Gunung Kuda Ditutup, Industri Batu Alam di Cirebon Henti Produksi

- Ribuan pekerja terancam dirumahkan karena industri batu alam macet
- Industri batu alam di Cirebon mengalami kemandekan bertahun-tahun
- Pengusaha menuntut solusi konkret dari pemerintah untuk mengatasi krisis ini
Cirebon, IDN Times - Aktivitas industri batu alam di wilayah Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, terancam berhenti total setelah kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat menutup seluruh aktivitas pertambangan di wilayah Majalengka dan Cirebon diberlakukan.
Keputusan ini diambil sebagai respons atas peristiwa longsor yang terjadi di Gunung Kuda pada akhir Mei lalu.
Langkah penutupan tersebut berdampak langsung pada rantai pasok bahan baku, terutama batu andesit yang menjadi komoditas utama industri pengolahan batu alam di Dukupuntang.
Hingga akhir Juni, mayoritas pelaku industri mengaku tidak lagi memiliki persediaan material dan tidak bisa mendapatkan pasokan legal karena akses ke tambang telah ditutup total.
Menurut Tarsiwan, perwakilan dari Paguyuban Pengusaha Batu Alam Cirebon (PPBAC), lebih dari 75 persen dari total 270 unit usaha batu alam di Dukupuntang sudah menghentikan kegiatan produksinya.
"Saat ini kami sudah tidak punya bahan baku sama sekali. Stok habis dan pintu untuk mendapatkan pasokan baru juga ditutup rapat,” ungkap Tarsiwan, Senin (30/6/2026).
1. Ribuan pekerja terancam dirumahkan

Kondisi macetnya industri batu alam ini bukan hanya mengganggu jalannya roda ekonomi, tapi juga mengancam keberlangsungan hidup para pekerja.
Sebagai sektor padat karya, industri ini selama bertahun-tahun menjadi sumber penghidupan utama masyarakat lokal.
“Ini bukan cuma soal bisnis, tapi soal hajat hidup banyak orang. Ratusan hingga ribuan pekerja kini menggantungkan nasib pada keputusan pemerintah,” tegas Tarsiwan.
Ia menyoroti keputusan sepihak pemerintah dalam menutup aktivitas pertambangan tidak diiringi solusi konkret bagi para pelaku usaha maupun buruh. Banyak pemilik industri yang akhirnya terpaksa merumahkan karyawan mereka karena tidak ada lagi pekerjaan.
Tersiarnya kabar pemutusan hubungan kerja dalam jumlah besar pun tidak dapat dihindari apabila situasi ini berlarut-larut. Tarsiwan mendesak agar pemerintah memberikan alternatif yang realistis dan berpihak pada rakyat.
"Kalau pemerintah belum bisa menyediakan lapangan kerja baru, jangan dulu mematikan yang sudah ada. Setidaknya beri ruang transisi atau solusi jangka pendek seperti relokasi sumber bahan baku atau izin terbatas dengan pengawasan ketat,” ujarnya.
2. Industri batu alam alami kemandekan bertahun-tahun

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah tenaga kerja di sektor batu alam di Kabupaten Cirebon stagnan sejak 2021.
Selama empat tahun terakhir, tidak ada pertumbuhan berarti, dengan angka tenaga kerja tetap berada di kisaran 1.982 orang sejak 2021 hingga 2024.
Padahal, pada tahun 2020, industri ini masih mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 2.072 orang.
Penurunan sebesar 90 orang pada tahun berikutnya menjadi indikasi awal adanya tekanan produksi yang mulai terasa sejak saat itu, dan tren stagnan berlangsung menandakan belum adanya pemulihan signifikan di sektor ini.
Fakta ini semestinya menjadi lampu merah bagi pemerintah daerah untuk lebih aktif dalam menciptakan iklim usaha yang mendukung dan stabil.
Ketidakmampuan sektor ini untuk berkembang bisa mengarah pada kemunduran daya saing dan melemahnya kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja lokal.
3. Desakan pengusaha untuk solusi nyata

Krisis ini mendorong para pelaku usaha untuk menyuarakan tuntutan mereka secara terbuka. Mereka menolak untuk terus menjadi korban dari kebijakan sepihak yang tidak diiringi dengan mitigasi dampak sosial dan ekonomi.
Dalam pandangan mereka, keputusan pemerintah harus dibarengi dengan tanggung jawab moral untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat yang terdampak.
Menurut Tarsiwan, pemerintah provinsi dan kabupaten seharusnya duduk bersama dengan para pelaku industri guna merumuskan solusi konkret, bukan hanya meluncurkan kebijakan reaktif tanpa arah
Ia menekankan, relokasi sumber bahan baku atau pembukaan kembali area pertambangan yang terbatas dengan pengawasan ketat bisa menjadi solusi sementara.
“Jangan sampai keputusan ini justru memperlebar jurang kemiskinan dan pengangguran di daerah. Jika industri batu alam dimatikan tanpa alternatif, maka yang jadi korban bukan hanya pengusaha, tapi ribuan keluarga pekerja,” ujarnya.