Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Geliat Kehidupan Warga Kampung Binong, Merajut Asa dari Untaian Benang

Anggota Komunitas Merakit, Elis (kiri), Erlina (tengah), dan Ane (kanan) sedang membuat dompet dari benang rajut, Minggu (6/10/2024). Produk hasil rajutan tangan ini rencananya akan diikutsertakan dalam sebuah pameran. IDN Times/Debbie Sutrisno
Anggota Komunitas Merakit, Elis (kiri), Erlina (tengah), dan Ane (kanan) sedang membuat dompet dari benang rajut, Minggu (6/10/2024). Produk hasil rajutan tangan ini rencananya akan diikutsertakan dalam sebuah pameran. IDN Times/Debbie Sutrisno

Bandung, IDN Times - Tatapan Elis fokus pada gerakan kedua tangannya. Tangan kanan memegang jarum yang sudah terisi benang, sementara tangan kirinya memegang benang yang sudah terpola menjadi rajutan. Perlahan pola itu memanjang, menyambung satu dengan lain, dan akhirnya menjadi sebuah dompet kecil berukuran. Butuh sekitar dua jam untuk membuat dompet dengan ukuran 20 x 15 sentimeter (cm) dari benang rajut menggunakan tangan. Meski terlihat sulit untuk orang awam, tapi Elis sudah terbiasa membuatnya.

Di ruko berukuran 5x7 meter itu, Elis duduk bersila bersama temannya, Erlina, dan Ane. Sedari siang mereka sudah berada di tempat ini saling tukar ilmu anyaman untuk produk baru yang akan dibuat.

"Jadi kalau ada pesanan baru kita kumpul buat bikin produk awal. Nyamain pola rajutan yang paling mudah apa, karena beda produk, beda benang, beda pola juga nantinya," kata Elis saat berbincang dengan IDN Times di kawasan Kampung Wisata Rajut Binong, Minggu (6/10/2024).

Cukup handal dalam membuat rajutan, Elis kerap menjadi panutan perajut lainnya untuk bertanya mengenai pola apa yang harus dibuat untuk dompet yang jadi pesanan baru. Sebab, berbeda benang, beda juga pola bisa digunakan.

"Jadi jenisnya banyak, ada yang katun, poliester, ada disebut benar rajut bali. Nah itu bedanya ada yang kasar, ada yang halus, ada juga yang berbulu gitu dan ada yang enggak. Jadi memang pola rajutannya bisa beda tergantung benangnya padahal sama barangnya jadinya dompet," kata dia.

Elis merupakan salah satu penyandang disabilitas yang tinggal di kawasan Binong Jati, Kota Bandung. Dia bercerita sudah bisa merajut dengan tangan (handmade) sejak lama. Ketika sekolah dulu salah satu pelajaran yang diberikan adalah merajut dan ini yang kemudian masih dilakukan Elis sampai sekarang menjadi sebuah usaha rumahan. Sayangnya, karena minimnya pembeli dan perubahan pembuatan produk rajut dari tangan ke mesin, dia pun sempat hiatus dari dunia rajutan.

Sesekali Elis masih membuat produk rajutan dengan tangan untuk sekedar melepas penat dari kesehariannya. Bertekad menjual hasil rajutannya yang dibuat secara manual, Elis terbentur dengan pemasaran. Tak jarang barang yang sudah dikirim tidak dibayar oleh pembeli atau bahkan rajutannya menumpuk saking tidak adanya peminat.

Nasib Elis perlahan berubah ketika dia masuk dalam komunitas Merajut Asa Kita (Merakit). Dibentuk sejak 2022, komunitas yang diinisiasi anak muda Kampung Binong ini mengajak para perempuan difabel belajar merajut dan membuat produk rajutan dari tangan untuk diperjualbelikan.

Dia menjadi orang pertama di komunitas Merakit kemudian mengajak Nisa, perempuan difabel lainnya di Kampung Binong yang selama ini juga hobi membuat rajutan. Mereka berdua bahu-membahu memproduksi rajutan tradisional seperti dompet, ikat rambut, hingga tas. Barang ini kemudian dipasarkan secara daring (online) melalui berbagai platform termasuk kepada para wisatawan yang mulai berdatangan mengunjungi Kampung Binong.

