Jembatan Gantung Pramuka di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah (IDN Times/Hakim Baihaqi)
Kini, jembatan ini tak hanya berfungsi sebagai penghubung fisik, tetapi juga simbol solidaritas. Ribuan orang menyeberang setiap hari, membawa serta cerita tentang bagaimana masyarakat bisa mandiri dan saling peduli, tanpa menunggu program formal pemerintah.
“Warga dari dua desa ini beda provinsi, tapi rasa kekeluargaannya kuat. Kami semua jaga jembatan ini, bersihkan, dan perbaiki bila ada yang rusak,” ujar Warsono.
Di musim panen, jembatan ini semakin sibuk. Hasil bumi dari Kalirahayu, padi, sayur, bahkan ternak, menyeberang ke Limbangan untuk dijual atau ditukar barang.
Di sisi lain, kebutuhan sehari-hari seperti beras, minyak goreng, dan kebutuhan pokok lainnya juga mengalir dari Brebes ke Cirebon melalui jalur ini.
Namun usia jembatan kini mulai menunjukkan kerentanan. Beberapa papan sudah mulai rapuh, kabel seling kadang bergetar kencang saat angin kencang menerpa. Belum lagi, bila ada kendaraan roda dua melintas, getarannya bisa membuat pengendara harus ekstra hati-hati.
Warga berharap, pemerintah kabupaten maupun provinsi bisa turun tangan, setidaknya membantu perawatan jembatan atau membangun jembatan permanen sebagai akses penghubung dua desa tersebut.
Bagi warga Kalirahayu dan Limbangan, jembatan ini adalah bukti gotong royong bisa membelah keterisolasian, menyambung asa di tengah arus deras sungai dan kesenjangan kebijakan.
“Selama jembatan ini berdiri, kami bisa hidup, bisa sekolah, bisa jualan,” ujar Saminah sambil tersenyum. Di matanya, jembatan itu bukan sekadar jalur penyeberangan, tapi jalan harapan.