit," ujarnya.

Regional Risk Manager (RRM) BRI Regional Bandung, Edia Hendiman menuturkan dalam penyertaan modal pada 2023 pihaknya lebih fokus pada pemulihan pascapandemik COVID-19. Karena banya mereka yang menjadi peminjam KUR anjlok selama pandemik, maka BRI coba membantu agar usahanya bisa bangkit kembali.

"Mulai dari kelompok pekerja di rumah tangga hingga pelaku UMKM bakal dibantu secara maksimal," kata dia. Melalui berbagai kemudahan ini, BRI berharap para UMKM bisa segera bangkit setelah sebelumnya tertampar dengan adanya wabah COVID-19.

Editorial Team