Ketika awal mula masuk Merakit, Elis sebenarnya coba mengajak banyak teman difabel perempuan di Kampung Binong ikut serta dalam komunitas. Namun, mereka masih enggan karena merasa kegiatan seperti ini sia-sia, sekedar pelatihan, dan setelahnya tidak ada program untuk kesejahteraan secara berkelanjutan.

Pemikiran itu pun berubah setelah mereka melihat Elis dan Nisa yang disibukkan dengan menumpuknya permintaan pembuatan produk rajutan, mereka yang awalnya menatap sebelah mata justru tertarik dan minta bergabung.

"Pas udah banyak yang tahu kita banyak diorder dan barang rajutan laku, yang lain (difabel perempuan) jadi minta ikut masuk komunitas. Sekarang sudah ada 10 perempuan kaya saya di Merakit," ungkap Elis.

Boneka rajut yang dibuat para perempuan disabilitas di Komunitas Merakit. IDN Times/Debbie Sutrisno
Boneka rajut yang dibuat para perempuan disabilitas di Komunitas Merakit. IDN Times/Debbie Sutrisno

Manfaat keberadaan Merakit ini pun dirasakan Erlina. Belum setahun pindah tempat tinggal dari kawasan Cimindi, Kota Cimahi, ke kawasan Kampung Binong, dia sudah bisa ikut serta komunitas tersebut. Mendapat informasi dari sesama penyandang difabel bahwa di Binong ada komunitas Merakit, Erlina langsung tertarik dan hingga sekarang masih aktif merajut.

Sebelum pindah di Binong, Erlina sebenarnya sudah lama tidak merajut. Meski sempat mendapatkan pelatihan, dia selama ini lebih banyak berwirausaha di bidang kuliner. Meski demikian, untuk kembali mendapatkan keahlian merajut tidak butuh waktu lama untuk Erlina. Dibantu oleh Elis dan perempuan lainnya, dia sekarang sudah handal membuat beragam rajutan menggunakan jari-jemarinya.

"Kita di sini dibantu belajar buat pola gitu, belajar tentang benang yang pas yang mana untuk produk tertentu. Jadi senang aja di sini. Kalau pas lagi ga bisa keluar rumah barang benang diantar dan kalau udah jadi rajutannya nanti bisa diambil," ungkap Erlina.

Dengan keikutsertaan di Merakit, perekonomian Erlina pun sedikit terbantu. Dalam sepekan dia bisa membuat puluhan kerajinan rajutan yang harganya cukup tinggi apalagi saat dijual pada sebuah pameran.

"Dapatlah Rp300 ribu seminggu ma. Ya lumayan buat bantu kebutuhan di rumah," kata dia.

Wanita yang juga aktif sebagai atlet tenis meja di ini menyebut bahwa selama ini difabel khususnya perempuan sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan formal. Alhasil lebih banyak dari mereka hanya menjadi ibu rumah tangga dan berwirausaha dari rumah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2021, penduduk usia kerja penyangga disabilitas sejumlah 16,94 juta orang. Proporsi jumlah perempuan disabilitas lebih besar daripada laki-laki yaitu 9,32 juta atau 55 persen. Sementara penyandang disabilitas laki-laki usia kerja berjumlah 7,62 juta atau 45 persen. Dari angka tersebut, penyandang disabilitas yang bekerja hanya 7,04 juta orang, sementara pengangguran terbuka sekitar 362.268 orang.

Di antara yang bekerja, jumlah perempuan penyandang disabilitas lebih sedikit daripada laki-laki. Padahal, jumlah perempuan usia kerja penyandang disabilitas lebih besar dari laki-laki. Menurut data, jumlah perempuan disabilitas yang bekerja hanya 42,7 persen atau 3,1 juta orang, sementara laki-laki sebesar 57,3 persen atau sekitar 4,29 juta orang. Di sisi lain, perempuan penyandang disabilitas pun mendapatkan upah yang masih lebih rendah dibandingkan laki-laki dan non-disabilitas.

