Tak Lirik Caleg Artis, Apakah PKS Ubah Strategi Politik di Pileg 2019?

Di Jawa Barat, PKS seakan berada di pucuk elektabilitasnya ketika mereka dalam dua periode berturut-turut berhasil mengantarkan Aher, sapaan akrab Ahmad, sebagai Gubernur Jabar. Namun, PKS tak sendirian, karena mereka sedikit banyak dibantu popularitas wakil-wakil gubernur pilihannya.
 
Di periode pertama sebagai Gubernur, yakni pada 2008-2013, Aher melenggang ke Gedung Sate bersama artis era 1980-1990-an yang tenar karena film Catatan Si Boy, Dede Yusuf. Selanjutnya di periode kedua, yakni pada 2013-2018, Aher yang berpasangan dengan Deddy Mizwar kembali memenangi Pilgub. Deddy merupakan aktor senior yang sudah meniti karier sejak 1974.

Tidak salah, memang, PKS tanpa menggunakan popularitas artis di Kota Bandung. Pasalnya, menurut catatan, artis tak melulu menang di Kota Bandung. Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKS Jawa Barat, Abdul Hadi Wijaya, memberi contoh kekalahan aktris senior Nurul Arifin dari Oded M. Danial di Pemilihan Umum Wali Kota Bandung 2018.
 
“Padahal Oded ini bukan artis. Dia penceramah,” ujar Abdul, kepada IDN Times, Sabtu (2/2).
 
Tidak hanya di dunia eksekutif, di panggung legislatif pun artis tidak melulu bisa menarik minat pemilik suara di Bandung dan Cimahi untuk mencoblosnya. Berkaca pada Pileg 2014, dari tujuh artis yang menjadi caleg dapil 1 Jabar, hanya dua orang yang berhasil mengumpulkan suara terbanyak.
 
Mereka adalah Junico Siahaan dan Arief Suditomo, wartawan sekaligus pembawa acara berita, yang menjadi caleg Hanura. Padahal, kala itu mereka bersaing dengan Ricky Soebagdja (Nasdem), Dedi Irama (PKB), Shandy Nayoan (PKB), Gisel Anastasia “Idol” (PAN), dan Henidar Amro (PAN).

Abdul mengakui bahwa ketokohan merupakan poin penting bagi seseorang untuk maju sebagai calon legislatif. Namun, PKS kesulitan mencari tokoh yang memang dapat dijadikan teladan.
 
“Untuk seseorang caleg, salah satu yang penting ialah pribadinya, bukan selalu ketenarannya,” tutur Abdul.
 
Apalagi saat ini, di dari 102 caleg Dapil Jabar I, terdapat sepuluh artis yang akan bertarung memperebutkan tujuh kursi. Mereka adalah Junico Siahaan (PDIP), Kirana Larasati (PDIP), Tetty Kadi (Golkar), Nurul Arifin (Golkar), Ricky Soebagdja (Demokrat), Farhan (Nasdem), Citra Skolastika (Nasdem), Choky Sitohan (Perindo), Giring Ganesha (PSI), dan Virnie Ismail (PAN).
 
Dari sepuluh artis tersebut, hanya Junico alias Nico Siahaan yang merupakan anggota legislatif periode 2014-2019. Sisanya merupakan eks legislatif dan orang baru dalam panggung politik.
 
“Apalagi melihat ada sepuluh artis di Dapil Jabar I, masyarakat tentu akan jenuh. Masa ada tujuh kursi, tapi artisnya ada sepuluh? PKS di sini jadi pembeda,” ujar dia.

Abdul pun tidak khawatir caleg-caleg PKS akan kalah dalam Pileg 2019. Menurut dia, pemilih di Bandung banyak yang melihat partai dari caleg daripada caleg itu sendiri.
 
Artinya, brand image alias persepsi seseorang terhadap nama baik partai menjadi fokus utama PKS saat ini. “Millennial juga akan berpikir caleg ini dari kumpulan partai apa? Brand partai itu punya pengaruh besar. Jadi, tidak semua orang Bandung cocok dengan artis,” katanya.

Sementara itu, kepada IDN Times, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP Jawa Barat, Abdy Yuhana, mengakui bahwa partainya cukup fokus mengeruk suara millennial di Jawa Barat.  Ia mengatakan millennials Jabar menyukai PDIP karena berbagai pendekatan yang telah dilakukan partai berlogo banteng itu.
 
“Kami punya banyak program partai yang berkaitan dengan millennial. Misalnya, kami adakan beberapa kali pelatihan public speaking, dan try out untuk masuk perguruan tinggi. Dengan cara demikian, penduduk millennial dapat memahami dan mendukung visi misi PDIP,” ujar Abdy.
 
Selain itu, kata dia, dipilihnya sejumlah pesohor untuk menjadi calon legislatif di PDIP merupakan cara lain untuk menggaet suara millennial. “Artis adalah orang-orang dengan komunikasi yang baik, mangkanya mereka bisa mendekati millennial,” katanya.
 
“Tapi, caleg PDIP bukan sembarang artis, karena mereka lebih dulu diberi digodok agar dapat menjadi kader yang baik,” kata Abdy. Pada para kadernya, salah satu poin yang digodok PDIP ialah cara mereka mengelola konflik, dan pemahaman ideologi Pancasila.

Dalam panggung politik, bermodal tenar tidak menjadi amunisi utama dalam berhasilnya seorang caleg duduk di kursi wakil rakyat. Hal tersebut dapat disimpulkan lewat Indonesian Millenials Report 2019 bikinan Research Institute dan Alvara Research Center.
 
Dalam laporan tersebut, millennial menempatkan kejujuran sebagai faktor utama mengapa mereka memilih seorang caleg. Empat faktor teratas lainnya adalah merakyat, bebas korupsi, mampu melakukan perubahan, dan memiliki kemampuan yang baik. Tidak ada faktor tenar atau populer yang mejeng di lima faktor teratas millennial memilih seorang caleg.