Bandung, IDN Times - Tatapan Elis fokus pada gerakan kedua tangannya. Tangan kanan memegang jarum yang sudah terisi benang, sementara tangan kirinya memegang benang yang sudah terpola menjadi rajutan. Perlahan pola itu memanjang, menyambung satu dengan lain, dan akhirnya menjadi sebuah dompet kecil berukuran. Butuh sekitar dua jam untuk membuat dompet dengan ukuran 20 x 15 sentimeter (cm) dari benang rajut menggunakan tangan. Meski terlihat sulit untuk orang awam, tapi Elis sudah terbiasa membuatnya.
Di ruko berukuran 5x7 meter itu, Elis duduk bersila bersama temannya, Erlina, dan Ane. Sedari siang mereka sudah berada di tempat ini saling tukar ilmu anyaman untuk produk baru yang akan dibuat.
"Jadi kalau ada pesanan baru kita kumpul buat bikin produk awal. Nyamain pola rajutan yang paling mudah apa, karena beda produk, beda benang, beda pola juga nantinya," kata Elis saat berbincang dengan IDN Times di kawasan Kampung Wisata Rajut Binong, Minggu (6/10/2024).
Cukup handal dalam membuat rajutan, Elis kerap menjadi panutan perajut lainnya untuk bertanya mengenai pola apa yang harus dibuat untuk dompet yang jadi pesanan baru. Sebab, berbeda benang, beda juga pola bisa digunakan.
"Jadi jenisnya banyak, ada yang katun, poliester, ada disebut benar rajut bali. Nah itu bedanya ada yang kasar, ada yang halus, ada juga yang berbulu gitu dan ada yang enggak. Jadi memang pola rajutannya bisa beda tergantung benangnya padahal sama barangnya jadinya dompet," kata dia.
Elis merupakan salah satu penyandang disabilitas yang tinggal di kawasan Binong Jati, Kota Bandung. Dia bercerita sudah bisa merajut dengan tangan (handmade) sejak lama. Ketika sekolah dulu salah satu pelajaran yang diberikan adalah merajut dan ini yang kemudian masih dilakukan Elis sampai sekarang menjadi sebuah usaha rumahan. Sayangnya, karena minimnya pembeli dan perubahan pembuatan produk rajut dari tangan ke mesin, dia pun sempat hiatus dari dunia rajutan.
Sesekali Elis masih membuat produk rajutan dengan tangan untuk sekedar melepas penat dari kesehariannya. Bertekad menjual hasil rajutannya yang dibuat secara manual, Elis terbentur dengan pemasaran. Tak jarang barang yang sudah dikirim tidak dibayar oleh pembeli atau bahkan rajutannya menumpuk saking tidak adanya peminat.
Nasib Elis perlahan berubah ketika dia masuk dalam komunitas Merajut Asa Kita (Merakit). Dibentuk sejak 2022, komunitas yang diinisiasi anak muda Kampung Binong ini mengajak para perempuan difabel belajar merajut dan membuat produk rajutan dari tangan untuk diperjualbelikan.
Dia menjadi orang pertama di komunitas Merakit kemudian mengajak Nisa, perempuan difabel lainnya di Kampung Binong yang selama ini juga hobi membuat rajutan. Mereka berdua bahu-membahu memproduksi rajutan tradisional seperti dompet, ikat rambut, hingga tas. Barang ini kemudian dipasarkan secara daring (online) melalui berbagai platform termasuk kepada para wisatawan yang mulai berdatangan mengunjungi Kampung Binong.
Ketika awal mula masuk Merakit, Elis sebenarnya coba mengajak banyak teman difabel perempuan di Kampung Binong ikut serta dalam komunitas. Namun, mereka masih enggan karena merasa kegiatan seperti ini sia-sia, sekedar pelatihan, dan setelahnya tidak ada program untuk kesejahteraan secara berkelanjutan.
Pemikiran itu pun berubah setelah mereka melihat Elis dan Nisa yang disibukkan dengan menumpuknya permintaan pembuatan produk rajutan, mereka yang awalnya menatap sebelah mata justru tertarik dan minta bergabung.
"Pas udah banyak yang tahu kita banyak diorder dan barang rajutan laku, yang lain (difabel perempuan) jadi minta ikut masuk komunitas. Sekarang sudah ada 10 perempuan kaya saya di Merakit," ungkap Elis.
Manfaat keberadaan Merakit ini pun dirasakan Erlina. Belum setahun pindah tempat tinggal dari kawasan Cimindi, Kota Cimahi, ke kawasan Kampung Binong, dia sudah bisa ikut serta komunitas tersebut. Mendapat informasi dari sesama penyandang difabel bahwa di Binong ada komunitas Merakit, Erlina langsung tertarik dan hingga sekarang masih aktif merajut.
Sebelum pindah di Binong, Erlina sebenarnya sudah lama tidak merajut. Meski sempat mendapatkan pelatihan, dia selama ini lebih banyak berwirausaha di bidang kuliner. Meski demikian, untuk kembali mendapatkan keahlian merajut tidak butuh waktu lama untuk Erlina. Dibantu oleh Elis dan perempuan lainnya, dia sekarang sudah handal membuat beragam rajutan menggunakan jari-jemarinya.
"Kita di sini dibantu belajar buat pola gitu, belajar tentang benang yang pas yang mana untuk produk tertentu. Jadi senang aja di sini. Kalau pas lagi ga bisa keluar rumah barang benang diantar dan kalau udah jadi rajutannya nanti bisa diambil," ungkap Erlina.
Dengan keikutsertaan di Merakit, perekonomian Erlina pun sedikit terbantu. Dalam sepekan dia bisa membuat puluhan kerajinan rajutan yang harganya cukup tinggi apalagi saat dijual pada sebuah pameran.
"Dapatlah Rp300 ribu seminggu ma. Ya lumayan buat bantu kebutuhan di rumah," kata dia.
Wanita yang juga aktif sebagai atlet tenis meja di ini menyebut bahwa selama ini difabel khususnya perempuan sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan formal. Alhasil lebih banyak dari mereka hanya menjadi ibu rumah tangga dan berwirausaha dari rumah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2021, penduduk usia kerja penyangga disabilitas sejumlah 16,94 juta orang. Proporsi jumlah perempuan disabilitas lebih besar daripada laki-laki yaitu 9,32 juta atau 55 persen. Sementara penyandang disabilitas laki-laki usia kerja berjumlah 7,62 juta atau 45 persen. Dari angka tersebut, penyandang disabilitas yang bekerja hanya 7,04 juta orang, sementara pengangguran terbuka sekitar 362.268 orang.
Di antara yang bekerja, jumlah perempuan penyandang disabilitas lebih sedikit daripada laki-laki. Padahal, jumlah perempuan usia kerja penyandang disabilitas lebih besar dari laki-laki. Menurut data, jumlah perempuan disabilitas yang bekerja hanya 42,7 persen atau 3,1 juta orang, sementara laki-laki sebesar 57,3 persen atau sekitar 4,29 juta orang. Di sisi lain, perempuan penyandang disabilitas pun mendapatkan upah yang masih lebih rendah dibandingkan laki-laki dan non-disabilitas.