Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20250612-WA0100.jpg
Siswa sekolah di Dolok Sanggul saat menikmati MBG perdana di Humbang Hasundutan, Rabu (11/6/2025) (dok.istimewa)

Intinya sih...

  • Kantin sekolah terpinggirkan setelah adanya MBG

  • Berharap pemerintah mulai melibatkan kantin sekolah

  • Manajemen dapur yang kokoh tak menjamin kelancaran program MBG

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandung, IDN Times - Aroma gorengan yang dulu memenuhi udara di halaman SMAN 10 Makassar kini mulai memudar. Sejak program Makan Bergizi Gratis (MBG) berjalan, kantin sekolah di sana dilaporkan kehilangan pelanggan. Fatma, pengelola kantin sekolah, mengaku omzetnya turun drastis setelah program ambisius Presiden Prabowo itu digulirkan.

“Biasanya siswa antre beli nasi goreng, mie kering, atau jajanan lain. Sekarang, yang datang cuma 20 orang per hari,” ungkapnya sambil menatap meja yang dulu penuh pesanan. 

Dalam wawancara dengan IDN Times Sulsel, Fatma bahkan menyebut bahwa lima kantin lainnya tutup akibat dampak MBG. “Kantin sehat ini sudah tutup sejak Senin, setelah siswa lebih banyak mengandalkan paket MBG,” ujarnya, penuh keprihatinan.

Meski begitu, di lain sisi, pemerintah pusat dan daerah melihat MBG sebagai inisiatif besar: bukan hanya untuk memberi makan anak sekolah secara gratis, tetapi juga sebagai instrumen gizi nasional untuk menekan stunting dan menstimulus ekonomi kerakyatan. 

Namun di sisi lain, tidak sedikit pelaku UMKM yang justru khawatir bahwa program gizi ini secara tidak langsung melemahkan ekonomi lokal kantin sekolah dan warung mikro. Dan, tidak sampai di sana, setelah lebih dari sepuluh bulan program MBG digulirkan, tak tampak hasil pasti bahwa program tersebut telah menurunkan angka stunting.

Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 menunjukkan angka stunting nasional turun dari 21,5 persen (2023) menjadi 19,8 persen (2024). Tapi angka itu tidak menjelaskan seberapa besar kontribusi MBG terhadap penurunan stunting.

Artikel kolaborasi hyperlocal IDN Times ini mengeksplorasi berbagai hal terkait MBG, tentang bagaimana pedagang juga kantin sekolah yang terpinggirkan; interaksi antara ekonomi dan gizi; serta bagaimana MBG bisa diperbaiki agar kontribusinya terhadap penurunan stunting maksimal.

1. Kantin sekolah yang terpinggrikan setelah adanya MBG

Sejumlah siswa di SMP Negeri 5 Ngawi memilih jajan di kantin daripada harus menahan lapar lebih lama. IDN Times/ Riyanto.

Di Jawa Tengah, Sumarno, Sekda Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, menyarankan agar kantin sekolah dilibatkan dalam program MBG. “Kami usul sih tidak ada salahnya kalau menggandeng kantin sekolah. Itu juga menjadi cara untuk menguatkan ekonomi yang basisnya UMKM,” ujar Sumarno. 

Namun kenyataannya, pemerintah pusat tetap menggunakan skema SPPG dengan persyaratan bahwa satu dapur MBG harus bisa melayani 3.000-3.500 paket per hari. Sekda menyebut syarat itu otomatis menghapus kesempatan bagi pengusaha kecil, sebab banyak pekerja kantin sekolah kecil tidak mampu memenuhi jumlah sebesar itu. 

Kantin di Blora dan beberapa kabupaten lain mencoba mengajukan untuk ikut terlibat, tetapi terbentur kapasitas produksi. “Dan untuk sekolah, kami mengusulkan agar bisa dilibatkan, tapi pusat mensyaratkan satu dapur harus bisa layani 3.000-3.500 paket. Itu tidak bisa dipenuhi basis sekolah,” katanya.

Akibatnya, banyak kantin sekolah memilih untuk tidak ikut mensukseskan program MBG, meskipun mereka memahami bahwa pemberdayaan lokal melalui MBG bisa membuka peluang ekonomi. Mereka khawatir keterlibatan tanpa kemampuan produksi yang memadai justru akan membuat mereka rugi.

Di Bandar Lampung, Siti, pedagang kantin di salah satu SMK Bandar Lampung, mengaku penjualan makanannya menurun drastis sejak program MBG berjalan. “Biasanya habis, sekarang sisa separuh. Tapi belum ada yang sampai tutup, cuma memang menurun,” kata Siti.

