Pengakuan itu membuat situasi diskusi semakin ricuh. Adu mulut pun tak bisa dihindarkan. Salah satu mahasiswa bahkan memaksa untuk memeriksa galeri ponsel dari orang yang mengaku anggota polisi itu, untuk memastikan bahwa tak ada data diri mereka di sana.
“Sampai salah satu peserta diskusi meminta jaminan 'Pak, saya sebagai sipil jujur keberatan tindakan bapak khususnya memfoto. Saya juga tidak bisa menjamin kalau foto tersebut belum bapak kirim ke grup atau yang lainnya. Saya minta jaminan'. Peserta diskusi lain spontan menanggapi 'Ya pak, harus ada hitam di atas putih'. Forum serentak bilang 'Ya kita sepakat'," kata Bahrul.
"Jika dia benar memfoto dan untuk tujuan menggali informasi atau menjual informasi, artinya telah ada pelanggaran privasi dan informasi. Apalagi itu tanpa persetujuan orang orang yang mencantumkan nama dan kontaknya di lembar tersebut," ujarnya.
Tak lama kemudian, datanglah seseorang lainnya yang disebut berbadan tegak dan berambut cepak, dan menolak dua rekannya diintervensi mahasiswa. Maka, munculah sebuah opsi: surat perjanjian agar tidak ada ranah privasi yang diedarkan kepolisian.
Acara pun dilanjutkan. Ketiga orang yang telah mengaku sebagai anggota Polrestabes Bandung dibiarkan mengikuti acara diskusi. Namun, ketika acara memasuki sesi penampilan kesenian, mereka dengan sendirinya meninggalkan lokasi diskusi.
Namun, mahasiswa menduga ketiga orang itu tidak pergi begitu saja. Karena faktanya, anggota diskusi yang lain menyaksikan bahwa terdapat empat hingga tujuh orang yang diduga intel lain terus mengawasi jalannya diskusi hingga benar-benar rampung.