Dari kawasan industri jadi tempat wisata

Sejumlah wisatawan dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Mahatma Gandhi, Jakarta, mendatangi Kampung Wisata Rajut Binong, Kamis (24/10/2024).  IDN Times/Debbie Sutrisno
Sejumlah wisatawan dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Mahatma Gandhi, Jakarta, mendatangi Kampung Wisata Rajut Binong, Kamis (24/10/2024). IDN Times/Debbie Sutrisno

Kampung Rajut Binong merupakan salah satu kawasan pemukiman warga Kota Bandung yang sudah ada sejak lama sekitar tahun 1965. Menjadi sentara industri produk rajutan terbesar di Asia, pelaku usaha di kawasan ini sudah turun temurun. Pada 2021 tercatat jumlah pelaku pengusaha di kawasan ini mencapai 500 di mana terdapat 418 usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan jumlah pekerja mencapai 2.143 orang dan produksi hingga 984.426 lusin per tahun.

Ketika pandemik COVID-19 menerjang Indonesia, para industri rajutan yang tumbang. Meski produksi tetap berjalan, tapi jumlahnya anjlok. Bahkan tak sedikit industri yang gulung tikar. Pasca pandemik, tak sedikit pelaku usaha rajutan yang mencoba bangkit agar bisnisnya bisa kembali menggeliat di tengah gempuran produk impor.

Persoalan ini yang coba dipecahkan sejumlah anak muda yang ada di kampung ini. Lalu munculkan ide untuk mengembangkan kawasan Binong Jati yang selama ini dikenal sebagai industri rajutan, agar bisa dikemas menjadi kampung wisata rajut.

"Jadi idenya memang sudah ada dari lama, tapi karena pandemik terus juga cari pemodalnya ini kan belum ada. Barulah kita ketemu perwakilan Pertamina, dan waktu itu dikumpulkan di balai pertemuan sama Lurah buat pemaparan," kata Eka Rahmat Jaya, salah satu pencetus Merakit.

Dia dan beberapa orang di kawasan Binong mencari potensi apa saja yang bisa dikembangkan di luar industri rajut. Mulai dari makanan, kesenian dan budaya, tempat penginapan, hingga pelatihan merajut akhirnya menjadi pilihan untuk dioptimalkan.

Gayung bersambut, ide-ide tersebut kemudian diterima oleh Pertamina yang tengah menggencarkan program tanggung jawab dan sosial (TJSL). Perusahaan pelat merah ini pun bersedia memberikan bantuan dan berbagai pelatihan untuk mewujudkan ide tersebut dan menjadikan kawasan ini sebagai Kampung Wisata Rajut Binong

Untuk kegiatan pertama yang diselenggarakan Merakit berkaitan dengan mental health (kesehatan mental). Musababnya, ketika itu banyak pelaku usaha yang drop karena pandemik COVID-19. Setelah program ini berjalan baik, barulah Merakit mencari masyarakat yang kurang terberdayakan secara ekonomi untuk dilatih dan bisa menghasilkan produk khas Kampung Wisata Rajut Binong. Dari sinilah Elis, Nisa, Erlina, dan sejumlah perempuan lainnya diberdayakan membuat rajutan tangan.

Perlahan tapi pasti, komunitas Merakit di Kampung Wisata Rajut Binong pun mulai dikenal berbagai tour and travel hingga komunitas wisatawan lainnya yang datang untuk merasakan sensasi wisata di kawasan ini. Eka pun kemudian memutar otak mencari program lain yang bisa meningkatkan nilai jual Kampung Wisata Rajut Binong.

"Sekarang kita ada enam program mulai dari shopping village, Merasa (belajar merajut), Sekolah Rajut, Live In (menyaksikan kesenian dan budaya), Merakit I, dan Merakit II. Jadi tiap paket ini bisa dipakai kalau ada rombongan yang mau datang ke Binong," papar Eka.

