Proses evakuasi korban longsor tambang galian C Gunung Kuda Cirebon. (Dokumentasi BNPB)
Tragedi Gunung Kuda adalah pengingat keras akan pentingnya regulasi, pengawasan, dan kemanusiaan dalam industri pertambangan. Di balik batu-batu yang digali, ada peluh, darah, dan kadang nyawa.
Negara dan pengusaha tambang punya tanggung jawab besar agar setiap pekerja pulang dengan selamat. Tidak ada keuntungan ekonomi yang sepadan dengan satu nyawa pun.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Cirebon, Iwan Ridwan Hardiawan, tidak bisa menyembunyikan nada kecewa dalam suaranya. "Reklamasi adalah kewajiban hukum. Itu bukan lagi sekadar janji, tapi harus dilakukan,” ujarnya dengan tegas.
Menurut Iwan, reklamasi yang semestinya menjadi upaya pemulihan lingkungan pascatambang telah berkali-kali diingatkan kepada para pengusaha. Namun imbauan itu seperti angin lalu. Lubang-lubang bekas tambang tetap menganga.
Vegetasi tidak pernah kembali tumbuh. Bekas galian berubah jadi gurun batu yang rawan bencana.
“Sejak 2020, wewenang memang ada di pemerintah pusat dan provinsi. Tapi kami tetap memantau. Setiap enam bulan, perusahaan wajib lapor soal pengelolaan lingkungannya. Dan kami tahu, banyak yang tidak sesuai kenyataan di lapangan,” tambahnya.
DLH telah memantau perubahan kawasan tambang Gunung Kuda melalui observasi jangka panjang. Hasilnya mengkhawatirkan. Bentang alam yang dahulu hijau kini berubah menjadi hamparan tanah terbuka. Citra satelit dari tahun 2009 hingga 2025 menunjukkan tren degradasi yang tajam.
Fungsi ekologis tanah ikut rusak. Air hujan yang semestinya terserap, kini mengalir bebas tanpa hambatan, mengikis tanah, mengguyur lereng, dan mempercepat terjadinya longsor.
Tak heran, ketika hujan deras turun pada akhir Mei lalu, dinding tambang yang tak pernah diperkuat itu runtuh begitu saja, menelan pekerja yang sedang beraktivitas di bawahnya.
Ironisnya, kewajiban reklamasi sebenarnya bukan hal baru. Dalam setiap izin tambang, termasuk dokumen UKL-UPL dan AMDAL, terdapat pasal-pasal jelas yang mewajibkan perusahaan menyiapkan rencana dan dana pemulihan lingkungan.
Bahkan, reklamasi seharusnya dilakukan secara bertahap, seiring berlangsungnya kegiatan eksploitasi.
“Reklamasi itu sudah disiapkan dari awal, artinya mereka punya waktu, dana, dan rencana. Tapi tidak dijalankan. Akhirnya, tanah jadi tidak stabil. Bencana seperti ini sebenarnya bisa dicegah,” kata Iwan.
DLH sendiri mengakui bahwa pihaknya tak tinggal diam. Meski wewenang utama kini berada di tingkat provinsi, DLH Kabupaten Cirebon mengklaim tetap melakukan pemantauan dan menyampaikan evaluasi.
“Kami sudah menjalankan fungsi kami. Tapi kami tidak bisa menindak tanpa kewenangan langsung. Karena itu, kami mendorong pemerintah provinsi untuk bertindak lebih tegas. Jangan tunggu kejadian lebih buruk,” tegas Iwan.