Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Times/Debbie Sutrisno

Bandung, IDN Times - Kementerian Agama telah mengeluarkan data tentang kerukunan umat beragama (KUB) di Indonesia. Dalam rilis tersebut Jawa Barat berada di posisi ke-32 dengan nilai indeks KBU sebesar 68,5. Meski terbilang tinggi tapi angka itu masih di bawah rata-rata nasional, yakni 73,83.

Terkait dengan data tersebut, Analis Kerukunan Sub Bagian Hukum dan KUB Kakanwil Agama Jawa Barat, Muhammad Rifai, tak sependapat dengan data yang dikeluarkan Kementerian Agama tersebut.

Menurutnya, secara fakta kondisi toleransi di Jabar sudah baik. Selama ini sangat minim kejadian intoleran yang ada di 27 kabupaten-kota di Jabar.

"Kita antara umat sesama agama sudah baik. Antarumat beragama juga baik. Dan masyarakat beragama dengan pemerintah pun bagus," ujar Rifai ditemui di kantornya, Rabu(11/12).

1. Kearifan lokal di Jabar sangat membantu mengikis persoalan intoleran

pexels.com/@rawpixel

Rifai menuturkan, salah satu hal yang bisa membuat masyarakat di Jabar toleran seperti sekarang adalah kearifan lokal yang masih menjadi pegangan. Orang Jabar yang merupakan suku Sunda masih memegang erat sikap rendah hati dan sopan santun. Khususnya masyarakat yang ada di kabupaten atau daerah, mereka lebih toleran antarumat beragama.

Dan secara statistik, di 27 kabupaten/kota di Jabar masih sangat jarang pertikaian. Meskipun ada, kejadian itu bukan masalah agama, tapi hal lain yang kemudian diseret dalam sisi agama ketika diinfrormasikan kepada pihak lain.

"Makanya kami protes. Ormas Islam dan non-Islam juga protes ketika kita bertemu dan membicarakan kalau Jabar masuk dalam kategori intoleran," papar Rifai.

2. Friksi antaragama ada bukan karena ada penolakan dari satu kaum

Arief Dian / https://www.boombastis.com/

Terkait dengan adanya upaya penghentian pembangunan rumah ibadah satu agama oleh agama lain, Rifai menyebut bahwa informasi seperti itu tidak benar. Pembangunan rumah ibadah yang ditolak biasanya karena izin mereka tidak sesuai.

"Misal ada yang membangun rumah ibadah di ruko atau tempat yang tidak pas. Itu kan sudah pasti tidak boleh, tapi diiring pemberitaanya ke intoleran," papar Rifai.

Selain itu, perselisihan juga kerap terjadi antara masyarakat suku Sunda dengan pendatang dari daerah lain yang bawaan sifatnya seringkali lebih 'keras'. Ketika mereka berbincang dan berselisih kemudian terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau tidak sesuai.

"Jadi sebenarnya itu hanya gesekan kecil tapi kemudian tiba-tiba besar," ujarnya.

3. BPIB sebut tantangan Indonesia ke depan bukan hanya masalah toleransi

NABILA SUBIYANTO

Sementara itu, Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) KH Said Aqil Siradj mengatakan tantangan Indonesia saat ini dan ke depan bukan hanya toleransi soal agama tapi juga masalah ekonomi.

"Kesenjangan dan ketidakadilan masih terjadi di mana-mana," kata KH Said Aqil Siradj dilansir Antara.

Ia bercerita pernah merasa miris ketika melihat kemiskinan penduduk yang tinggal di sekitar daerah pertambangan. Ke depan, kata dia, pemerintah harus bisa mengurangi kesenjangan ini melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat kecil.

"Kesenjangan, kemiskinan, dan kebodohan akan memicu gerakan-gerakan radikalisme, para konglomerat juga harus peduli dengan orang kecil,” katanya.

Hal senada juga disampaikan oleh Dewan Pengarah BPIP, Sudhamek, ia berharap ke depan pemerintah menelurkan kebijakan-kebijakan yang bisa mendorong tumbuhnya UMKM.

"UMKM ini menjadi salah satu faktor yang menciptakan pemerataan ekonomi. Meski kecil tapi usaha ini bisa menyerap banyak tanaga kerja,” ujarnya.

Editorial Team