Dedi Mulyadi Sebut Cirebon Bangun Kota tapi Kubur Kearifan Leluhur

Intinya sih...
Cirebon punya segalanya, tapi takut menjadi diri sendiri
Pembangunan tanpa cinta, seperti transaksi dingin
Bangun berdasarkan cinta dan kearifan lokal
Cirebon, IDN Times - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengkritik tajam praktik pembangunan di Kota Cirebon yang selama ini hanya berorientasi pada keuntungan proyek semata. Ia menilai banyak infrastruktur di Cirebon yang dibangun tanpa filosofi budaya dan cinta terhadap warisan leluhur.
Hal tersebut disampaikan Dedi saat rapat paripurna Hari Jadi ke-538 Kota Cirebon di Gedung DPRD, Kota Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (28/6/2025).
“Banyak pembangunan berdasarkan orientasi proyek dan keuntungan, bukan cinta atau filosofi budaya. Infrastruktur dibangun asal-asalan: tembok dan jalan tidak rapi atau tidak estetis. Tidak ada perhatian terhadap nilai-nilai lingkungan dan kearifan lokal,” ujar Dedi.
Ia menilai, Cirebon dan wilayah lain di Jawa Barat sebetulnya tidak kekurangan potensi. Justru sebaliknya, kota tersebut memiliki segalanya dari kekayaan arsitektur, seni, hingga kuliner tradisional yang lahir dari filosofi hidup harmoni dengan alam.
1. Cirebon punya segalanya, tapi takut menjadi diri sendiri
Menurut Dedi, salah satu penyebab stagnasi kemajuan adalah krisis kepercayaan terhadap identitas lokal.
Ia menjelaskan, Cirebon memiliki warisan arsitektur hebat seperti tajuk dari Sunan Gunung Jati, gapura-gapura tradisional yang tertata indah, hingga kuliner sederhana namun berfilosofi seperti nasi jamblang yang hanya dibungkus daun jati.
Dedi memuji kesederhanaan makanan rakyat seperti nasi jamblang sebagai wujud adaptasi lingkungan yang punya nilai ekonomi berkelanjutan, tanpa eksploitasi.
"Cirebon bisa seperti Bali atau Jogja, yang tidak pernah malu mengakui leluhurnya,” ujarnya.
2. Pembangunan tanpa cinta, seperti transaksi dingin
Dedi menyesalkan, banyak proyek infrastruktur di Cirebon hari ini kehilangan sentuhan artistik dan nilai.
"Saya ingin sekali bangun pagar khas Cirebonan di kampung saya. Tukangnya saya latih dulu satu bulan, karena saya cinta pada leluhur saya,” kata Dedi.
Sebaliknya, ia melihat banyak bangunan di Cirebon dibangun dengan desain asal-asalan. Menurutnya, hal itu terjadi karena semuanya berorientasi proyek.
Bahkan dengan bahasa yang keras, ia menyamakan pembangunan berbasis proyek semata dengan praktik hubungan transaksional tanpa cinta.
“Kalau proyek sudah berorientasi pada keuntungan duluan, maka dia pasti mengurangi ini-itu. Seperti hubungan transaksional. Setelah selesai, buang badan, tak peduli lagi apa jadinya,” ujarnya.
Dedi juga menyinggung mentalitas sebagian pelaksana pembangunan yang tidak mengindahkan nilai-nilai kebersamaan, estetika, dan keberlanjutan lingkungan.
Jalan-jalan dibuat tanpa drainase yang meresap, pohon-pohon khas lokal tidak ditanam, dan tembok dibangun dengan desain tidak mencerminkan karakter daerah.
3. Bangun berdasarkan cinta dan kearifan lokal
Sebagai solusi, Dedi menawarkan model pembangunan yang berpijak pada filosofi cinta terhadap alam dan budaya. Jalan-jalan kecil di gang, katanya, harus dipasangi paving blok agar air meresap, bukan diaspal.
Di pinggir-pinggir jalan, pohon khas seperti jamblang harus ditanam sebagai identitas kota. “Kalau kita punya nasi jamblang, ya pohon jamblangnya harus ditanam. Itu logika yang sederhana tapi bermakna,” ujarnya.
Ia juga mendorong agar kantor-kantor pemerintahan di Cirebon menanam pohon jati di halaman belakangnya.
Lebih dari sekadar fisik, pembangunan menurut Dedi harus menumbuhkan rasa bangga terhadap asal-usul. Ia menceritakan pengalamannya mengunjungi kampung-kampung adat dan keluarga miskin di pelosok Jawa, yang tetap bisa hidup mandiri dan menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi besar, berkat pemanfaatan alam secara arif.
“Kalau bangun jalan atau tembok dengan cinta, hasilnya akan indah dan awet. Tapi kalau hanya karena uang, akan cepat rusak dan tidak bermakna,” tutup Dedi.