Salah satu unit usaha KMP Desa Kekeri penjualan sembako. (IDN Times/Muhammad Nasir)
Anto selaku kepala bagian usaha KMP Nyengseret, Kota Bandung, mengatakan bahwa koperasinya sudah berjalan sejak Juli 2025. Sejauh ini anggota sudah mencapia 20 orang dan secara bertahap terus bertambah.
Untuk saat ini ruangan yang dipakai berada di area belakang Kelurahan Nyengseret berdampingan dengan bank sampah. Karena ruangannya tidak terlalu besar, maka sembako yang dijual disimpan di gudang Ketua KMP Nyengseret.
"Barangnya di rumah ketua, jadi kalau mau yang beli bisa ambil di sana atau dikirim dari sana. Ga jauh dari sini (kelurahan).
Untuk sementara operasional yang dilakukan KMP ini hanya melakukan jual beli sembako. Sedangkan untuk simpan pinjam belum bisa dilakukan karena anggota masih terbatas dan uang modal pun belum mencukupi.
ekonomi Universitas Pasundan (Unpas) Acuviarta Kartabi berpandangan, program ini terlalu ambisius dan potensi beberapa koperasi tidak maju atau gagal sangat besar.
Koperasi sebagai sebuah organisasi ekonomi memang bertujuan untuk bisa memperbaiki kualitas perekonomian maupun kesejahteraan masyarakat. Namun, faktanya ada koperasi yang maju dan lebih banyak koperasi yang sebaliknya.
"Ini kan masalahnya sekarang Koperasi Merah Putih ini seolah-olah bahwa ada target tertentu jumlah yang dituju bahwa setiap desa harus kemudian setiap kelurahan harus.Padahal kan kalau kita lihat kemampuan antar daerah, kemampuan antar desa, antar kelurahan itu kan berbeda-beda," kata Acu, Jumat (8/8/2025).
Acu membeberkan, secara gagasan program ini sudah bagus, namun dengan metode yang massal dan sporadis itu membuat kemudian adanya potensi koperasi ini tidak semuanya berjalan dengan maju.
"Apalagi lebih dari 80 persen itu adalah koperasi baru ya kan sekarang ini koperasi yang ada aja banyak kemudian gulung tikar. Sementara ini koperasi yang baru. Terlepas ada pendanaan, kemudian ada dukungan kebijakan dan sebagainya," tuturnya.
Pemerintah seharusnya belajar dari Koperasi Unit Desa (KUD) yang faktanya tidak terlalu bagus dan dampak kesejahteraan terhadap masyarakat masih minim.
"Saya sih melihat tantangan terbesar koperasi ini harus sukses ya akselerasi terkait dengan model bisnisnya. Kemudian juga sumber daya manusia dan tata kelola itu yang paling penting," ucapnya.
Jika dibandingkan dengan beberapa koperasi di negara lain, Acu menjelaskan, mereka besar tidak harus dihadirkan di setiap desa dan kelurahan, melainkan gagasan dan konsep misi yang besar dapat membawa kesejahteraan anggotanya. Seperti Danone.
"Koperasi itu yang saya tahu di berbagai ada. Bahkan ada koperasi yang tumbuh besar gitu ya seperti Danone. Itu kan koperasi yang tumbuh besar awalnya koperasi di Eropa kan gitu ya gitu. Nah, banyak koperasi di kita juga ada kok. Koperasi yang besar, koperasi susu, koperasi batik," katanya.
Oleh karena itu, menurut Acu, bukan dirinya menampikkan ada potensi daripada keberhasilan program ini, namun ia melihat ketika sesuatu itu targetnya hanya kuantitas bukan kualitas potensi beberapa koperasi yang gagal sangat besar.
"Apalagi model bisnis ini baru dicoba ya, terlalu besar resikonya dengan pembiayaan sampai ratusan triliun," jelasnya.
Belum lagi soal pengawasan di lapangan, Acu menganggap, program ini belum memiliki model pengawasan yang jelas. Meski sudah adanya payung hukum, kemudian legalitas dari koperasi itu sendiri dan juga peran perangkat, desa, pemerintah kabupaten kota hingga provinsi.