Dosen SBM ITB: #KaburAjaDulu Cerminan Kondisi yang Terus Memburuk

Bandung, IDN Times - Tagar #KaburAjaDulu viral di media sosial dalam beberapa waktu ke belakang. Ini menjadi bentuk frustrasi anak muda terhadap kondisi ekonomi, sulitnya lapangan kerja, mahalnya pendidikan, serta rendahnya gaji. Kodisi tersebut membuat banyak orang yang melihat bekerja di luar negeri sebagai alternatif untuk kehidupan yang lebih baik.
Dr. Muhammad Yorga Permana, Ketua Dewan Pembina Indonesia Juara Foundation sekaligus Dosen Peneliti Tenaga Kerja di Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB), menyoroti bahwa isu ini bukan sekadar tren sesaat, tetapi cerminan dari kondisi ekonomi dan sosial yang terus memburuk bagi generasi muda.
Yorga mengidentifikasi tiga faktor utama yang mendorong anak muda mencari peluang di luar negeri. Pertama, kebijakan pemerintah dinilai tidak cukup menciptakan lapangan kerja. Kemarahan anak muda telah terakumulasi sejak era COVID-19, terutama karena kebijakan yang dirasa tidak pernah berpihak kepada mereka.
Kedua, meningkatnya kesempatan kerja di luar negeri. Fenomena ini bukan hal baru, tetapi kini menjadi gunung es yang meledak akibat kombinasi angka pengangguran yang tinggi dan akses informasi yang lebih terbuka tentang peluang kerja serta beasiswa luar negeri.
Ketiga, kesiapan anak muda dalam menghadapi dunia kerja menjadi faktor krusial. Persiapan yang matang diperlukan agar mereka lebih siap dan tangguh dalam menghadapi tantangan di dunia kerja.
"Artinya rasa frustasi akibat persiapan yang belum cukup di masa transisi sekolah ke dunia kerja turut menjadi pendorong kemarahan mereka terhadap ketidakpastian iklim dunia kerja," kata Yorga melalui siaran pers diterima IDN Times, Senin (17/2/2025).
1. Minim anak muda bekerja secara formal
Saat ini, lanjutnya, kondisi pasar kerja Indonesia menghadapi tantangan serius, di mana pekerjaan laik di Indonesia sangat terbatas. Kemudian, angka pengangguran resmi mencapai 7,2 juta orang, tetapi ada yang disebut hidden unemployment yang jumlahnya diperkirakan mencapai 12–15 juta orang.
Selain itu, hanya 40% dari pekerjaan yang masuk kategori sektor formal, sementara 60% lainnya merupakan pekerjaan informal.
"Jika bicara sektor formal, sebenarnya hanya 24% dari mereka yang benar-benar memiliki kontrak kerja formal,” papar Yorga.
Situasi ini semakin diperburuk dengan gelombang PHK. Data resmi pemerintah menunjukkan bahwa lebih dari 80.000 orang telah kehilangan pekerjaan di tahun 2024, dan kemungkinan jumlahnya lebih besar.