Dalam semua kegiatan di Kampung Wisata Rajut Binong, Eka mengajak masyarakat sekitar, mulai dari mengurusi keamanan, kebersihan, tempat tinggal (home stay), pemandu wisata, hingga tim pengajar merajut. Semakin banyak wisatawan atau komunitas datang ke kawasan ini, makin banyak pula manfaat yang dirasakan masyarakat Binong.

Pertumbuhan jumlah wisatawan yang datang ke Kampung Wisata Rajut Binong. IDN Times/Debbie Sutrisno
Pertumbuhan jumlah wisatawan yang datang ke Kampung Wisata Rajut Binong. IDN Times/Debbie Sutrisno

Dari jumlah tersebut, mulai 2024 banyak wisatawan yang menginap di rumah warga. Hingga Agustus, tercatat ada 188 orang yang memanfaatkan penginapan. Sebagian dari mereka adalah yang memang memesan paket di Merakit, tapi ada juga yang sekedar menginap untuk kemudian bepergian ke tempat wisata lain di Kota Bandung dan sekitarnya.

"Biasanya (wisatawan) turunnya di Stasiun Kiaracondong yang paling dekat. Terus menginap di sini, sewa motor, makan juga dari penginapan sini. Lumayan kan," kata Eka.

Kehadiran wisatawan baik perorangan maupun rombongan jelas berdampak pada perekonomian masyarakat. Dalam hitungan kasar Eka, setiap bulannya ada perputaran uang minimal Rp200 juta.

Wisatawan sangat antusias

Mentor dari Komunitas Merakit, Erlina (tengah), sedang mengajarkan siswa dari SMP Mahatma Gandhi, Jakarta, membuat gelang dari benang rajut. IDN Times/Debbie Sutrisno
Mentor dari Komunitas Merakit, Erlina (tengah), sedang mengajarkan siswa dari SMP Mahatma Gandhi, Jakarta, membuat gelang dari benang rajut. IDN Times/Debbie Sutrisno

Kehadiran rombongan wisatawan di Kampung Wisata Rajut Binong sekarang sudah semakin sering, minimal satu kali dalam sebulan. Mayoritas sekarang berdatangan dari luar Bandung Raya, seperti pada Kamis (24/10/2024), di mana ada 77 siswa sekolah menengah pertama (SMP) Mahatma Gandhi, Jakarta, yang menyambangi kawasan Binong untuk melihat secara langsung industri rajut dan belajar merajut menggunakan tangan.

Tiba sekitar pukul 10.00 WIB, dua bus berhenti di Jalan Kiaracondong, depan gerbang Kampung Wisata Merakit. Menggunakan baju biru muda, rombongan ini langsung disambut dan diantar ke ruang aula yang jaraknya sekitar 50 meter dari jalan raya.

Di ruangan ini, mereka berkenalan dengan perwakilan komunitas Merakit. 77 siswa dan beberapa guru pendamping pun langsung dibagi menjadi lima 7 grup untuk belajar membuat gelang tangan dari benang rajut. Setiap grup mendapat satu mentor untuk mengajarkan.

Para siswa tampak antusias mengikuti setiap gerakan para mentor yang memperlihatkan cara membuat pola rajutan agar untaian benang bisa menjadi sebuah gelang.

"Susah ini benangnya lepas terus," ujar seorang siswa.

"Ga masuk-masuk ke lubang ini benarnya," kata siswa lainnya yang tampak kewalahan.

Diberi waktu sekitar 20 menit, mereka berburu dengan waktu untuk membuat gelang. Tangan sigap para mentor pun terus mengajarkan setiap siswa agar bisa membuat pola rajutan dengan benar.

Ketika ada siswa yang berhasil membuat rajutan sampai menjadi gelang, tepuk tangan diberikan oleh teman lainnya dalam grup tersebut. Meski tidak banyak siswa berhasil membuatnya dalam waktu yang ditentukan, tapi mereka senang karena bisa mencoba membuat rajutan.

Hal itu pula yang dirasakan salah satu guru dari Mahatma Gandi, Ari. Dia menilai kawasan ini bukan hanya menjadi tempat wisata semata, tapi ada edukasi diberikan pada para siswa. Mereka bisa mendapatkan pencerahan baru seperti apa memproduksi rajut baik itu dengan mesin maupun menggunakan tangan.

