Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Di Balik 100 Hari Kerja KDM-Erwan, Banyak Kebijakan Jangka Pendek

(IDN Times/Azzis Zulkhairil)
(IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Bandung, IDN Times - Tepat pada Kamis, 20 Februari 2025 Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jawa Barat, oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Jakarta. Di tanggal tersebut juga Dedi Mulyadi langsung menonaktifkan Kepala Sekolah SMAN 6 Depok, Siti Faizah.

Pernyataan pencopotan kepala sekolah ini disampaikan Dedi setelah beberapa jam usai dirinya dinyatakan resmi sebagai gubernur definitif. Alasan pencopotan ini didasari karena kepsek tersebut tidak mematuhi larangan SE Nomor: 64/PK.01/KESRA tetang study tour yang sebelumnya dikeluarkan oleh Pj Gubernur Bey Triadi Machmudin.

Di mana SMAN 6 Depok melakukan Kunjungan Objek Belajar (KOB) selama delapan hari hingga Senin (24/2/2025) di Malang dan Surabaya, Jawa Timur. Sebelum pelantikan pun pria yang akrab dengan panggilan KDM ini mengajak tim transisi yang sudah dibuat oleh Bey Machmudin untuk datang ke kediamannya di Lembur Pakuan.

Tim transisi ini merupakan sejumlah orang pilihan dari beberapa OPD yang ada di lingkungan Pemprov Jabar. Beberapa kegiatan ini pun ditayangkan dalam akun pribadi KDM, tujuannya untuk transparansi kepada masyarakat mana saja yang akan diteruskan dan diubah dalam kepemimpinannya mendatang.

Tidak hanya OPD, seluruh kepala daerah terpilih pun diundang ke Lembur Pakuan untuk singkroniaasi program dan lainnya. Selepas pelantikan KDM mulai tancap gas dengan beragam gebrakan.

Tak ayal langkah-langkah tersebut membuat publik mengamini julukan sebagai Dedi Mulyadi bapak warga Jawa Barat "KDM Bapak Aing". Hanya saja, ada prestasi ada juga beberapa kekurangan yang harus diperbaiki.

IDN Times mencoba merangkumnya catatan 100 hari kepemimpinan dari Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan dengan berbagai pandangan dari pemerhati hingga pakar akademisi.

1. Dukungan terhadap keberlanjutan lingkungan belum maksimal

(IDN Times/Azzis Zulkhairil)
(IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Gebrakan awal yang membuat publik semakin interest dengan kepemimpinan Dedi Mulyadi saat membongkar objek wisata di Puncak Bogor yakni Hibisc Fantasy Puncak, tempat wisata yang dikelola oleh anak perusahaan BUMD Provinsi Jabar, PT Jaswita Jaya Lestari (JLJ).

Dedi membongkarnya kemudian mengubahnya dengan menanamkan kembali pohon-pohon agar tidak terjadi banjir di wilayah hilir. Namun, pembongkaran ini dinilai tidak tuntas karena ada beberapa bangunan lainnya yang diduga melanggar tata ruang namun tetap beroperasi.

Dedi menegaskan, untuk penanganan area lainnya izin dan kewenangannya ada di kementerian dan kabupaten/kota terkait. Saat itu kementerian terkait dan Pemprov Jabar sudah melakukan penyegelan.

Walhi mencatat ada sebanyak 34 perusahaan diduga telah melanggar peraturan dengan melakukan pembangunan di wilayah Puncak, Kabupaten Bogor. Nama-nama perusahaan ini sudah dilaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup.

Terlepas dari pembongkaran ini, Walhi Jabar menilai semua kebijakan yang telah dilakukan Dedi Mulyadi ini masih belum sepenuhnya berpihak kepada prinsip keberlangsungan lingkungan. Bahkan, terbaru Walhi belum mau mengamini proyeksi pembangunan jangka panjang di Jawa Barat.

Hal ini dikarenakan pendekatan perencanaan yang akan dituangkan pada program-program dalam RPJMD masih belum sepenuhnya pro terhadap kelestarian lingkungan.

"Kami menemukan di draft RPJMD ini dalam mengatasi sampah itu akan mengedepankan teknologi termal. Sementara teknologi termal itu tidak seiring dengan konsep kami. Insenerator-insenerator ini akan dibangun besar-besaran di Jawa Barat," kata Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudin Iwang.

