Cirebon, IDN Times - Pagi itu, udara di kompleks perkantoran Sumber, Kabupaten Cirebon, masih menyisakan embun tipis yang menempel di dedaunan di halaman kantor bupati. Pegawai berseragam coklat tergesa masuk, sebagian membawa map tebal, sebagian lain sibuk membuka gawai memuat pesan-pesan birokratik yang menanti untuk dibalas.
Ruang lobi Kantor Bupati Cirebon tampak seperti ruang tunggu yang menyimpan cerita panjang: suara sepatu memantul di lantai granit, aroma kopi sachet dari meja staf, hingga desis mesin pendingin tak pernah dimatikan.
Di lantai dua, seorang ajudan melewati lorong dengan cepat membawa setumpuk berkas untuk rapat siang. Semua tampak seperti rutinitas biasa—kecuali bagi mereka yang memahami kalau di balik wajah tenang administrasi daerah, tersimpan serangkaian titik rawan yang telah lama menjadi sumber masalah di banyak pemerintah daerah di Indonesia.
Menjelang satu tahun kepemimpinan Bupati Imron Rosyadi dan Wakil Bupati Agus Kurniawan Budiman, kesadaran akan jebakan korupsi menjadi semakin relevan. Kabupaten Cirebon memiliki jejak sejarah politik yang tidak selalu mulus.
Di masa lalu, salah satu bupatinya pernah terjerat kasus korupsi, meninggalkan noda yang masih sulit dihapus dari memori publik. Kini, ketika pemerintahan baru mencoba membangun ulang kepercayaan, daftar panjang jebakan korupsi itu kembali menghantui seperti bayang-bayang yang menempel di setiap kebijakan.
Dalam sebuah wawancara dengan pengamat hukum dari Universitas Bunga Bangsa Cirebon (BBC), Moch Fahmi Firmansyah, ia mengibaratkan pemerintahan daerah di Indonesia sebagai rumah besar dengan banyak pintu yang terbuka.
“Setiap pintu menawarkan peluang untuk pelayanan publik, tapi juga peluang untuk penyimpangan,” ujarnya kepada IDN Times, Kamis (27/11/2025).