Menurutnya, selama ini ada kegiatan tambahan di luar jam sekolah termasuk kerajinan membuat rajutan. Namun, banyak siswa lebih memilih memasak ketimbang merajut.

Dengan datang ke Kampung Wisata Rajut Binong, Ari berharap semakin banyak siswa yang ikut serta juga dalam kegiatan sekolah di kesenian termasuk merajut sehingga tak melulu bertumbuh di kegiatan memasak.

"Bagus ada kegiatan ini. Yang mereka tahu dengan membuat rajutan ini tuh 'harus sabar', kalau kata mereka," ungkap Ari.

Seorang wisatawan sedang membeli pernak-pernik yang dijual warga di kawasan Kampung Wisata Rajut Binong. IDN Times/Debbie Sutrisno
Seorang wisatawan sedang membeli pernak-pernik yang dijual warga di kawasan Kampung Wisata Rajut Binong. IDN Times/Debbie Sutrisno

Kehadiran para wisatawan ke Binong Jati menjadi berkah tersendiri untuk sejumlah UMKM yang ada di sana. Salah satunya adalah Dani yang berjualan pernah pernik rajutan.

Pemilik toko yang dekat dengan aula Merakit ini sering kedatangan para wisatawan yang ingin membeli berbagai pernak pernik rajutan. Mulai dari gantungan kunci, boneka kecil, gelang, hingga sweater dijual di tokonya.

"Tadi lumayan ada yang beli tujuh produk dari toko. Ga banyak sih tapi lumayan bantu penjualan kan. Biasa sih kita jualan online, tapi kalau ada tamu wisatawan gini suka buka toko di rumah buat mereka belanja," kata Dani.

Dia berharap kedatangan wisatawan ke Kampung Wisata Rajut Binong bisa lebih sering karena jelas dampaknya sangat terasa bukan hanya untuk mereka yang aktif di Komunitas Merakit, tapi juga pelaku UMKM seperti dirinya yang ikut serta berjualan di sekitar kawasan.

Tak lagi dianggap sebelah mata

IDN Times/Debbie Sutrisno
IDN Times/Debbie Sutrisno

Perubahan kawasan Binong Jati yang disebut sebagai kawasan industri rajut menjadi kawasan wisata kreatif rajut memberi dampak positif bukan hanya dari segi perekonomian, tapi juga aspek sosial. Kepala Seksi Kesejahteraan Sosial Kelurahan Binong, Denny Prasetya mengatakan, selama ini Binong bukan hanya disebut sebagai sentra industri rajut, tapi juga kerap diidentikkan kawasan kurang tertata dan tidak terencana. Namun, setelah adanya program kampung wisata, para pemuda dari Pokdarwis (kelompok sadar wisata) kawasan ini tidak lagi dianggap sebelah mata dari segi sosial.

Dengan adanya kampung wisata dapat menunjukkan bahwa sebuah kampung kota apabila direncanakan, diolah, dibina, dan dikembangkan secara matang dari segi politik, sosial, ekonomi, dan budaya, mampu mendukung proses pembangunan di Kota Bandung. Gagasan kampung Wisata Binong ini bukan hanya untuk memperbaiki lingkungan kampung, lebih dari itu program ini berkembang menjadi perbaikan sosial dan perbaikan ekonomi masyarakat.

Dia mencontohkan, dulu di kawasan ini banyak anak muda yang sering tauran padahal rumah mereka tidak berjauhan. Persoalan ini perlahan memudar dengan berbagai program kampung wisata yang membuat anak muda harus bahu-membahu menghadirkan kawasan yang nyaman bagi wisatawan.

"Jadi kalau dilihat kawasan ini termasuk kawasan padat penduduk lah ya. Justru dengan diangkatnya kampung sentra rajut jadi ada wisatanya termasuk kuliner ini memang sangat berpengaruh dari data beli atau ekonomi masyarakat pasti naik. Di kelurahan juga kerasa tingkat kejahatan pasti menurun, pendidikan meningkat, bisa mengurangi dampak sosial budaya," ujar Denny ditemui IDN Times di kantornya.