Bahkan, konsep ini sudah dimulai oleh Wali Kota Bandung Farhan yang memproyeksikan sebanyak 31 insenerator untuk mengatasi sampah. Menurutnya, hal Itu merupakan salah satu ciri atau bukti di mana pemerintah belum serius mengatasi sampah.

"Meskipun statement-nya mengatakan enggak mungkin masyarakat warga Jawa Barat bisa memilah, itu kata siapa? Tidak ada kata yang tidak mungkin kalau misalnya pemerintah pun juga memberikan cermin keseriusan untuk mengatasi sampah itu sendiri," ucapnya.

Lalu juga dalam aspek lain selain insinerator, yaitu proyeksi untuk pengembangan energi elektrifikasi atau energi listrik. Walhi menganggap dalam aspek energi ini tidak ada urgensinya. Sebab Jawa Barat masih mengalami surplus.

"Di mana Jawa Barat masih dikategorikan sebagai provinsi yang strategis untuk berinvestasi. Celakanya investasinya kotor. Mengalih fungsikan lahan, menimbulkan degradasi kawasan yang begitu besar," katanya.

Belum lagi, dalam konteks lingkungan, penyusutan tutupan lahan hingga tahun ke tahun di Jawa Barat itu meningkat. Iwang mengungkapkan, tercatat sudah sampai 1,6 juta hektare penyusutan tutupan lahan di Jawa Barat.

BPS pernah merilis pada tahun 2021, lahan kritis di Jawa Barat mencapai 1 juta hektar. Dia mendorong agar pemerintah provinsi melakukan upaya perbaikan itu sendiri, sementara saat ini keran investasi terus dibuka.

"Tidak menutup kemungkinan angka degradasi ke depan itu akan lebih meningkat bukan menurun ketika tidak sebandingnya dengan progres perencanaan pemerintah untuk melakukan pemulihan dan perbaikan lingkungan yang secara serius," tuturnya.

Porsi anggaran untuk mengatasi persoalan lingkungan juga belum diberikan secara lebih. Padahal, Jawa Barat memiliki banyak ancaman becana alam mulai dari tsunami, bencana dampak dari erupsi gunung berapi, dan gerakan tanah, dan banjir.

"Ini juga tidak mempertimbangkan bagaimana upaya perbaikan pemulihan lingkungan itu menjadi satu hal yang paling serius dengan dengan didukungnya dengan proporsi anggaran yang harus ditingkatkan di Jawa Barat," kata dia.

2. Kebijakan publik masih sebatas jangka pendek

(IDN Times/Azzis Zulkhairil)
(IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Pada 100 hari kepemimpinan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan, mereka juga fokus terhadap peningkatan dunia pendidikan. Ada sebanyak dua Surat Edaran yang dikeluarkan untuk penertiban siswa-siswi, mulai dari pemberlakuan jam malam bagi pelajar, larangan study tour dan wisuda dengan biaya mahal hingga penerapan pendidikan Karakter Panca Waluya berbasis semi militer.

Yang terakhir, sederhananya, siswa bermasalah dimasukkan ke Barak militer untuk menjalani beberapa materi yang sudah disiapkan.

Program ini sontak menjadi pro dan kontra. Beberapa lembaga menganggap langkah Pemprov Jabar dalam menerapkan program tersebut tidak tepat. Seperti Komnas HAM yang menganggap TNI tidak berhak memberikan pendidikan kewarganegaraan terhadap siswa-siswi. Di sisi lain, tidak ada SOP yang jelas dalam gelaran ini. 

Belum lagi DPRD merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses penganggaran dan detail-detail lainnya dari program ini. Meski menjadi pro dan kontra, program ini tetap berjalan hingga akhirnya meluluskan 273 siswa bermasalah yang didik langsung di Dodik Bela Negara Rindam III/Siliwangi di Cikole, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, dan Purwakarta.

Pengamat Kebijakan Publik, Universitas Parahyangan, Pius Sugeng Prasetyo menilai semua kebijakan publik ini tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Namun, kebijakan ini harus betul-betul diorientasikan untuk kepentingan masyarakat.

Dalam konteks pendidikan karakter dari Pemprov Jabar ini pasti menimbulkan pro kontra. Namun apakah kebijakan tersebut menguntungkan publik atau justru hanya menguntungkan Gubernur Dedi Mulyadi sendiri, kelompoknya, atau partainya?

"Kami membaca konteksnya, sehingga kalau memang menurut dari pendapat atau pandangan yang lain, ngapain sih harus dimasukkan ke barak militer? Ini militerisasi dan dan sebagainya, mungkin iya!" katanya. 

