LPS: Ada 137 Bank Dicabut Izin Usahanya Sejak 2005

Bandung, IDN Times - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat sejak 2005 cukup banyak bank yang harus dicabut izin usahanya. Total ada 137 bank yang tidak bisa lagi beroperasi karena berbagai persoalan.
Direktur Group Riset LPS, Seto Wardono menuturkan, lembaga ini telah membayarkan total simpanan sebanyak Rp2,82 triliun dengan rincian simpanan di bank umum sebesar Rp202 miliar dan BPR/BPRS sebesar Rp2,62 triliun, dari total rekening sebanyak 413.397 rekening.
Tahun ini, LPS mencatat 15 bank di Indonesia tutup sepanjang 2024. Bank-bank tersebut merupakan Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) yang masih dalam proses likuidasi per kuartal III 2024. Dari seluruh bank tersebut, nominal simpanan layak bayarnya mencapai Rp725,98 miliar.
Berdasarkan Laporan Kelembagaan LPS Triwulan III 2024, adapun nominal simpanan nasabah bank yang mendapat penjaminan tersebut mengambil porsi 99,23 persen dari total simpanan pada 15 BPR/BPRS terkait.
"Dengan rincian, total simpanan yang telah dibayarkan oleh LPS sebanyak Rp735,26 miliar dari total rekening sebanyak 108.116 rekening," kata Seto dalam diskusi bersama media massa, Minggu (1/12/2024).
1. Ada 813 rekening tak layak bayar

Per kuartal III 2024, LPS mencatat jumlah rekening layak bayar pada 15 bank yang dilikuidasi itu sebanyak 107.467 rekening atau 80,13 persen dari total rekening. Sementara secara total terdapat 108.298 rekening, di mana jumlah yang tidak layak bayar mencapai 813 rekening.
Selain itu untuk proses dropping dana atau proses pencairan klaim layak bayar atas simpanan yang telah dilakukan 101.879 nasabah dari 15 bank yang izin usahanya dicabut itu, nilai yang sudah dibayarkan mencapai Rp663,31 miliar.
Kemudian sebesar Rp26,91 miliar merupakan pembayaran klaim penjaminan untuk 2 BPR yang izin usahanya dicabut pada tahun 2023, di mana proses pembayaran klaim dilakukan pada tahun 2024.
2. Siapkan anggaran untuk bangun sistem IT

Di sisi lain, LPS pun menyiapkan anggaran senilai Rp160 miliar untuk membangun sistem informasi teknologi (IT) Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) pada tahun depan.
“Kami ingin membangun sistem IT unutk BPR/BPRS. Tahun depan akan mulai kami terapkan dengan pilot project 100 BPR yang akan kami pilih,” kata Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Rabu.
Inisiatif itu, lanjut Purbaya, mengingat banyaknya BPR/BPRS yang memiliki sistem manajemen yang buruk. Sejak 2006, sekitar 7-8 BPR/BPRS per tahun yang jatuh dan diserahkan ke LPS untuk ditangani. Sementara LPS sebagai pengumpul iuran dari BPR belum memiliki mekanisme bantuan yang signifikan.
“Kalau di negara besar, seperti Jerman, bank-bank kecil yang menguasai perbankan, bukan bank komersial. Jadi, kami berpikir bagaimana cara membantu mereka,” tambahnya.
3. Gandeng Perbarindo untuk pengembangan ini

Dengan sistem IT yang dikembangkan nantinya, LPS berharap BPR/BPRS dapat mempunyai sistem manajemen yang memadai sehingga mereka bisa bersaing dengan bank komersial hingga fintech.
Terlebih, BPR/BPRS diyakini memiliki kedudukan yang lebih dekat dengan masyarakat, sehingga dampak ekonominya cukup signifikan. Maka, keselamatan BPR/BPRS patut diupayakan.
LPS rencananya bakal melibatkan Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam pengembangan sistem IT itu.
Dengan itu, diharapkan sistem manajemen IT untuk BPR/BPRS dapat terwujud dan bisa digunakan secara gratis oleh BPRS/BPRS yang menyetor iuran ke LPS.