Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi cacing gelang (commons.wikimedia.org/SuSanA Secretariat)
ilustrasi cacing gelang (commons.wikimedia.org/SuSanA Secretariat)

Intinya sih...

  • Birokrasi kesehatan mengorbankan nyawa Raya, yang meninggal karena persoalan administrasi dan biaya perawatan mandiri.

  • Penjelasan Kades Cianaga tentang kondisi keluarga Raya, yang sulit diatur dan kurang terkontrol akibat keterbatasan mental orangtua.

  • Duka dan catatan untuk pemerintah atas lemahnya sistem perlindungan sosial dan kepedulian negara terhadap warganya yang paling rentan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kabupaten Sukabumi, IDN Times - Kabar duka dari Sukabumi mengguncang publik setelah video kondisi seorang balita bernama Raya beredar luas di media sosial. Bocah berusia tiga tahun itu meninggal dunia dengan tubuh dipenuhi cacing gelang.

Rekaman CT scan yang diunggah akun lembaga sosial Rumah Teduh memperlihatkan bagaimana parasit menyerang organ dalam tubuhnya hingga membuatnya lemah tak berdaya.

Kisah pilu Raya bukan sekadar perkara medis, melainkan gambaran betapa rapuhnya sistem perlindungan anak dan jaring pengaman sosial di negeri ini. Lahir dari orangtua dengan keterbatasan mental, Raya tumbuh tanpa pengasuhan yang layak.

Ia sering bermain di kolong rumah panggung yang kotor dan penuh kotoran ayam. Dari sanalah, penyakit perlahan masuk ke tubuh mungilnya.

1. Birokrasi kesehatan yang mengorbankan nyawa

ilustrasi cacing gelang (unsplash.com/Ivan Ivanovic)

Pada 13 Juli 2025, Raya dievakuasi Rumah Teduh ke rumah sakit. Namun harapan untuk sembuh terhambat karena persoalan administrasi. Identitas tak jelas, BPJS yang tidak dimiliki, hingga keputusan rumah sakit yang memberi tenggat tiga kali 24 jam untuk pengurusan dokumen. Sayangnya, hingga batas waktu berakhir, dokumen tak kunjung selesai.

Alhasil, perawatan berubah menjadi beban biaya mandiri. Dalam sembilan hari, tagihan rumah sakit membengkak hingga puluhan juta Rupiah. Bagi keluarga miskin tanpa pegangan, angka itu mustahil ditanggung. Nyawa seorang anak pun seakan ditimbang dengan lembaran administrasi. Hingga akhirnya pada 22 Juli 2025, Raya menyerah dalam kondisi ringkih.

2. Penjelasan Kades Cianaga

ilustrasi cacing tanah (pixabay.com/Eukalyptus)

Identitas Raya baru terungkap setelah kematiannya. Ia merupakan anak kedua dari pasangan Rizaludin alias Udin (32 tahun) dan Endah (38), warga Kampung Padangenyang, Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi.

Kepala Desa Cianaga, Wardi Sutandi, membenarkan bahwa orangtua Raya mengalami gangguan mental sehingga pola asuh terhadap anak-anak mereka kurang terkontrol.

"Awalnya Raya itu sering main di kolong rumah karena rumah panggung. Dari kecil juga terlambat berjalan. Pernah dibawa ke klinik, ternyata ada penyakit paru. Tapi karena tak punya data kependudukan, sulit diurus BPJS," kata Wardi, Selasa (19/8/2025).

Ia menambahkan, kantor desa sebenarnya sudah berupaya membantu keluarga ini, termasuk melalui program gizi tambahan (PMT) dan renovasi rumah. Namun keterbatasan orangtua membuat pemantauan kesehatan Raya tidak berkelanjutan.

"Kami sudah memaksimalkan bantuan pangan sampai perbaikan rumah, tapi memang keluarga ini sulit diatur. Pernah saat program vaksinasi COVID-19, mereka sampai kabur ke hutan selama tiga bulan," ungkapnya.

3. Duka dan catatan untuk pemerintah

ilustrasi cacing gelang (commons.wikimedia.org/SuSanA Secretariat)

Wardi mengakui bahwa keluarga Raya masuk kategori tidak mampu. Bahkan rumah mereka sempat hancur sebelum akhirnya diperbaiki dengan bantuan desa dan warga sekitar. Namun keterbatasan mental kedua orangtua membuat kondisi Raya semakin sulit dipantau.

"Almarhumah ini anak kedua, baru berusia tiga tahun. Kakaknya sebentar lagi masuk sekolah dasar. Yang lebih saya khawatir, bahkan saat penguburan pun ayahnya sempat kabur karena takut banyak orang," tuturnya.

Tragedi Raya meninggalkan pesan pahit, sebab di tengah birokrasi kesehatan yang berbelit, nyawa anak dari keluarga miskin bisa begitu mudah tergadai. Bukan hanya persoalan medis, tetapi juga cermin lemahnya sistem perlindungan sosial dan kepedulian negara terhadap warganya yang paling rentan.

Editorial Team