"Tapi mungkin konteks ketika misalnya ada warga yang memang harus dimasukkan dalam sebuah kerangka edukasi yang memang membutuhkan, katakanlah treatment seperti itu. Saya pikir juga tidak ada salahnya," tutur dia. 

Dalam kebijakan publik terdapat kajian rasional komprehensif teori. Pius menjelaskan, teori rasional adalah suatu kebijakan yang memang dibuat ditetapkan dengan perhitungan-perhitungan, pertimbangan-pertimbangan yang sangat rasional, yang sangat komprehensif dan sifatnya untuk jangka panjang.

"Di sisi lain, terdapat juga juga kebijakan yang sifatnya itu inkremental. Inkremental adalah saat ini masyarakat membutuhkan apa yang harus bisa langsung direspons. Jadi harus dibedakan antara ini adalah kebutuhan untuk jangka panjang atau untuk kebutuhan yang inkremental," katanya. 

Berdasarkan kacamata pribadinya, Pius belum banyak menangkap kebijakan Dedi Mulyadi yang bersifat jangka panjang. Menurutnya, Dedi lebih banyak membuat kebijakan yang inkremental. Setelah 100 hari ini, menurutnya, kepemimpinan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan bisa lebih banyak membuat kebijakan jangka panjang. 

"Sebanyak 100 hari ini menjadi sebuah saat di mana orientasi membuat mapping. Kira-kira Jawa Barat ini membutuhkan katakanlah intervensi suatu kebijakan yang untuk jangka panjang," ujarnya. 

Kebijakan jangka panjang untuk wilayah Jawa Barat, kata Pius yang paling penting saat ini yaitu masih adanya kesenjangan di masyarakat. Menurutnya, hal ini bisa diselesaikan dan dikaji kemudian dibuatkan kebijakan yang bisa menuntaskan persoalan ini. 

"Jawa Barat ini masih punya kesenjangan sosial yang sangat luar biasa. Maka kebijakan-kebijakan apa yang bisa digunakan untuk bahasanya adalah mengentaskan, mengurangi gap," ucapnya. 

"Entah itu yang terkait dengan isu pendidikan, entah itu yang isu sosial ekonomi, kawasan-kawasan katakanlah pinggir Jawa Barat ini ya. Saya pikir itu yang saya sangat berharap ya, karena problem utamanya ada di situ," tuturnya. 

Pius pun tidak mempersoalkan jika Dedi Mulyadi terus melakukan kebijakan publik yang sifatnya jangka pendek. Hanya saja, hal ini, tidak akan bisa menyelesaikan semuanya secara menyeluruh, dan hanya bersifat sesaat. 

"Bahkan nanti tidak ada keberlanjutan ya dan ganti pemimpin suasananya akan ganti lain lagi. Artinya dampaknya ada semacam discontinuity ya, tidak ada keberlanjutan. Kemudian dampaknya juga hanya sesaat, yang dirasakan hanya saat ini saja," katanya.

3. Tidak semua kebijakannya populis

Gubernur Jabar Dedi Mulyadi turun ke sungai di Sukabumi (IDN Times/Fatimah)
Gubernur Jabar Dedi Mulyadi turun ke sungai di Sukabumi (IDN Times/Fatimah)

Pandangan Pius setali tiga uang dengan hasil survei dari Indikator Politik Indonesia yang dikeluarkan pada Rabu (28/5/2025), lewat survei Evaluasi Publik Atas Kinerja 100 Hari Gubernur-gubernur se-Jawa dengan melibatkan banyak responden dari masing-masing daerah.

Dalam survei ini responden menilai puas dengan kinerja Dedi Mulyadi. Namun, ada beberapa persoalan kebijakan publik yang belum mengakar terhadap roda pemerintahan itu sendiri.

"Di Jawa Barat, kalau dilihat beberapa poin yang kurang meyakinkan evaluasi publiknya selain masalah kemiskinan 42 persen itu cukup atau sangat puas, ada juga masalah kemudahan akses permodalan 43 persen, pembinaan koperasi 43 persen dan peningkatan kualitas tenaga kerja 47 persen," ujar Adam Kamil, Direktur Riset Indikator Politik Indonesia dalam rilis yang disiarkan di YouTube Indikator.

Jika dibandingkan aspek popularitas dan penerimaan publik terhadap sosok Dedi Mulyadi, hasil survei menunjukkan tingkat kepuasan yang sangat mencolok, di mana masyarakat Jawa Barat memisahkan penilaian antara institusi dengan figur pemimpinnya.

