(IDN Times/Azzis Zulkhairil)
Pada 100 hari kepemimpinan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan, mereka juga fokus terhadap peningkatan dunia pendidikan. Ada sebanyak dua Surat Edaran yang dikeluarkan untuk penertiban siswa-siswi, mulai dari pemberlakuan jam malam bagi pelajar, larangan study tour dan wisuda dengan biaya mahal hingga penerapan pendidikan Karakter Panca Waluya berbasis semi militer.
Yang terakhir, sederhananya, siswa bermasalah dimasukkan ke Barak militer untuk menjalani beberapa materi yang sudah disiapkan.
Program ini sontak menjadi pro dan kontra. Beberapa lembaga menganggap langkah Pemprov Jabar dalam menerapkan program tersebut tidak tepat. Seperti Komnas HAM yang menganggap TNI tidak berhak memberikan pendidikan kewarganegaraan terhadap siswa-siswi. Di sisi lain, tidak ada SOP yang jelas dalam gelaran ini.
Belum lagi DPRD merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses penganggaran dan detail-detail lainnya dari program ini. Meski menjadi pro dan kontra, program ini tetap berjalan hingga akhirnya meluluskan 273 siswa bermasalah yang didik langsung di Dodik Bela Negara Rindam III/Siliwangi di Cikole, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, dan Purwakarta.
Pengamat Kebijakan Publik, Universitas Parahyangan, Pius Sugeng Prasetyo menilai semua kebijakan publik ini tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Namun, kebijakan ini harus betul-betul diorientasikan untuk kepentingan masyarakat.
Dalam konteks pendidikan karakter dari Pemprov Jabar ini pasti menimbulkan pro kontra. Namun apakah kebijakan tersebut menguntungkan publik atau justru hanya menguntungkan Gubernur Dedi Mulyadi sendiri, kelompoknya, atau partainya?
"Kami membaca konteksnya, sehingga kalau memang menurut dari pendapat atau pandangan yang lain, ngapain sih harus dimasukkan ke barak militer? Ini militerisasi dan dan sebagainya, mungkin iya!" katanya.
"Tapi mungkin konteks ketika misalnya ada warga yang memang harus dimasukkan dalam sebuah kerangka edukasi yang memang membutuhkan, katakanlah treatment seperti itu. Saya pikir juga tidak ada salahnya," tutur dia.
Dalam kebijakan publik terdapat kajian rasional komprehensif teori. Pius menjelaskan, teori rasional adalah suatu kebijakan yang memang dibuat ditetapkan dengan perhitungan-perhitungan, pertimbangan-pertimbangan yang sangat rasional, yang sangat komprehensif dan sifatnya untuk jangka panjang.
"Di sisi lain, terdapat juga juga kebijakan yang sifatnya itu inkremental. Inkremental adalah saat ini masyarakat membutuhkan apa yang harus bisa langsung direspons. Jadi harus dibedakan antara ini adalah kebutuhan untuk jangka panjang atau untuk kebutuhan yang inkremental," katanya.
Berdasarkan kacamata pribadinya, Pius belum banyak menangkap kebijakan Dedi Mulyadi yang bersifat jangka panjang. Menurutnya, Dedi lebih banyak membuat kebijakan yang inkremental. Setelah 100 hari ini, menurutnya, kepemimpinan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan bisa lebih banyak membuat kebijakan jangka panjang.
"Sebanyak 100 hari ini menjadi sebuah saat di mana orientasi membuat mapping. Kira-kira Jawa Barat ini membutuhkan katakanlah intervensi suatu kebijakan yang untuk jangka panjang," ujarnya.
Kebijakan jangka panjang untuk wilayah Jawa Barat, kata Pius yang paling penting saat ini yaitu masih adanya kesenjangan di masyarakat. Menurutnya, hal ini bisa diselesaikan dan dikaji kemudian dibuatkan kebijakan yang bisa menuntaskan persoalan ini.
"Jawa Barat ini masih punya kesenjangan sosial yang sangat luar biasa. Maka kebijakan-kebijakan apa yang bisa digunakan untuk bahasanya adalah mengentaskan, mengurangi gap," ucapnya.
"Entah itu yang terkait dengan isu pendidikan, entah itu yang isu sosial ekonomi, kawasan-kawasan katakanlah pinggir Jawa Barat ini ya. Saya pikir itu yang saya sangat berharap ya, karena problem utamanya ada di situ," tuturnya.
Pius pun tidak mempersoalkan jika Dedi Mulyadi terus melakukan kebijakan publik yang sifatnya jangka pendek. Hanya saja, hal ini, tidak akan bisa menyelesaikan semuanya secara menyeluruh, dan hanya bersifat sesaat.
"Bahkan nanti tidak ada keberlanjutan ya dan ganti pemimpin suasananya akan ganti lain lagi. Artinya dampaknya ada semacam discontinuity ya, tidak ada keberlanjutan. Kemudian dampaknya juga hanya sesaat, yang dirasakan hanya saat ini saja," katanya.