Bandung, IDN Times - Jauh sebelum pemerintah memecah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menjadi tiga lembaga baru, Kementerian Hukum, Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham), dan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, kasus pelanggaran HAM di Jawa Barat sudah menjadi perhatian nasional. Khususnya, kasus-kasus yang bertema toleransi beragama.
Berdasarkan temuan dari SETARA Institute selama 12 tahun terakhir pada 2019, dari 34 provinsi di Indonesia, ada 629 kasus intoleransi beragama di Jawa Barat.
Penelitian dilanjutkan pada 2024, di mana SETARA Institute menyatakan Jabar masih menduduki posisi pertama dalam kasus pelanggaran Kebebasan Berkeyakinan Beragama (KBB). Jumlah tersebut mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang mencapai 47 kasus.
Artinya Jabar masih menduduki kasus intoleransi tertinggi selama 18 tahun terakhir. Saat ini, Kantor Wilayah Kemenham Jabar hadir untuk menangani kasus intoleransi dan memberikan mengawal korban HAM lainnya.
Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenham Jabar, Hasbullah Fudail membenarkan kasus intoleransi cukup menjadi perhatian nasional. Meskipun, banyak juga beberapa kasus lainnya.
Salah satu hal yang menonjol saat ini yaitu kasus Polemik penggunaan Gedung Serba Guna (GSG) Arcamanik, oleh Persatuan Gereja Amal Katolik (PGAK) Santa Odilia yang kini ditolak oleh warga. Selain itu ada juga persoalan penutupan Gereja Beth-El Tabernakel yang berada di Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut. Hasbullah memastikan banyak kasus serupa yang kini tengah ditangani.
Lalu seperti apa penanganannya, dan apa saja upaya Kemenham yang merupakan lembaga baru khusus untuk menangani persoalan-persoalan HAM di Jabar? Berikut wawancara khusus IDN Times Jabar dengan Kemenham Jabar, Hasbullah Fudail di kantornya Jalan Terusan Jakarta, Kota Bandung, Rabu (13/8/2025).
Sebenarnya ada berapa total kasus yang kini ditangani Kanwil Kemenham Jabar?
Yang masuk ke kami itu dari Jawa Barat ini banyak sekali, kasus-kasus viral, dan ini menjadi perhatian di level nasional ya. Sekarang ini kami ditunggu untuk menangani kasus di Garut itu. Untuk ke lapangan hari ini jadi mau tidak mau. Itu kasus datang langsung melihat dan minta keterangan lainnya.
Apa yang terjadi di Garut?
Tentang pembangunan rumah ibadah rumah ibadah ya, dan Jawa Barat kan dianggap hari ini provinsi intoleran. Di mana-mana banyak kasus kayak di PGAK Bandung, kasus Cidahu, kasus demokratis, kasus ini, itu. Yang berhubungan dengan kebebasan beribadah. Itu yang terjadi hari ini.
Artinya mayoritas kasus paling banyak adalah soal pendirian tempat ibadah?
Enggak menjadi yang paling banyak juga, sebab kasus dugaan pelanggaran HAM lainnya juga ada. Tapi itu kan menjadi isu nasional, sehingga ini jadi atensi pemerintah pusat. Kemarin juga Kemenham RI datang langsung ke Kota Bandung untuk melihat persoalan yang di Arcamanik itu.
Mengenai kasus yang ada di Kota Bandung, soal penolakan tempat ibadah PGAK Santa Odilia oleh warga, penyelesaiannya seperti apa?
Itu belum selesai. Itu kan baru langkah awal, baru pemindahan sementara kan itu di situ. Langkah berikutnya bagaimana mendirikan rumah permanen yang nyaman. Nah, itu masih jadi tantangan, karena harus tahu lahan yang mana, begitu. Kalau antar warga dan umat ini sudah selesai. Kami berharap mereka dibangunkan gereja, dengan jemaah yang banyak, itu negara harus siap ada untuk memfasilitasi. Tidak bisa dibiarkan dia mendirikan tempat yang masyarakatnya juga menentang, kan Itu yang terjadi di sini.
Penolakan terhadap Ahmadiyah juga masih ada, apa sikap Kemenham?
Itu mungkin tantangan, akan kami coba (selesaikan). Kemenham itu terbuka, untuk siapapun termasuk golongan minoritas. Kami akan mendampingi hak-hak mereka, karena itu harus dijaminkan oleh negara. Kita tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap kebebasan beragama.
Kasus-kasus intoleransi yang saat ini terjadi seperti di Garut dan Bandung, bagaimana penyelesaiannya?
Ini kami harus ke lapangan dulu, melihat, dibedah kasusnya bagaimana. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dan mengidentifikasi seperti yang kita lihat. Kalau ada yang melapor silakan melapor, tapi kalau yang viral seperti ini kami harus lakukan semua.