Begitu pula dengan apa yang terjadi di Palembang, Sumatera Selatan. Riri penjual makanan ringan di Kantin SMP Negeri 8 Palembang mengaku merasakan dampak buruk dari program MBG secara ekonomi.

"Awal MBG diberlakukan, omzet memang turun drastis. Tapi setelah dua atau tiga bulan berjalan, mulai perlahan naik lagi, walau belum bisa seperti sebelum ada MBG," ungkap Riri, kepada IDN Times.

Riri menjelaskan menu yang dijualnya terdiri dari jajanan ringan seperti risol, cireng, telur gulung, cilok kuah, bakso goreng, kebab, hingga aneka es.

"Kami dari awal tidak menjual makanan berat," katanya. Untuk menghadapi situasi yang berubah, Riri turut melakukan beberapa perubahan terutama pada menu yang dijual. Hal ini bukan semata akibat adanya program MBG, melainkan mencegah siswa bosan dengan jenis jajanan yang sama setiap hari.

2. Berharap pemerintah mulai melibatkan kantin sekolah

Suasana kantin di SMAN 10 Makassar, Kamis (9/1/2025). (IDN Times/Asrhawi Muin)

Di Banten, Syaiful Anam, seorang pedagang kantin dari Tangerang Selatan, mengungkapkan bahwa sejak MBG diterapkan, pelanggannya menghilang. “Program MBG membuat lapak dagangan pedagang sepi pembeli karena murid tidak jajan lagi di kantin sekolah,” katanya.

Pagi hari lapaknya terisi harapan, namun menjelang jam istirahat kursi-kursi kosong menjadi pemandangan biasa. Dia berharap agar waktu pemberian MBG tidak bersamaan dengan waktu istirahat, agar kantin tidak terganggu. 

“Kalau jam istirahat, itu berdampak besar. Kami berharap makan bergizi gratis bisa digeser setelah waktu istirahat,” ujar Syaiful.

Sementara itu di Sulawesi Selatan, Rahman, pemilik kantin di SMP Negeri 8 Makassar, mengatakan bahwa omzet dagangannya turun dari puluhan porsi menjadi hanya belasan porsi per hari. “Dulu bisa sampai 50 porsi, sekarang mungkin tinggal 15 porsi,” ujarnya.

Rahman menjelaskan bahwa ia tetap melayani jenis dagangan ringan agar tetap bertahan, meskipun pendapatan menurun drastis. “Program ini mungkin bermanfaat bagi siswa, tapi berdampak pada pendapatan kantin,” ujarnya. 

Ia berharap agar pemerintah melibatkan kantin sekolah dalam MBG agar pendapatan lokal tidak tergerus. Dari kisah di berbagai belahan Indonesia ini, kita bisa melihat dua wajah program MBG: tawaran manfaat gizi yang besar dan beban ekonomi lokal yang nyata.

3. Manajemen dapur yang kokoh tak menjamin kelancaran program MBG

SPPG UNISA Yogyakarta. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)

Meski tak bisa melibatkan pelaku ekonomi kelas UMKM, Ahsanul Khalik, Ketua Satgas MBG Nusa Tenggara Barat, menyebut bahwa MBG telah menyerap ribuan tenaga kerja di daerahnya melalui kontrak dapur umum dan supplier. Hal tersebut menjadi dalih bahwa program MBG tetap menstimulus ekonomi kerakyatan.

Ia menjelaskan jika ratusan SPPG yang telah beroperasi bermitra dengan 29 koperasi, tiga Badan Usaha Milik Desa, 548 UMKM lokal, dan 486 supplier individu atau lainnya.

Di NTB, sebanyak 311 SPPG yang sudah beroperasi melayani sebanyak 986.670 penerima manfaat. "Capaian hampir satu juta penerima manfaat, terserapnya sekitar 13 ribu tenaga kerja, serta terlibatnya mitra dan supplier lokal. Ini menunjukkan bahwa program MBG tidak hanya soal makanan bergizi, tetapi juga tentang ekonomi kerakyatan," kata Khalik dikonfirmasi di Mataram, Sabtu (11/10/2025). 

Dia merinci tenaga kerja yang terserap hingga September 2025 antara lain 243 ahli gizi (AG), 245 akuntan (AK), 2.334 juru masak (JM), 1.038 driver (DRV), 3.396 petugas cleaning dan operasional (CIO), 231 petugas keamanan, 311 kepala SPPG, 240 kepala juru masak (KJM), 1.741 petugas persiapan (PER), 2.711 petugas penyaji dan 411 petugas kebersihan.

