Indonesia Rawan Bencana, Bagaimana Kesiapan Mitigasi di Daerah

Bandung, IDN Times - Di awal 2021, sejumlah bencana alam terjadi di Indonesia. Mulai banjir, tanah longsor, gunung meletus dan gempa bumi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, masuk minggu keempat Januari 2021, sudah ada 185 bencana yang terjadi di Tanah Air.
Bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor dan puting beliung mendominasi kejadian bencana. Catatan BNPB, sebanyak 127 kejadian banjir terjadi di beberapa wilayah Tanah Air, sedangkan tanah longsor 30 dan puting beliung 21. Kejadian bencana lain yang tercatat yaitu gelombang pasang 5 kejadian dan gempa bumi 2.
Meskipun banjir paling sering terjadi, bencana gempa bumi masih paling banyak mengakibatkan korban jiwa. Peristiwa gempa bumi telah mengakibatkan korban meninggal sebanyak 91 jiwa, tanah longsor 41 dan banjir 34. Bahkan, BNPB mencatat korban luka-luka akibat gempa bumi mencapai 1.172 jiwa, disusul tanah longsor 26 jiwa, puting beliung 7 jiwa dan banjir 5 jiwa.
Rentetan bencana alam yang terjadi pada awal tahun ini tak lepas dari kondisi geografis wilayah Indonesia yang terletak di dalam jalur lingkaran bencana gempa (ring of fire), dimana jalur sepanjang 1.200 km dari Sabang sampai Papua merupakan batas-batas tiga lempengan besar dunia yaitu : lempengan Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik akan berpotensi memicu berbagai kejadian bencana alam yang besar. Indonesia juga berada pada tiga sistem pegunungan (Alpine Sunda, Circum Pasifik dan Circum Australia).
Tingginya kasus bencana alam di Indonesia ini sebenarnya sudah diprediksi sejumlah peneliti di Tanah Air. Termasuk dampak kerusakan dan faktor yang mampu menyebabkan terjadinya bencana alam.
Lalu, sejauh mana pemerintah pusat, provinsi, kabupaten-kota serta pihak terkait dalam mengantisipasi risiko dampak dari bencana alam yang terjadi. Seperti apa mitigasi bencana yang sudah dipahami masyarakat Indonesia?
Di bawah ini adalah ulasan kolaborasi IDN Times mengenai upaya mitigasi, rawan bencana, hingga pandangan para pengamat yang dirangkum dalam artikel "Indonesia Rawan Bencana".
1. Bencana alam harus jadi pelajaran penting bagi Indonesia
Ketua Pusat Unggulan Ipteks (PUI) Sains dan Teknologi Kegempaan ITB, Irwan Meilano mengatakan, potensi gempa bumi yang terjadi di Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat sebetulnya sudah diketahui sejak dulu.
Menurut dia, penelitian terhadap potensi terjadinya gempa bumi sudah menjadi perhatian. Tidak hanya itu, sumber gempa yang akan berdampak terhadap kerusakan sudah dimasukan dalam peta bahaya sumber gempa tahun 2019.
"Dari dulu kami sudah memperhatikan, ini ada daerah yang unik di Sulawesi Barat ke tengah, kenapa banyak terjadi gempa dengan mekanisme sesar naik di sana. Kami berkesimpulan ada sumber gempa dan sudah kami masukan ke dalam peta bahaya sumber gempa tahun 2019," kata Irwan melalui siaran pers, Sabtu (23/1/2021).
Irwan mengungkapkan, bencana gempa bumi di Majene dan Mamuju merupakan salah satu contoh yang bisa dijadikan pelajaran penting bagi Bangsa Indonesia dalam menghadapi rawan bencana, khususnya gempa bumi. Terutama terhadap pemahaman risiko bencana yang lebih baik dan detail untuk meminimalisir dampak dan korban.
Sebab, peristiwa gempa bumi di Indonesia masih menjadi bencana yang memakan korban terbesar di Indoneisa. Tidak hanya sumber bencana yang perlu disampaikan secara detail kepada semua pihak. Pemerintah juga perlu memerhatikan perencanaan pembangunan yang baik di lokasi titik bencana serta mengajak masyarakat untuk memahami risikonya akibat dampak bencana. Sehingga, saat terjadi bencana seluruh pihak siap dalam menghadapi bencana.
"Kenapa hal ini perlu dilakukan karena gempa-gempa yang terjadi di Lombok dan Palu beberapa waktu lalu telah menyebabkan rumah rusak, bangunan rusak, sekolah rusak, jembatan hancur, kantor gubernur rusak, dan kerusakan fasilitas lainnya. Padahal sebetulnya kita sudah ada aturan penting mengenai standar kode bangunan," kata dia.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin Makassar Prof Adi Maulana mengusulkan kepada pemerintah, agar pembelajaran kebencanaan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal.
Dia mengatakan, soal kebencanaan sebaiknya jadi pelajaran formal dari tingkat sekolah dasar hingga ke jenjang perguruan tinggi. Dengan begitu, masyarakat bisa melek sejak dini soal isu-isu kebencanaan.
"Kita arus utamakan ini isu-isu kebencanaan. Dalam hal ini, kalau bisa kita jadikan dia semacam mata pelajaran khusus," kata Prof Adi Maulana saat berbincang dengan IDN Times, Jumat (22/1/2021).
Sebab, kata Prof Adi, posisi Indonesiadengan adanya pertemuan tiga besar lempeng besar tektonik yaitu, lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik membuat Indonesia masuk dalam kategori rawan bencana ketiga di dunia.
Ancaman gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api ada di Indonesia dengan adanya pergerakan dari pertemuan lempeng yang membentuk 512 gunung api di Indonesia, dan 129 di antaranya gunung api aktif.
"Itu berarti 1/3 gunung aktif di dunia ada di Indonesia. Hasilnya juga kita ada 16 segmen megatrush. Artinya, itu adalah daerah-daerah yang bisa meng-generate tsunami sampai dengan ketinggian 40 meter. Di daratan, kita juga punya tanah longsor," kata pakar geologi Unhas ini menerangkan.
Fakta-fakta itulah yang menurut Prof Adi menjadikan alasan seharusnya bisa memasukkan dalam materi pembelajaran kebencanaan di sekolah. Materi kebencanaan, katanya, bukan bermaksud menakut-nakuti. Melainkan, mengajarkan generasi penerus sejak dini, untuk lebih peka dan paham tentang bencana dan pentingnya mitigasi yang harus dilakukan ke depan.