Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Pasangan Imron Rosyadi dan Agus Kurniawan Budiman, resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (27/8/2024) (IDN Times/Hakim Baihaqi)
Pasangan Imron Rosyadi dan Agus Kurniawan Budiman, resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (27/8/2024) (IDN Times/Hakim Baihaqi)

Intinya sih...

  • Pintu-pintu rawan: Dari proyek hingga perjalanan dinas

  • Jebakan korupsi tumbuh dalam ruang administrasi, pertemuan informal, dan percakapan ringan.

  • Pengadaan barang dan jasa menjadi arena permainan yang subur di banyak pemerintah daerah.

  • Sektor perizinan sering berubah menjadi arena tawar-menawar dan suap.

  • Uang jabatan, uang Politik, dan jaringan korupsi yang tak putus

  • Ruang mutasi jabatan di pemerintah daerah menjadi pasar gelap tersendiri.

  • Dana desa sering mendapat intervensi dari tingkat kecamatan atau dinas

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Cirebon, IDN Times - Pagi itu, udara di kompleks perkantoran Sumber, Kabupaten Cirebon, masih menyisakan embun tipis yang menempel di dedaunan di halaman kantor bupati. Pegawai berseragam coklat tergesa masuk, sebagian membawa map tebal, sebagian lain sibuk membuka gawai memuat pesan-pesan birokratik yang menanti untuk dibalas.

Ruang lobi Kantor Bupati Cirebon tampak seperti ruang tunggu yang menyimpan cerita panjang: suara sepatu memantul di lantai granit, aroma kopi sachet dari meja staf, hingga desis mesin pendingin tak pernah dimatikan.

Di lantai dua, seorang ajudan melewati lorong dengan cepat membawa setumpuk berkas untuk rapat siang. Semua tampak seperti rutinitas biasa—kecuali bagi mereka yang memahami kalau di balik wajah tenang administrasi daerah, tersimpan serangkaian titik rawan yang telah lama menjadi sumber masalah di banyak pemerintah daerah di Indonesia.

Menjelang satu tahun kepemimpinan Bupati Imron Rosyadi dan Wakil Bupati Agus Kurniawan Budiman, kesadaran akan jebakan korupsi menjadi semakin relevan. Kabupaten Cirebon memiliki jejak sejarah politik yang tidak selalu mulus.

Di masa lalu, salah satu bupatinya pernah terjerat kasus korupsi, meninggalkan noda yang masih sulit dihapus dari memori publik. Kini, ketika pemerintahan baru mencoba membangun ulang kepercayaan, daftar panjang jebakan korupsi itu kembali menghantui seperti bayang-bayang yang menempel di setiap kebijakan.

Dalam sebuah wawancara dengan pengamat hukum dari Universitas Bunga Bangsa Cirebon (BBC), Moch Fahmi Firmansyah, ia mengibaratkan pemerintahan daerah di Indonesia sebagai rumah besar dengan banyak pintu yang terbuka.

“Setiap pintu menawarkan peluang untuk pelayanan publik, tapi juga peluang untuk penyimpangan,” ujarnya kepada IDN Times, Kamis (27/11/2025).

1. Pintu-pintu rawan: Dari proyek hingga perjalanan dinas

kabupaten cirebon (dok.geodashboard.cirebonkab.go.id)

Ia menambahkan, jebakan korupsi tidak pernah berdiri sendiri. Ia tumbuh dalam ruang-ruang administrasi, pertemuan informal di ruang kerja, hingga dalam percakapan yang terdengar ringan saat makan siang pegawai. Korupsi bekerja diam-diam, dan seringkali, sudah lengkap sebelum ada yang menyadarinya.

Salah satu pintu terbesar menuju penyimpangan itu terletak pada pengadaan barang dan jasa. Di banyak pemerintah daerah, termasuk Kabupaten Cirebon, sektor ini menjadi arena permainan yang paling subur. Di meja-meja birokrasi, angka dapat berubah skala hanya dengan munculnya satu paraf.

Harga barang melonjak, spesifikasi menurun, atau bahkan proyek fiktif disusun rapi seolah telah selesai dikerjakan. Para kontraktor lokal yang telah lama menjadi langganan sering membawa proposal proyek seolah membawa undangan resmi, sementara pemenang tender kerap ditentukan jauh sebelum dokumen lelang diumumkan.

Menurut Fahmi, mekanisme fee proyek yang berkisar 10 hingga 20 persen untuk pejabat tertentu adalah pola lama yang terus bertahan. Ia menyebutnya sebagai “tradisi buruk yang diwariskan turun-temurun," tuturnya.

Desas-desus mengenai pengaturan proyek di sektor infrastruktur jalan, alat kesehatan, pengadaan IT, hingga dunia pendidikan bukan hal baru bagi para aktivis pemantau kebijakan publik di Cirebon.