Tapi, meski di atas kertas manajemen dapur tampak kokoh, masih banyak tantangan yang terjadi di lapangan. Di Jawa Tengah, misalnya, Dinas Pendidikan setempat melaporkan bahwa 27 SPPG Jateng belum beroperasi lantaran menunggu dana dari BGN.

Roberto Agung Nugroho, Kepala Sub Bagian Program Dinas Pendidikan Jateng mengatakan bahwa dana tambahan dan koordinasi lebih lanjut diperlukan agar kantin sekolah bisa ikut serta.

Selain itu, kepala Bappeda Jateng, Harso Susilo menyoroti anggaran MBG yang hanya Rp10 ribu per porsi. Menurutnya, dengan anggaran tersebut, penyediaan menu bergizi tidak memungkinkan melibatkan katering profesional atau kantin sekolah tanpa dukungan tambahan.

Tidak cuma itu, seorang pengusaha lokal di Sulawesi Selatan mengaku bahwa rantai pasokan kadang terganggu karena distribusi antar pulau dan standar kebersihan yang ketat. Ia mengatakan bahwa tanpa kejelasan logistik dan standar mutu, UMKM lokal kesulitan memenuhi permintaan dapur umum.

4. Kualitas, keracunan, dan kepercayaan publik

Siswa yang keracunan MBG saat dirawat di RS Cianjur (IDN Times/Istimewa)

Di sisi lain, keluhan tentang kualitas menu MBG muncul beberapa kali di Jawa Tengah. Di Kudus, siswa melaporkan bahwa sayur yang disajikan belum matang, ayam berbau, atau tempe terasa asam. Salah satu siswa, Musyaffa, menceritakan pengalamannya: “Tumis kacang ada ulat,” katanya.

Wakil Kepala SMA 1 Kudus, Sulistyani, mengakui masalah di dapur dan menyatakan bahwa standar operasional harus diawasi lebih ketat. Dia juga menyebut bahwa waktu distribusi harus diatur agar makanan tidak rusak atau basi sebelum tiba di sekolah.

Dr. Muhdi, Ketua PGRI Jateng, meminta agar Disdik dan Dinkes dilibatkan dalam pengawasan. “Sekolah, Disdik dan Dinkes harus dilibatkan agar tidak ada laporan keracunan yang dilarang.”

Meskipun insiden masih terbatas, kepercayaan publik menjadi kunci. Jika kualitas MBG diragukan, maka manfaat gizi program bisa merosot karena siswa menjadi skeptis dan memilih jajan luar. Untuk menjaga integritas MBG, pengawasan ketat dan transparansi menjadi kebutuhan mendesak.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) baru saja merilis data yang menunjukkan kekacauan program MBG di daerah. Mereka mencatat ribuan anak telah menjadi korban baru dalam program itu, seraya menyimpulkan bahwa negara telah mengabaikan keselamatan anak.

“Dalam periode 6-12 Oktober 2025, tercatat 1.084 korban baru keracunan MBG. Dengan penambahan ini, total korban sejak awal tahun mencapai 11.566 anak” kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji dalam keterangan tertulisnya.

Selama sepekan terakhir, ada dua provinsi baru yang terpapar kasus keracunan MBG antara lain di Kalimantan Selatan (Kabupaten Banjar) dan Gorontalo (Kota Gorontalo).

Di Balik Piring MBG: UMKM yang Nestapa dan Stunting yang Tetap Ada (IDN Times/Aditya Pratama)

5. Anggaran tak cukup untuk jamin asupan gizi

Makanan MBG di salah satu sekolah di Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel), diduga berbau busuk, Jumat (23/5/2025)/Istimewa

Harso Susilo, Kepala Bappeda Jateng, menyebut bahwa anggaran Rp10 ribu per porsi tidak cukup untuk menyertakan katering atau dapur luar sekolah dalam program MBG. “Dengan biaya tersebut, penyediaan menu yang melibatkan Kantin sekolah menjadi sulit,” katanya.

Harso menyarankan agar UMKM lokal dan kantin sekolah tetap dilibatkan sebagai alternatif agar penyediaan MBG bisa lebih lokal dan efisien. Ia menambahkan bahwa tanpa dukungan tambahan, banyak sekolah dan kantin lokal tidak dapat ikut serta.

Sementara itu, 27 dapur SPPG di Jateng belum beroperasi karena menunggu pencairan dana dari BGN. Roberto Agung Nugroho menegaskan bahwa dana dari BGN sangat penting untuk memperluas cakupan MBG.

