Hunian Hotel Cirebon Merosot, Dibutuhkan Paket Wisata yang Menarik

- Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel di Kota Cirebon menurun secara signifikan pada Maret 2025, baik untuk kategori hotel bintang maupun nonbintang.
- Penurunan TPK terjadi secara bulanan dan tahunan, menunjukkan perlunya penyegaran dalam promosi wisata dan event penarik kunjungan.
- Fenomena ini menandakan adanya kejenuhan pasar terhadap destinasi wisata yang ditawarkan, membutuhkan pendekatan baru dalam mengelola wisata.
Cirebon, IDN Times- Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel di Kota Cirebon menunjukkan tren penurunan signifikan pada Maret 2025, baik untuk kategori hotel bintang maupun nonbintang.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cirebon mencatat TPK gabungan hanya mencapai 29,51persen, atau turun 7,49 poin dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/y-o-y). Penurunan juga terjadi secara bulanan (month-to-month/m-t-m), yakni sebesar 8,69 poin dibanding Februari 2025.
Kepala BPS Kota Cirebon, Aris Budiyanto, menilai penurunan ini sebagai sinyal perlunya penyegaran dalam promosi wisata dan event penarik kunjungan.
"Maret seharusnya sudah mulai menggerakkan wisata domestik pasca libur panjang awal tahun. Namun, kenyataannya okupansi hotel justru menurun. Ini perlu jadi perhatian semua pihak," kata Aris, Kamis (8/5/2025).
1. Penurunan serentak hotel bintang dan nonbintang

Penurunan TPK tak hanya terjadi pada hotel-hotel mewah. Aris menjelaskan, hotel bintang mencatat TPK sebesar 34,41 persen, turun tajam sebesar 9,94 poin secara y-on-y.
Bahkan secara m-to-m, hotel bintang juga merosot 11,16 poin dibanding Februari 2025. Sementara itu, hotel nonbintang mencatat TPK sebesar 18,33 persen, mengalami penurunan 2,73 poin secara y-on-y dan turun 3,35 poin secara m-to-m.
Fenomena ini menunjukkan penurunan kunjungan wisatawan terjadi secara menyeluruh di seluruh segmen penginapan. "Bahkan hotel kelas menengah ke bawah yang biasanya diandalkan oleh pelancong berbudget rendah pun ikut terdampak," jelas Aris.
Menurutnya, situasi ini menandakan adanya kejenuhan pasar terhadap destinasi wisata yang ditawarkan.
Aris menyebutkan, Kota Cirebon harus menyiapkan pendekatan baru dalam mengelola wisata, termasuk pembaruan destinasi, promosi digital yang agresif, serta kolaborasi antarsektor.
2. Dibutuhkan paket wisata yang menarik

Meski tingkat hunian kamar mengalami penurunan, data menunjukkan rata-rata lama menginap tamu (RLMT) cenderung stabil, bahkan meningkat sedikit di beberapa segmen.
Pada Maret 2025, RLMT hotel gabungan bintang dan nonbintang mencapai 1,35 hari. Angka ini naik 0,04 poin secara y-on-y, meski turun tipis 0,01 poin dibanding Februari 2025.
Secara rinci, RLMT hotel bintang mencapai 1,43 hari, naik 0,06 poin secara y-on-y. Namun secara m-to-m, RLMT ini turun 0,01 poin. Sedangkan RLMT hotel nonbintang justru mengalami penurunan baik secara y-on-y maupun m-to-m, masing-masing sebesar 0,01 dan 0,02 poin. RLMT hotel nonbintang tercatat hanya 1,07 hari.
"Durasi tinggal yang tidak meningkat signifikan menjadi bukti wisatawan belum merasa perlu tinggal lebih lama di Cirebon. Ini menjadi refleksi langsung terhadap kualitas pengalaman wisata yang diberikan," ujar Aris.
Ia menambahkan, untuk menarik kunjungan yang lebih lama, dibutuhkan paket wisata tematik yang menarik dan terintegrasi. Misalnya, tur sejarah dan religi yang menghubungkan situs budaya Cirebon dengan aktivitas lokal, seperti membatik atau kuliner khas.
3. Dampak bagi sektor pariwisata dan ekonomi lokal

Aris menegaskan, penurunan okupansi hotel ini tak bisa dilihat semata sebagai persoalan industri perhotelan, tetapi juga menyangkut rantai ekonomi yang lebih luas.
Penurunan tingkat hunian hotel berarti menurunnya permintaan terhadap jasa pelengkap seperti restoran, penyedia transportasi lokal, pemandu wisata, hingga pedagang kaki lima di kawasan destinasi.
“Ini efek domino. Ketika hotel sepi, ekonomi sekitar juga ikut lesu. Padahal Cirebon sangat bergantung pada sektor jasa dan pariwisata untuk menggerakkan ekonomi daerah,” katanya.
Ia juga mengingatkan pemerintah daerah agar tidak hanya bergantung pada momen musiman, seperti libur Lebaran atau Natal dan Tahun Baru, tetapi juga mendorong kegiatan berskala regional seperti pameran UMKM, pertunjukan budaya, atau lomba-lomba tematik yang bisa menarik kunjungan di bulan-bulan yang cenderung sepi.
BPS sendiri akan terus memantau dinamika ini, termasuk menyarankan kepada pemerintah daerah dan pelaku usaha hotel agar rutin menggelar evaluasi atas strategi pemasaran mereka.
Aris pun mendorong adanya kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha perhotelan, komunitas kreatif, dan media lokal untuk menciptakan narasi positif tentang pariwisata Cirebon. Menurutnya, Kota Cirebon memiliki potensi besar untuk tumbuh sebagai destinasi unggulan di Jawa Barat, terutama dengan kekayaan warisan budaya dan lokasi yang strategis.
“Hotel yang kosong bukan sekadar angka statistik. Itu adalah cerita tentang peluang yang belum tergarap. Kalau kita bisa menciptakan alasan kuat untuk datang ke Cirebon, angka TPK pasti membaik,” tegasnya.