Fahmi menggambarkan pengadaan barang dan jasa sebagai “pasar gelap dalam ruang terang.” Semua tampak resmi, semua ada dokumennya, semua berjalan sesuai prosedur. Namun, di belakang meja, ada percakapan-percakapan yang menentukan siapa mendapat apa. “Saya sering bilang, jika ada proyek jalan rusak dikerjakan setengah hati, mungkin anggarannya sudah dikeruk setengah pula,” katanya.

Selain pengadaan, sektor perizinan memiliki cerita gelapnya sendiri. Di Kabupaten Cirebon, daerah pesisir dan wilayah-wilayah yang mengembangkan industri baru membutuhkan banyak izin usaha—mulai dari perizinan bangunan, hotel, industri, tambak, hingga izin air tanah.

Di balik meja dinas teknis, alur perizinan seharusnya bersifat administratif. Namun, sering kali jalur-jalur itu berubah menjadi arena tawar-menawar. Seorang mantan pejabat yang enggan disebutkan namanya menyebutkan ada “perantara” yang kerap muncul mendahului berkas permohonan. Para perantara ini tahu siapa yang harus ditemui, berapa angka yang harus disiapkan, dan berapa lama izin akan keluar.

“Kita ini negara prosedural, tapi realitasnya negara personal,” ujar Fahmi.

Baginya, perizinan adalah ruang paling ideal untuk suap karena masyarakat membutuhkan pelayanan cepat, sementara birokrasi lambat. Maka, muncul skema informal: siapa yang ingin cepat, harus siap membayar. Dalam banyak kasus, kepala daerah, dinas teknis, hingga oknum luar kantor sama-sama menikmati buatannya.

Sementara itu, rekayasa anggaran daerah menjadi lingkaran lain yang tak kalah berbahaya. Dalam proses penyusunan APBD, permainan anggaran terjadi bukan hanya di tingkat SKPD, tapi juga di meja pembahasan DPRD.

Program fiktif disusun rapi, laporan manipulatif dibuat seolah kegiatan telah selesai. Perjalanan dinas yang tidak pernah dilakukan tetap dilaporkan dengan rincian lengkap: hotel, konsumsi, transportasi. “Ada pola yang tidak pernah terjadi justru yang paling lengkap laporannya,” ungkap Fahmi.

2. Uang jabatan, uang Politik, dan jaringan korupsi yang tak putus

Pasangan Imron Rosyadi dan Agus Kurniawan Budiman, resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (27/8/2024). (IDN Times/Hakim Baihaqi)

Ruang mutasi jabatan di pemerintah daerah pun kerap menjadi pasar gelap tersendiri. Penempatan pejabat eselon tidak selalu didasarkan pada kompetensi. Ada daerah menjual jabatan kepala sekolah, kepala dinas, atau kepala bidang kepada mereka yang mampu menyetor.

Komitmen fee menjadi istilah yang sering terdengar. Dalam versi lunak, pejabat cukup memberikan “uang ucapan terima kasih” saat pelantikan. Dalam versi keras, mereka harus menyediakan setoran bulanan untuk mempertahankan jabatannya.

Fenomena ini, menurut Fahmi, bukan sekadar penyimpangan administratif, melainkan “penyakit yang menggerogoti etos ASN dari dalam.”

Korupsi di tingkat desa pun tidak luput dari sorotan. Dana desa, walaupun secara regulasi dikelola pemerintah desa, kerap mendapat intervensi dari tingkat kecamatan atau dinas terkait.

Kontraktor tertentu menjadi langganan proyek fisik, dan sebagian dana dipotong untuk kepentingan politik. “Pilwu dan pilkada sering jadi siklus yang membuat dana desa tak pernah utuh tiba di desa,” ujarnya.

Belanja hibah dan bantuan sosial juga tidak luput dari penyalahgunaan. Tahun politik menjadi momen ketika bansos dialokasikan dengan arah politik tertentu, sementara penerima fiktif ditambahkan untuk memuluskan agenda kelompok.

Nilai hibah kerap dipotong sebelum diterima oleh kelompok masyarakat. Dalam banyak laporan investigatif, jalur bansos selalu memiliki pola yang sama, cair cepat untuk kelompok yang dekat dengan kekuasaan, cair lambat atau tidak pernah cair bagi kelompok di luar lingkaran.

Di luar APBD, pengelolaan aset daerah menjadi salah satu titik paling sensitif dan sulit ditangani. Tanah milik pemerintah kerap berubah fungsi tanpa prosedur, bangunan dikontrakkan tanpa setoran resmi, dan aset strategis dijadikan milik pribadi melalui manipulasi dokumen.

