Pesan senada juga disampaikan seniman Wawan Husin saat didaulat ke atas panggung. Salah satu alumni generasi 80-an ini melukis dengan mamanfaatkan baju yang dikenakannya sebagai kanvas. Kang Wawan, sapaan Wawan Husin, kemudian mengajak peserta untuk berdoa bersama untuk kedamaian negeri.
Penyair Gusjur Mahesa tentu saja mengekspresikan gagasan dan aspirasinya tentang demokrasi dan kebangsaan melalui sejumlah puisi. Menurut dosen salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Cimahi ini, perbedaan merupakan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena itu, harus dirawat dengan baik untuk kemudian diwariskan kepada anak dan cucu kita di kemudian hari.
“Jika Tuhan menghendaki, maka jadilah. Jika menurut Tuhan kun, maka fayakun. Kun fayakun,” tandas salah satu murid sastrawa WS Rendra ini.
Tak mau kalah dari Iman Soleh, Gusjur juga turut membawakan puisi dengan iringan musik blues. Gusjur membawakan puisi “Mending Gelo daripada Korupsi” dengan penuh energi dan sebagian di antaranya terkesan kocak karena turut diiringi dengan aksi teatrikal hingga keluar panggung.
Penulis Sunda kenamaan Budi Rahayu Tamsyah yang secara khusus datang dari Wanayasa, Purwakarta, menyampaikan nilai-nilai kepemimpinan yang mengakar dalam masyarakat Sunda. Bercerita dengan bahasa Sunda khas pilemburan, penulis buku Kamus Sunda-Indonesia dan Kamus Undak-usuk Basa Sunda ini menceritakan perilaku masyarakat perdesaan yang menurutnya cenderung percaya pada bukti seorang pemimpin. Karena itu, Budi mengajak masyarakat untuk cermat dalam memilih calon pemimpin.
“Prinsip urang lembur dina milih pamingpin, ‘Jalma euweuh nu sampurna, kajeun teuing bodo saeutik asal jujur, tibatan pinter saeutik bari teu jujur.’ Lian ti eta, urang Sunda oge teunggeul deukeut jeung guru bukti. Percaya ka nu kadenge, katempo, jeung karasa bari aya buktina. Lain ngan saukur catur tanpa bukur, arek kitu arek kieu, kakara arek, can karuhan bisa ngawujudkeunana, disebutna guru catur,” tandas Budi.