Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi: AstraZeneca dan vaksin (koreatimes.co.kr)
ilustrasi: AstraZeneca dan vaksin (koreatimes.co.kr)

Intinya sih...

  • Pemeriksaan genetik penting untuk terapi kanker paru

  • Imunoterapi dini meningkatkan kelangsungan hidup pasien kanker gastrointestinal

  • ADC menjadi terapi menjanjikan untuk kanker payudara, terutama jika digunakan lebih awal

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandung, IDN Times - Perawatan kanker di Asia memasuki babak baru. Dalam ajang ESMO Asia 2025, AstraZeneca memaparkan hasil studi klinis terbaru yang menegaskan pergeseran pendekatan pengobatan kanker menuju deteksi lebih dini, terapi yang semakin personal, dan efektivitas jangka panjang.

Langkah ini dinilai krusial mengingat Asia menanggung hampir separuh kasus kanker global dan sekitar 60 persen kematian akibat penyakit tersebut. Dengan karakteristik pasien yang lebih kompleks dan usia diagnosis yang cenderung lebih muda dibandingkan negara Barat, inovasi medis di kawasan ini menjadi kebutuhan mendesak.

Sylvia Varela, Area Vice President Asia AstraZeneca, menegaskan komitmen perusahaan dalam meningkatkan kualitas perawatan kanker di kawasan.

“Kami berkomitmen memperkuat upaya peningkatan perawatan kanker di Asia melalui inovasi dalam deteksi dini, diagnostik presisi, dan pengobatan berbasis pedoman klinis. Kami terus berkolaborasi dengan para mitra untuk menghadirkan hasil perawatan yang lebih baik bagi pasien di seluruh kawasan,” ujarnya.

AstraZeneca menyoroti tiga fokus utama yang dinilai berpotensi mentransformasi tata laksana kanker paru, gastrointestinal, dan payudara. Tiga jenis kanker ini menjadi prevalensi tertinggi di Asia.

1. Pemeriksaan presisi jadi kunci terapi kanker paru

ilustrasi rontgen penderita kanker paru-paru (commons.wikimedia.org/Δρ. Χαράλαμπος Γκούβας)

Kanker paru masih menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di Asia, terutama pada pasien NSCLC dengan mutasi EGFR yang prevalensinya lebih tinggi dibandingkan populasi Barat. Data klinis terbaru menunjukkan bahwa pemeriksaan genetik sejak awal diagnosis berperan penting dalam menentukan terapi yang tepat.

Studi yang dipresentasikan menunjukkan bahwa penggunaan EGFR-TKI memberikan manfaat klinis di berbagai tahap penyakit, mulai dari terapi praoperasi, pasien stadium lanjut yang tidak dapat dioperasi, hingga kasus progresi akibat mutasi MET. Pendekatan ini terbukti meningkatkan respons terapi tanpa mengorbankan kualitas hidup pasien.

2. Imunoterapi lebih dini tingkatkan harapan hidup kanker gastrointestinal

Pasien yang sakit karena kanker (www. shutterstock.com)

Lebih dari setengah kasus kanker gastrointestinal global ditemukan di Asia. AstraZeneca menyoroti bahwa pemberian imunoterapi sejak tahap awal, dikombinasikan dengan kemoterapi, mampu meningkatkan kelangsungan hidup pasien kanker lambung, gastroesophageal junction, dan kanker hati.

Hasil studi menunjukkan manfaat yang konsisten, termasuk pada pasien Asia dengan kondisi penyakit yang lebih kompleks. Pada kanker hati stadium lanjut, regimen kombinasi imunoterapi bahkan menunjukkan manfaat jangka panjang hingga lima tahun, khususnya di negara dengan prevalensi hepatitis B yang tinggi.

3. ADC dorong terobosan baru penanganan kanker payudara

ilustrasi sel kanker (istockphoto.com/luismmolina)

Kanker payudara masih menjadi kanker paling banyak didiagnosis pada perempuan, dengan usia pasien di Asia cenderung lebih muda. Data terbaru memperkuat peran Antibody Drug Conjugates (ADC) sebagai opsi terapi yang menjanjikan, terutama jika digunakan lebih awal.

Pada kanker payudara metastatik, baik triple negative maupun HER2 positif, ADC terbukti mampu memperlambat progresi penyakit dengan profil keamanan yang dapat ditoleransi. Bahkan pada kanker payudara stadium awal berisiko tinggi, penggunaan ADC praoperatif meningkatkan peluang pasien mencapai respons patologis optimal sebelum operasi.

Presiden Direktur AstraZeneca Indonesia, Esra Eskomay menegaskan bahwa kolaborasi lintas sektor menjadi kunci agar bukti klinis ini dapat diterjemahkan menjadi akses terapi yang lebih merata bagi pasien di Indonesia dan kawasan Asia.

“Di Indonesia dan kawasan sekitarnya, kami bekerja sama dengan para tenaga kesehatan, pembuat kebijakan, dan komunitas pasien untuk menerjemahkan bukti klinis menjadi akses yang lebih merata, sehingga lebih banyak pasien dapat menerima terapi yang tepat pada waktu yang tepat,” kata Esra.

Editorial Team