Nama Arfi selalu dikaitkan dengan Ridwan Kamil, kenapa?
Sambil tetap bisnis kan ini senang kumpul dan berorganisasi, waktu itu tahun 2010 ada pemilihan ketua ikatan alumni SMA 3 Bandung. Nah ketua yang lama sudah senior dan kita merasa harus ada darah muda. Akhirnya saya dan teman-teman mendatangi Kang Ridwan Kamil karena beliau 6 tahun di atas saya, angkatan 90, saya ajak dia untuk menjadi ketua ikatan ketua alumni SMA 3. Cuman dia kan nyebut nggak bisa kampanye karena sibuk, ya sudah kita yang kampanyekan.
Nah dari situlah pertama kali saya jadi ketua tim kampanye Ridwan Kamil di alumni SMA 3 nah saat dia jadi ketua saya di amanahi oleh jadi Sekjen diikat tersebut jadi waktu itu beliau aksi generasi 80-an wakil ketuanya dari 70-an bendahara dari 60-an dan saya angkatan 90-an jadi Sekjen, jadi lintas generasi.
Sampai akhirnya 2013 Kang Emil undang saya ke rumah botol. Dia cerita kirain mau ngobrolin tentang SMA 3 karena keterikatan di situ ternyata dia meminta untuk jadi tim kampanye wali kota. Saya bilang baguslah kalau dia mau maju karena tahu tata kota, cuman saya diminta untuk jadi tim suksesnya, saya bilang kan enggak bisa urusan politik, tapi dia masih minta pasti bisa karena dulu juga mengkampanyekan ketika untuk ikatan alumni SMA 3.
Singkat cerita, pas 2012 dulu skemanya independen tapi setelahnya tetap dimasukkan ke jalur politik maju bersama Mang Oded, dan saya jadi ketua bidang kampanye di pemenangan akhirnya setelah terpilih masuk ke tim penasihat wali kota, dulu tim kebijakan publik Kota Bandung.
Dari situlah saya pertama kali kerja sama dengan pemerintah secara langsung. Kalau sebagai kelompok masyarakat minta duit ke pemerintah mah kan tinggal pakai proposal, tapi ini harus bekerja bersama memang adaptasinya lumayan menantang karena kita-kita yang non pemerintah masuk ke pemerintahan yang banyak regulasinya itu membuat stres. Kita datang dengan ide banyak main ini pengen ini itu, tapi terhalang birokrasi barulah saya pahami bahwa birokrasi itu memang harus sesuai dengan regulasi, sesuai aturan, karena kan yang dikelola itu uang rakyat, uang negara. Jadi ada proses pembelajaran di tahun-tahun pertama itu, sampai akhirnya lima tahun jadi tim kebijakan publik Kota Bandung.
Kemudian ketika Kang Emil maju jadi di Pilgub saya jadi wakil ketua tim pemenangan pada 2018. Lalu kemudian setelah terpilih ada tahap kita bikin tim sinkronisasi dan saya jadi ketua harian di sana, tim transisi lah. Setelah dilantik kita membuat tim akselerasi pembangunan (TAP) supaya bisa lebih cepat men-deliver hasil ke masyarakat. Saya jadi ketua harian di situ jadi dari akhir 2018 sampai 2020. Pas awal 2021 ada pergantian ketua di TAP jadi saya kemudian lebih banyak di Jakarta untuk kegiatan-kegiatan komunikasi politik di nasional jadi bersama Kang Emil tetap.
Kok bisa ikut Emil masuk Golkar?
Kan sebetulnya kenapa masuk ke pemerintahan karena saya merasa bahagia kalau kita bisa bermanfaat buat orang lain. Ternyata memang kebahagiaan itu sudah ada ajarannya bahwa manusia itu yang paling bagus adalah yang bisa memberikan manfaat untuk orang lain dan saya belajar di organisasi, menjadi seorang ketua itu kalau ada keputusan dampaknya pasti luas.
Masuk di pemerintahan juga begitu, pemerintahan ini kan mempengaruhi keseharian hidup kita dan elemennya di situ bukan eksekutif tapi ada juga legislatif dan ada juga yudikatifnya. Kalau di pemerintahan ada eksekutif legislatifnya ini kan saling menguatkan satu sama lain menyeimbangkan juga dua-duanya ternyata punya lembaga atau organisasi yang menjadi tempat melahirkan kader-kader terbaik namanya partai politik (parpol).
Kan orang-orang terbaik sekarang ini didiknya lewat partai, dan menurut saya masuk parpol ini sesuatu yang tidak bisa dihindarkan kalau kita mau masuk di ranah pemerintahan supaya nilai manfaatnya maksimal karena masuk di legislatif atau eksekutif agak susah kalau tidak masuk lewat partai politik. Tinggal pilih mau partai politik yang mana.
Kalau di Golkar ini kan partai besar bahkan dengan segala dinamika naik turunnya kalau karena tetap bisa jadi nomor 2 sekarang di nasional. Walaupun saya ingat dulu sekitar tahun 98 atau 99 Ada pendemo yang ingin membubarkan Golkar tapi ternyata Golkar sekarang malah masuk Golkar.
Ada pengaruhnya juga (Ridwan Kamil) karena di dalam Partai Golkar ini kan banyak kelompok-kelompok juga. Jadi buat saya itu simbiosis mutualisme karena Ridwan Kamil sendiri masuk ke Golkar akan menjadi sosok yang terasing tidak ada kelompok. Kalau kami masuk Golkar tanpa Ridwan Kamil juga sebetulnya kami juga harus berinduk ke siapa. Jadi ini simbiosis mutualisme, dia butuh kelompok yang jadi pendukungnya, tim juga butuh induk yang bisa dijadikan patron, makanya kenapa ada tim-tim banyak yang masuk ke Golkar.