Curhat Pebisnis Ihwal Ormas: Minta Kelola Katering Sampai Olah Limbah

Bandung, IDN Times - Belakang ini marak isu mengenai keberadaan organisasi masyarakat (ormas) yang dianggap meresahkan dunia usaha. Bukan hanya bisnis besar, pedagang kecil pun berteriak dengan banyaknya gangguan dari ormas yang menganggu iklim usaha.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat (Jabar) Ning Astutik menyebut memang berbisnis di dalam negeri kerap dihadapkan dengan banyak ormas baik yang berizin maupun tidak. Sebenarnya gangguan yang dilakukan oleh ormas tidak hanya terjadi di kawasan industri, tetapi juga di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di luar kawasan industri.
Menurutnya, gangguan tersebut dapat berupa pemaksaan penggunaan material bangunan dari kelompok tertentu, intervensi dalam proses penerimaan karyawan, serta pemaksaan dalam pengadaan katering atau barang lainnya. Selain itu, terdapat pula pemaksaan dalam pengelolaan limbah yang dilakukan ormas.
"Gangguan lainnya meliputi pungutan uang keamanan, yang bahkan berlaku untuk kendaraan logistik yang keluar masuk area industri, hingga pemblokiran akses menuju perusahaan atau kawasan industri," ujar Ning, Rabu (19/2/2025).
1. Mereka memaksa meski tidak paham
Permintaan ini pun banyak yang tidak dipenuhi oleh pelaku usaha. Musababnya, terdapat tantangan yang dihadapi perusahaan ketika memberikan kontrak kerja kepada masyarakat setempat.
Contohnya, dalam pengadaan katering di mana pada awalnya pengiriman berjalan lancar selama satu hingga dua pekan, tapi kemudian mengalami kendala seperti keterlambatan bahan baku atau penurunan kualitas yang tidak sesuai standar.
"Mereka juga kurang memahami bahwa dalam hal pemenuhan katering, terdapat persyaratan dari perusahaan seperti aspek kebersihan (hygiene), kualitas bahan makanan, serta standar gizi seperti kandungan kalori harus benar-benar diperhatikan," ungkap Ning.
Kendala juga terjadi dalam hal pengadaan material bangunan di mana pengiriman berjalan lancar dalam beberapa hari pertama, tapi kemudian mengalami kendala seperti keterlambatan pengiriman, menurunnya kualitas, dan banyak dari mereka tidak memiliki modal dan pengetahuan yang cukup.
"Sehingga pada ujungnya mereka menjual kontrak tersebut kepada pihak lain," kata Ning.