Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Fortusis Jabar Kritik Jam Masuk Sekolah 06.30 WIB: Ganggu Zona Nyaman

ilustrasi jadwal SPMB SMA (unsplash.com/Ed Us)
ilustrasi jadwal SPMB SMA (unsplash.com/Ed Us)
Intinya sih...
  • Fortusis Jabar kritik jam masuk sekolah 06.30 WIB yang ganggu zona nyaman
  • Kebijakan dianggap mengganggu ritme kehidupan keluarga dan dibuat tanpa kajian akademik jelas
  • Fortusis menampung keluhan orang tua siswa, mempertanyakan dasar pengambilan keputusan, dan mendesak evaluasi ulang kebijakan

Bandung, IDN Times - Forum Orang Tua Siswa (Fortusis) Jawa Barat merasa keberatannya terhadap kebijakan jam masuk sekolah pukul 06.30 WIB yang akan diberlakukan mulai 14 Juli 2025. Mereka juga turut mengkritik kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat itu.

Fortusis Jabar menilai kebijakan ini tidak hanya mengganggu ritme kehidupan keluarga, tetapi juga dibuat tanpa kajian akademik yang jelas. Ketua Fortusis Jawa Barat, Dwi Subianto menjelaskan, banyak orang tua merasa kaget dan resah atas kebijakan baru tersebut.

Perubahan jadwal ini, dirasakannya berpotensi memicu konflik dalam rumah tangga karena mengganggu pola aktivitas pagi yang telah terbentuk selama bertahun-tahun.

"Zona nyaman orang tua terganggu kembali. Misalnya orang tua sudah berkomitmen bersama berangkat bareng, nganter ibu, nganter anak, si bapak berangkat kerja. Dengan berubahnya ini mau gak mau ayahnya berantem sama istrinya karena harus masak lebih pagi. Kan terganggu jadi zona nyaman yang sudah bertahun-tahun. Keluhannya soal itu," ujar Dwi, Rabu (9/7/2025).

1. Mengganggu zona nyaman orang tua

IMG-20250708-WA0008.jpg
Kepala Disdik Jabar, Purwanto (IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Fortusis pun turut menampung bener keluhan lainnya dari para orang tua siswa-siswi, dan yang paling banyak disampaikan yaitu merasa waktu pagi mereka semakin sempit. Para orang tua menginginkan agar waktu masuk sekolah dikembalikan seperti semula.

"Dari pagi tadi ibu-ibu banyak yang ngeluh, gimana gak bisa disiangin lagi masuknya. Harusnya ada evaluasi," ungkapnya.

Selain menyoroti dampak sosial dalam keluarga, Fortusis juga mempertanyakan dasar pengambilan keputusan kebijakan tersebut. Dwi menyebut Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi telah bertindak melampaui kewenangannya karena mengatur hal-hal yang bukan menjadi domain pemerintah provinsi.

"Yang jadi kewenangan provinsi kan SMA. Tapi Pak Gubernur offside, kewenangan bupati diambil, SD SMP itu kan kewenangan bupati dan wali kota," tegasnya.

2. Minta ada hasil kajian

ilustrasi  jadwal SPMB SD 2025 (unsplash.com/Syahrul Alamsyah Wahid)
ilustrasi jadwal SPMB SD 2025 (unsplash.com/Syahrul Alamsyah Wahid)

Dwi menilai keputusan gubernur ini lebih berdasarkan intuisi dan preferensi pribadi ketimbang hasil kajian ilmiah. Fortusis pun mendesak agar kebijakan ini dievaluasi ulang dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk orang tua, guru, dan pakar pendidikan.

"Pak gubernur hanya intuisi ya, politisi boleh begitu tapi harus ada tim yang profesional, hasil kajian, temuan. Ini yang selalu argumentasinya tidak akademik, hanya suka dan tidak suka," katanya.

3. Diterapkan mulai pekan depan

IMG-20250708-WA0008.jpg
Kepala Disdik Jabar, Purwanto (IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Diketahui, Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Jawa Barat memastikan aturan penerapan waktu belajar dimulai pukul 06:30 WIB dari jenjang Paud-SMA dan sederajat di Jawa Barat mulai berlaku pada tahun ajaran baru atau Senin (14/7/2025).

Seluruh sekolah pun akan diwajibkan hanya belajar selama lima hari, tanpa kegiatan lain di sekolah pada Sabtu dan Minggu. Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor: 58/PK.03/DISDIK tentang jam efektif pada satuan pendidikan di seluruh jenjang, mulai dari Paud-SMA sederajat.

"Pak Gubernur sudah ngirim ke bupati wali kota, kami juga sudah menyampaikan ke SD, SMP, SMA. Dan itu bersifat opsional, fakultatif, tergantung nanti wilayah masing-masing untuk SMA/SMK," ujar Kadisdik Jabar, Purwanto saat dikonfirmasi, Senin (8/7/2025).

Surat itu pun harus dikirimkan ke Kantor Cabang Dinas Pendidikan di wilayah masing-masing. Setelah itu tetap ada proses verifikasi untuk memastikan alasan tersebut sesuai kenyataan di lapangan.

"Asal ada alasannya apa. Terus dan itu kalau misalnya kendala teritorial. Nanti diverifikasi apakah benar kendala teritorial atau kendala kultural," ucap Purwanto.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yogi Pasha
EditorYogi Pasha
Follow Us