Dari dulu yang kurang akur, warga di banyak RT kini kian guyub dengan kawasan wisata. Ini karena wisatawan tak mungkin bisa nyaman ketika warga di kawasan Binong tidak menyambutnya dengan senyum.

Hal yang sekarang harus dipecahkan bersama adalah meningkatkan jumlah wisatawan ke kawasan ini dengan memperbaiki infrastruktur penunjang seperti lahan parkir, hingga jalanan yang nyaman di gang-gang Kampung Wisata Rajut Binong.

Pengamat pariwisata dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Galih Kusumah menilai bahwa kampung wisata yang ada di perkotaan seperti di kawasan rajut Binong memiliki keunggulan sebagai daya tarik wisata kreatif. Meski demikian, keberadaan kampung yang sudah beberapa tahun diresmikan ini tidak sedikit kekurangannya, salah satunya adalah kurang terintegrasi dengan destinasi wisata lainnya yang ada di kota ini.

Dampak positif yang besar pada warga sekitar ketika kampung di perkotaan menjadi tujuan wisata harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah (pemda). Pemerintah harus turut serta mendampingi dalam pengembangan mulai dari pengelolaan areal destinasi, keberadaan tempat menginap (homestay), hingga paket wisata dengan kawasan lain.

"Dampak positif terbesar dari sisi ekonomi terutama dapat dirasakan oleh masyarakat yang terlibat langsung dalam aktivitas rajut. Mereka dapat merasakan dampak langsung dan tidak langsung dari aktivitas kunjungan wisata ke kampung rajut. Dampak tidak langsung seperti aktivitas ekonomi lain sebagai akibat dari kunjungan wisatawan seperti meningkatnya penjualan produk makan dan minum," ujar Galih.

Dari aspek sosial, keberadaan pengunjung yang datang ke kawasan ini akan berinteraksi langsung dengan masyarakat sekitar baik itu yang ikut serta dalam komunitas maupun yang tidak. Ketika interaksi ini makin intens, maka hal baik sudah pasti tumbuh karena masyarakat di kampung wisata akan berupaya memberikan servis terbaik bagi wisatawan.

Ilustrasi. Salah satu mentor dari Komunitas Merakit, Nazmi (kiri) sedang memberikan pelatihan merajut. IDN Times/Debbie Sutrisno
Ilustrasi. Salah satu mentor dari Komunitas Merakit, Nazmi (kiri) sedang memberikan pelatihan merajut. IDN Times/Debbie Sutrisno

Sementara itu, Area Manager Communication, Relations & CSR Regional Jawa Bagian Barat Eko Kristiawan mengatakan, kawasan ini memang memiliki potensi untuk menjadi kawasan wisata dengan keunikannya sebagai kawasan industri rajut hanya saja dulu para UMKM ini belum terorganisir. Setelah mendapat pendampingan selama tiga tahun dari 2022 Komunitas Merakit sebagai kelompok saat ini sudah mampu untuk menjadi payung program dari semua potensi yang ada di kelurahan binong baik dari potensi rajutan, konveksi, makanan, kesenian waditra sunda, pencak silat, jaipong, hingga kampung wisata rajut beserta penginapannya.

Melalui Merakit kerja sama masyarakat pun kian apik karena dampak ekonomi dan sosialnya pun sangat terasa oleh mereka. Eko berharap ke depannya dari pengembangan program ini adalah terbentuknya yayasan kampung wisata rajut Merajut Asa Kita sebagai upaya legalitas dan kejelasan kerja sama dengan mitra lainnya baik dari sektor industri rajut maupun wisatanya.

"Semoga program terus berjalan dengan baik, kampung wisata rajut yang tertata dan terorganisir dengan baik sehingga perekonomian akan terus berjalan dengan baik dalam jangka panjang," kata Eko.  

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yogi Pasha
Debbie Sutrisno
Yogi Pasha
EditorYogi Pasha
Follow Us