Pergi ke lapangan, identifikasi masalah, tentunya berbicara dengan para korban, pelapor, terlapor dengan berbagai kepentingan. Dari situ kalau ada masalahnya coba kami rumuskan bagaimana cara penyelesaiannya. Mudah-mudahan bisa diselesaikan dengan perdamaian.
Dari situ, kalau tidak bisa damai atau tidak mencapai kesepakatan, harus mengeluarkan rekomendasi. Cuma masalahnya sekarang rekomendasi itu kan juga tidak punya kekuatan untuk mengikat, mau dijalankan atau tidak, itu tidak bisa kami tentukan.
Rekomendasi tersebut kenapa bisa tidak mengikat?
Harusnya ya, karena undang-undangnya memang seperti itu. Makanya kalau mau mengganti rekomendasi menjadi perintah, ini harus diubah undang-undang, di regulasi. Ketika melakukan rekomendasi wajib dan tunduk pada imbauannya.
Dari semua kasus yang ditangani Kemenham ada berapa yang sudah diselesaikan dan mengikuti rekomendasi tersebut?
Sudah banyak yang kami tangani dan rekomendasikan. Ya, hampir semua yang kami tangani itu, karena memang kan indikatornya bukan bukan selesai atau tidak sebenarnya, tapi bagaimana terlibat di dalam mencari solusi. Karena untuk menyelesaikan itu bukan dengan Kementerian.
Tapi yang kami fokuskan sekarang ini yang kasus PGAK Kota Bandung ini. Nah, kami yang terlibat sejak dini ketika institusi lain tidak mampu, ya alhamdulillah kami bisa fasilitasi menyelesaikan itu.
Tentang kasus di luar persoalan toleransi beragama, apa saja yang dilaporkan masyarakat ke Kanwil Kemenham?
Ada KDRT, ada penyerobotan lahan, ada isu tentang lingkungan hidup, ada tentang PHK, itu banyak sih. Memang banyak juga yang sensitif. Sebetulnya kami juga ada beberapa program yang hari ini sedang dijalankan. Saya hari ini baru dari sekolah-sekolah, ada sesi bagaimana penguatan HAM, kepada para ASN termasuk kepada kalangan komunitas pendidikan, berbagai kalangan, NGO, kami juga turun termasuk ke berbagai kalangan bisnis karena HAM sekarang ada juga di bisnis. Ya itu yang kami lakukan.
Masyarakat sendiri mungkin masih belum banyak mengetahui Kemnham Jabar itu tupoksinya seperti apa, bisa dijelaskan?
Ya secara umum bahwa Kementerian HAM ini ada undang-undang dan segala macamnya yang menyangkut tentang persoalan hak asasi manusia, itulah topiknya. Kalau hak asasi manusia hampir semua lini ada. Bagaimana kita bisa menjadi bagian untuk, kalau bisa tadi selain mensosialisasikan tadi juga menjadi bagian untuk problem solving yang menyelesaikan ketika ada masalah. Itu yang dilakukan.
Misalkan pelecehan seksual, kekerasan pada anak, terus perempuan. Kami sudah punya online itu bisa dibuka di website. Bisa laporkan melalui media sosial kami.
Biasanya, kalau dalam penanganan, langkah apa saja yang dilakukan? Selain datang ke lokasi?
Ya kami juga bisa mengundang orang. Kalau dia di Bandung kami mengundang saja, tapi kan tetap harus ada segala macam tahapan untuk melihat kondisi. Hasil akhirnya itu sebuah rekomendasi terkait. Kalau pelecehan seksual misalnya, itu harus tahu dulu siapa dilaporkan, siapa yang melapor, kan tentu punya keterkaitan. Kita coba cari jalan tengahnya.
Kalau sudah lapor ke kepolisian kami tetap bisa koordinasi ke polisi ya. Jadi istilahnya enggak harus lapor polisi, tapi bisa diselesaikan melalui Kemenham, sebelum nantinya masuk ke ranah hukum.
Karena, kami tidak bisa masuk tahap proses hukum. Ketika sudah berhadapan dengan hukum enggak bisa kami cari tahu. Kecuali kalau dalam proses hukum itu dia enggak ada pelanggaran hukum ya kami bisa diskusi.
Pesan untuk masyarakat yang menjadi korban HAM?
Kami ingin ingin mendorong bagaimana masyarakat itu juga menjadi bagian untuk pemecahan masalah ketika ada masalah. Dan jangan berharap masalah itu harus diselesaikan secara hukum. Kalau bisa diselesaikan di masyarakat tanpa harus berhadapan dengan hukum.
Karena ketika berhadapan dengan hukum terlalu besar biayanya, resikonya terlalu banyak. Kami ingin masyarakat menyelesaikan persoalannya. Itulah harapan kami.