Bandung, IDN Times – Rafani Akhyar segera membongkar buku-buku yang berjejer rapi di lemarinya, sesaat setelah IDN Times menyambangi Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat, Jalan Riau, Kota Bandung, Kamis (16/5). Sekretaris Umum MUI Jabar itu harus merujuk buku, karena tak mau gegabah tentang fatwa pengharaman bagi masyarakat yang akan bergabung dengan aksi 22 Mei 2019.
Sehari sebelumnya, Rabu (15/5), secara mengejutkan Ketua MUI Jabar, Rahmat Syafei, membuat pernyataan bahwa aksi pada 22 Mei 2019 yang santer disebut people power adalah haram karena mengandung nilai bughat, yang berarti pemberontakan. Pernyataan itu ia sampaikan setelah mengumpulkan ulama, habib, pimpinan pondok pesantren, dan cendikiawan muslim se-Provinsi Jawa Barat di Hotel Grand Pasundan, Kota Bandung.
Rafani akhirnya menemukan buku yang dicari. Ia kemudian membuka lembar demi lembar buku tebal berjudul “Himpunan Fatwa MUI” itu, dan berhenti di halaman 833.
Di halaman tersebut tercatat sebuah fatwa MUI tentang Masasil Asasiyah Wathanah (Masalah Prinsip Kebangsaan), yang mana menjadi landasan MUI Jabar dalam mengharamkan aksi massa pada 22 Mei 2019. Namun, rentetan penetapan MUI dalam fatwa yang dirujuk itu hanya menjelaskan tentang separatisme alias gerakan memisahkan diri dari Indonesia, bukan khusus mengenai aksi massa menggugat hasil Pemilihan Umum.
Sejauh ini, di tingkat provinsi, hanya MUI Jawa Barat yang tegas mengatakan aksi 22 Mei 2019 haram karena mengandung nilai bughat.
Lalu, mengapa MUI memakai fatwa gerakan separatis dalam pengharaman aksi massa 22 Mei 2019?