Bandung, IDN Times - Aroma gorengan yang dulu memenuhi udara di halaman SMAN 10 Makassar kini mulai memudar. Sejak program Makan Bergizi Gratis (MBG) berjalan, kantin sekolah di sana dilaporkan kehilangan pelanggan. Fatma, pengelola kantin sekolah, mengaku omzetnya turun drastis setelah program ambisius Presiden Prabowo itu digulirkan.
“Biasanya siswa antre beli nasi goreng, mie kering, atau jajanan lain. Sekarang, yang datang cuma 20 orang per hari,” ungkapnya sambil menatap meja yang dulu penuh pesanan.
Dalam wawancara dengan IDN Times Sulsel, Fatma bahkan menyebut bahwa lima kantin lainnya tutup akibat dampak MBG. “Kantin sehat ini sudah tutup sejak Senin, setelah siswa lebih banyak mengandalkan paket MBG,” ujarnya, penuh keprihatinan.
Meski begitu, di lain sisi, pemerintah pusat dan daerah melihat MBG sebagai inisiatif besar: bukan hanya untuk memberi makan anak sekolah secara gratis, tetapi juga sebagai instrumen gizi nasional untuk menekan stunting dan menstimulus ekonomi kerakyatan.
Namun di sisi lain, tidak sedikit pelaku UMKM yang justru khawatir bahwa program gizi ini secara tidak langsung melemahkan ekonomi lokal kantin sekolah dan warung mikro. Dan, tidak sampai di sana, setelah lebih dari sepuluh bulan program MBG digulirkan, tak tampak hasil pasti bahwa program tersebut telah menurunkan angka stunting.
Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 menunjukkan angka stunting nasional turun dari 21,5 persen (2023) menjadi 19,8 persen (2024). Tapi angka itu tidak menjelaskan seberapa besar kontribusi MBG terhadap penurunan stunting.
Artikel kolaborasi hyperlocal IDN Times ini mengeksplorasi berbagai hal terkait MBG, tentang bagaimana pedagang juga kantin sekolah yang terpinggirkan; interaksi antara ekonomi dan gizi; serta bagaimana MBG bisa diperbaiki agar kontribusinya terhadap penurunan stunting maksimal.