Keterlambatan dana ini berpotensi menghambat penyaluran paket gizi secara merata, yang pada akhirnya bisa mempengaruhi efektivitas program dalam menekan stunting.

Dana yang tersedia sejatinya tidak mencerminkan kecukupan gizi bagi penerima MBG, sebab operasional yang profesional juga membawa pengaruh signifikan bagi kesuksesan program. Di Jawa Barat, dana MBG mencapai Rp50 triliun, anggaran yang fantastis bahkan tercatat lebih besar ketimbang APBD Jabar 2025 yakni sebesar Rp31,7 triliun.

Namun ironisnya, Jawa Barat sejauh ini tercatat sebagai provinsi dengan angka keracunan MBG tertinggi se-Indonesia, mencapai lebih dari seribu pelajar. Artinya, anggaran yang besar tidak melulu menjamin kualitas sepiring MBG yang diterima pelajar.

6. Dampak MBG pada penurunan stunting: harapan vs realita

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Balikpapan, Irfan Taufiq menyebut MBG di Balikpapan berjalan lancar tanpa kendala berarti. (IDN Times/Erik Alfian)

Data nasional SSGI 2024 menunjukkan penurunan angka stunting menjadi 19,8 persen. Namun, angka ini tidak secara eksplisit menunjukkan bahwa MBG adalah penyebab tunggal.

Meski demikian, banyak narasumber melihat MBG sebagai salah satu elemen penting. Sumarno di Jawa Tengah menyebut bahwa MBG bisa memperkuat UMKM lokal yang kemudian meningkatkan akses pangan bergizi lokal.

Begitu pula Fatma di Makassar menjelaskan bahwa meskipun kantin terkena dampak, MBG membantu siswa memperoleh menu sehat yang mungkin tidak mampu mereka beli sendiri.

Tetapi efek nyata terhadap stunting membutuhkan waktu panjang dan evaluasi lokal: pertumbuhan anak, status gizi sebelum dan sesudah, serta capaian lokal yang tidak bisa diukur hanya dari persentase nasional.

Banyak ahli menyebut bahwa MBG dapat efektif jika gizi, distribusi, dan keterlibatan lokal dijaga dengan ketat. Tanpa itu, penurunan angka stunting mungkin hanya tercatat di statistik, bukan di biologis anak.

7. Kesimpulan dan rekomendasi reflektif tentang menu gizi, UMKM, dan masa depan

Menu MBG di SDN 129 Palembang (IDN Times)

MBG hadir dengan tujuan mulia: menyajikan pangan bergizi bagi sekolah, sekaligus mendukung pemberdayaan lokal. Kisah Fatma, dan berbagai masyarakat di belahan Indonesia lain, menunjukkan bagaimana implementasi di lapangan terkadang menyisakan luka ekonomi dan harapan yang belum terwujud.

Kantin sekolah yang sepi bukan hanya kehilangan ujung sehari-hari, tetapi juga identitas usaha kecil yang menopang ekonomi lokal. Di lain pihak, dapur MBG dan UMKM lokal yang terserap menjadi bahan rantai gizi menunjukkan bahwa program ini bisa menjadi alat transformasi, selama dijalankan dengan hati, data, dan evaluasi.

Namun agar MBG benar-benar menekan stunting dan tidak sekadar menjadi angka statistik, perlu tindakan nyata, antara lain evaluasi lokal berkala, fleksibilitas aturan produksi, pelibatan kantin sekolah, distribusi tepat waktu, dan pengawasan mutu makanan.

Pengelola program ini, baik di hulu ataupun hilir, harus memastikan agar setiap porsi MBG bukan hanya mengenyangkan, tapi juga menyehatkan dan tidak melemahkan mereka yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi lokal.

Jika tujuan itu tercapai, MBG bisa menjadi warisan yang membanggakan: generasi anak yang tumbuh sehat, UMKM lokal yang sejahtera, dan masyarakat Indonesia yang lebih kuat. Jika tujuan tidak tercapai, wajah pemerintah lagi-lagi tercoreng karena telah menghabiskan banyak uang hanya untuk membuat pelajarnya keracunan.

TIM PENULIS 

PERSIANA GALIH (JABAR) | AZZIZ ZULKHAIRIL (JABAR) | INDAH PERMATASARI (JATENG) | FARIZ FARDIANTO (JATENG) | ASHRAWI MUIN (MAKASSAR) | |MUHAMMAD IQBAL (BANTEN) | RANGGA EFRIZAL (SUMSEL) | MUHAIMIN ABDULLAH (LAMPUNG)

Editorial Team