Founder dan Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi membenarkan hal ini. Menurutnya, masih ada sekat dalam penilaian publik terhadap kinerja pemimpin dan Pemerintah Provinsi di Jawa Barat.

"Jawa barat menarik, persepsi terhadap gubernur Dedi Mulyadi sangat positif, tetapi kinerja pemprov di beberapa isu di bawah 50 persen. Artinya sepertinya warga Jabar itu memberi kredit Dedi Mulyadi sebagai gubernur, tetapi kinerja Pemprov-nya tidak seluruhnya diapresiasi," ucap Burhanuddin.

Lebih jauh, Burhanuddin turut memberikan analisis tajam mengenai fenomena tingginya tingkat kepuasan publik terhadap Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Menurutnya, populisme itu merupakan ideologi yang anti-elite, dan cenderung pro massa secara umum.

Sementara, beberapa kebijakan Dedi Mulyadi ini tidak populis, seperti program yang sempat diwacanakan terkait pemberian bantuan sosial dengan syarat mengikuti program KB bagi pria. Kebijakan itu menurutnya tidak populis karena masyarakat kalangan menengah ke bawah sebagai penerima bansos merasa tidak senang.

Kemudian, Dedi Mulyadi, kata Burhanuddin, memiliki intuisi yang cukup tajam hingga akhirnya menganggap apa yang dilakukannya adalah hal yang paling benar dan terbaik untuk masyarakat Jawa Barat. Hal ini membuat Dedi seakan tidak mempedulikan pro kontra yang muncul merespons kebijakan yang dibuat.

"Kalau melihat dari kejauhan, KDM kayak punya semacam intuisi bahwa apa yang dia lakukan itu yang benar. Jadi dia punya keyakinan dia yang paling tahu apa yang baik buat warganya. Kan proses delibratifnya agak kurang, dia mikirnya ini baik buat warga," ujarnya.

"Dia punya judgement terlepas apakah itu kontroversial atau tidak, tapi dia punya judgement itu. Dan dieksekusi dengan segala plus minusnya, minusnya delibratif kurang, plusnya dia punya keyakinan yang cukup tinggi dan punya kemampuan untuk mempertahankan kebijakan," katanya.

4. Dedi Mulyadi lebih disukai dibandingkan gubernur lainnya di Pulau Jawa

(IDN Times/Azzis Zulkhairil)
(IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Meski begitu, dalam survei Indikator, Dedi Mulyadi merupakan gubernur yang kinerjanya paling memuaskan dibandingkan pemimpin lainnya di pulau Jawa. Tingkat kepuasan Dedi Mulyadi ada di angka 94,7 persen dengan rincian 41 sangat puas 54 cukup puas, 4 kurang puas, tidak menjawab 1.

"Dalam survei, 94,7 persen responden Jabar puas sama Dedi Mulyadi. Khusus yang menjawab sangat puas tinggi sekali," kata Burhanuddin.

"Yang paling tinggi (dari enam gubernur di Jawa) memang kepuasan terhadap Dedi Mulyadi sebagai gubernur Jawa Barat," ucapnya.

Burhanuddin juga menjelaskan, tingkat kepuasan publik itu tidak didasari oleh faktor teknokratik semata. Menurut dia, ada juga faktor lain yang menyumbang tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemimpin.

"Studi kami, menunjuk tingkat kepuasan terhadap pemimpin di Indonesia tidak semata-mata karena faktor teknokratik. Jadi bukan semata-mata faktor kinerja, tapi banyak juga sumbangan faktor emosi," ungkapnya.

"Persepsi itu tidak semata-mata dibentuk keberhasilan bagi seorang pemimpin dalam menyelesaikan agenda teknokratik, tapi juga persepsi bahwa pemimpin itu betul-betul dianggap bekerja untuk rakyat. Jangan langsung buru-buru mengambil kesimpulan bahwa faktor kinerja yang menyumbang, ada banyak variabel," tuturnya.

Survei ini digelar pada 12 hingga 19 Mei 2025 dengan melibatkan jumlah responden yang berbeda-beda setiap daerahnya. DKI Jakarta menghimpun 500 responden dipilih secara acak, Jabar 600 responden, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sementara, DIY dan Banten 400 responden. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Galih Persiana
Azzis Zulkhairil
Galih Persiana
EditorGalih Persiana
Follow Us