Kemitraan usaha daerah sering dimonopoli oleh kelompok tertentu, dan harga sewa tidak pernah masuk ke kas daerah sepenuhnya. “Aset daerah itu ibarat gudang tua, semua orang bisa mengambil jika tidak dijaga,” ujarnya.

BUMD pun tidak luput dari praktik serupa. Di beberapa BPR milik daerah, kredit fiktif menjadi pola lama yang terus digunakan. Penyertaan modal bodong disusun dengan alasan ekspansi, padahal tidak pernah digunakan.

Proyek BUMD diberikan kepada rekanan pribadi, sementara laba perusahaan direkayasa untuk memberikan bonus fiktif. Pengawasan yang lemah membuat BUMD menjadi zona nyaman bagi penyimpangan. “BUMD itu seperti perusahaan keluarga, hanya saja yang dipakai adalah uang negara,” tutur Fahmi.

Semua praktik itu pada akhirnya bermuara pada konflik kepentingan kepala daerah. Ketika keluarga, kerabat, atau kroni ditempatkan di proyek strategis, ketika kontraktor tertentu menjadi langganan, atau ketika perusahaan dipaksa menjadi donatur kampanye, maka batas antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi menjadi kabur.

Berdasarkan seluruh gambaran di atas, pola korupsi pemerintah daerah sesungguhnya dapat dikelompokkan menjadi lima kategori besar: uang proyek, uang izin, uang jabatan, uang politik, serta pengelolaan aset dan BUMD.

Kelima kategori itu membentuk jaring raksasa yang saling terkait. Tidak ada kasus korupsi yang berdiri sendiri. Ketika seorang pejabat meminta fee proyek, bisa jadi ia sedang menutup biaya politik. Ketika seorang kepala daerah menguasai aset, mungkin itu bagian dari pembayaran utang dukungan. Korupsi di pemda selalu bergerak sebagai ekosistem, bukan insiden tunggal.

3. Peluang memutus tradisi buruk

Bupati Cirebon, Imron Rosyadi

Namun, di tengah gambaran gelap itu, ada ruang kecil untuk harapan. Setahun kepemimpinan Imron Rosyadi dan Agus Kurniawan Budiman menjadi momentum untuk memperkuat integritas birokrasi Kabupaten Cirebon. Mereka datang dengan janji untuk menata ulang pemerintahan dan memulihkan kepercayaan publik.

Langkah-langkah audit internal, evaluasi anggaran, serta peningkatan pengawasan berbasis digital mulai dilakukan. Meski begitu, tantangannya tidak ringan. Korupsi bukan hanya masalah individu, tetapi juga budaya dan ekosistem.

Pembersihan birokrasi membutuhkan lebih dari kemauan politik, ia membutuhkan keberanian untuk membongkar jaringan yang telah lama terbentuk.

Fahmi menutup percakapan dengan kalimat yang menggema panjang: “Di daerah seperti Kabupaten Cirebon, integritas bukan hanya soal menolak amplop. Ia adalah keberanian untuk tidak ikut dalam tradisi buruk yang diwariskan. Bupati dan wakil bupati harus menjadi contoh, tapi perubahan hanya akan nyata ketika sistem dibongkar. Jika tidak, sejarah akan berulang," harapnya.

Meski pernyataan komitmen itu berulang kali terdengar dari para pemimpin sebelumnya, Imron Rosyadi tetap menegaskannya sebagai janji politik sekaligus beban moral di tengah bayang-bayang sejarah kelam korupsi yang menjerat bupati terdahulu.

Ia menyebut upaya membangun pemerintahan yang bersih bukan hanya soal menolak suap, tetapi membongkar pola patronase yang telah lama mengakar dalam birokrasi—dari praktik percaloan proyek, jual beli jabatan, hingga pungutan liar yang seringkali disamarkan sebagai “tradisi”.

Dalam berbagai kesempatan, Imron menekankan reformasi tata kelola anggaran, transparansi pelayanan publik, serta penguatan inspektorat daerah menjadi fondasi untuk memutus mata rantai penyimpangan.

"Kami berkomitmen membongkar jaringan, menindak pejabat dekat, dan menahan tekanan politik yang selama ini menjadi lubang masuk praktik korupsi di Kabupaten Cirebon," kata Imron di Kantor Bupati Cirebon, Selasa (25/11/2025).

Di lorong-lorong kantor bupati yang masih dipenuhi lalu-lalang pegawai, perjuangan melawan korupsi mungkin tetap terasa sunyi. Ia tidak seperti pembangunan jalan atau gedung yang bisa dilihat mata. Ia tidak menghasilkan seremoni pemotongan pita.

Namun, jika berhasil, ia akan meninggalkan warisan paling penting bagi Cirebon: sebuah pemerintahan yang bekerja untuk masyarakat, bukan untuk diri sendiri.

Editorial Team