Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG_20251229_155611.jpg
Sejumlah kendaraan di Kota Bandung terparkir di lahan yang tidak semestinya. IDN Times/Istimewa

Intinya sih...

  • Moda transportasi harus dibuat saling menunjang

  • Konektivitas antar peyangga daerah penting

  • Harus ada kerja kolektif

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandung, IDN Times - Koalisi Mobilitas Ramah Lingkungan Berkelanjutan di Kota Bandung mempertanyakan kinerja pemerintah daerah dalam menyediakan fasilitas bagi pejalan kaki dan pesepeda yang makin hari makin tidak bisa digunakan secara optimal.

Banyak tempat pejalan kaki yang seharusnya bisa digunakan masyarakat justru menjadi tempat parkir kendaraan. Hal itu juga yang terjadi pada area khusus pesepeda di jalan raya, sekarang lebih banyak jadi area parkir roda empat.

Koalisi yang terdiri dari Bike to Work Bandung, Koalisi Pejalan Kaki Bandung, Transport for Bandung, Demokrasi Kita, dan Greeners mempertanyakan kualitas jalan raya di Kota Bandung yang masih belum mencerminkan prinsip keselamatan bagi pengguna jalan rentan serta model pelayanan transportasi publik baru yang dinilai pemborosan anggaran, tapi tidak menjawab kebutuhan mobilitas warga Bandung. 

Perwakilan Bike to Work Bandung Andi Nurfauzi menuturkan, selama ini banyak pesepeda masih bergantung pada teknik adaptasi jalur, strategi waktu perjalanan, dan pengalaman informal untuk bertahan di ruang jalan yang tidak ramah dari ancaman pengendara bermotor.

"Keselamatan tidak bisa sekadar diukur dari angka kecelakaan atau laporan statistik. Keselamatan adalah pengalaman harian ketika warga bergerak harus merasa aman, dihargai, dan difasilitasi oleh kota yang mereka diami," kata Andi melalui siaran pers diterima IDN Times, Senin (29/12/2025).

1. Moda transportasi harus dibuat saling menunjang

Sejumlah kendaraan di Kota Bandung terparkir di lahan yang tidak semestinya. IDN Times/Istimewa

Perwakilan Transport for Bandung Naufal Farras menuturkan, memaparkan bahwa keterbatasan integrasi layanan masih menjadi persoalan struktural dan sistemik. Basis data rute angkutan umum belum sepenuhnya terpusat dan berjejaring secara optimal, cara pembayaran dan tarif yang berbeda antar moda masih agak sulit diakses oleh semua lapisan masyarakat.

Sementara penghubung antara halte, kawasan permukiman, dan ruang pejalan kaki masih sangat minim dan tidak diperhatikan. Konsep first mile - last mile belum menjadi pertimbangan utama dalam desain mobilitas kota, sebab baru diterima sebagai wacana pembangunan trasportasi publik yang terintegrasi.

"Kami sudah memetakan lebih dari 260 rute transportasi umum di wilayah Bandung Raya, serta mengembangkan informasi berbasis data halte dan titik henti yang kini mulai digunakan oleh Dinas Perhubungan pada beberapa halte," kata dia.

Meski demikian, kebijakan transportasi Bandung raya belum melihat mobilitas dalam skala metropolitan. Pola pergerakan warga melampaui batas administratif kota, sehingga koordinasi lintas wilayah menjadi kebutuhan mendesak terhadap pelayan publik oleh penyelenggara negara hari ini.

"Komunikasi antar-lembaga yang bertanggungjawab dalam persoalan ini masih berada dalam tradisi saling lempar tanggungjawab, sehingga pemenuhan tanggungjawab terabaikan," papar Naufal.

2. Konektivitas antar peyangga daerah penting

Angkutan kota (angkot) di Kota Bandung. Debbie Sutrisno/IDN Times

Akademisi sekaligus pengamat budaya urban Jejen Jaelani menilai kondisi Bandung kini tak bisa lagi dilihat hanya sebagai kota administratif. Bandung telah menjadi wilayah metropolitan yang melibatkan pergerakan lintas batas yakni Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Sumedang, dan daerah penyangga lainnya. Sayangnya, perencanaan transportasi di kota ini masih terfragmentasi.

Maka, amat penting memiliki blueprint transportasi terintegrasi Bandung Raya. Sebab, saat warga sub-urban harus menembus kemacetan hanya untuk bekerja atau mencari ilmu (sekolah atau kuliah) di pusat kota, artinya masyarakat sedang menghadapi tantangan skala regional.

"Pembangunan infrastruktur pun harus bergerak dari solusi lokal ke pendekatan metropolitan namun masih belum memenuhi kebutuhan warga antarwilayah yang secara rutin bergerak di dalam kota Bandung. Tidak cukup membangun jalan di tengah kota, tanpa membenahi konektivitas antarkota penyangga," kata Jeje.

3. Harus ada kerja kolektif

bus DAMRI (commons.wikimedia.org/Mujiono Ma'ruf)

Sementara itu, Koalisi Mobilitas Ramah Lingkungan Berkelanjutan menunjukan fakta di jalan raya karena bukan sekedar data ya. Koalisi terus berjuang bersama dan akan sering bertemu untuk mendorong Perda inisiatif dari masyarakat ini di DPRD Kota Bandung.

Kritik soal mobilitas 2025 ini sekaligus menjadi ajakan pihak Koalisi Mobilitas Ramah Lingkungan agar kebijakan tidak berhenti sebagai dokumen administratif atau proyek infrastruktur dengan kualitas rendah, tetapi hadir sebagai praktik keberpihakan yang dapat dirasakan di dalam kehidupan sehari-hari warga.

Forum menegaskan bahwa advokasi mobilitas di Bandung raya tidak lagi dapat berjalan secara sektoral. Perjuangan pejalan kaki, pesepeda, dan warga pengguna transportasi umum saling terkait dan harus dilihat sebagai satu ekosistim mobilitas yang harus diperbaiki secara berkelanjutan.

Melalui forum ini, Koalisi Mobilitas Ramah Lingkungan Berkelanjutan menyatakan komitmennya untuk memperkuat kerja kolektif dan kolaboratif tahun 2026, mendorong perencanaan fasilitas pejalan kaki yang lebih inklusif, konsistensi fasilitas pesepeda, integrasi transportasi publik yang lebih kuat, serta penguatan data kebutuhan mobilitas warga sebagai dasar advokasi kebijakan.

Editorial Team