Cuaca Tak Menentu, Produksi Garam Cirebon Terganggu

- Gangguan cuaca dan imbasnya pada produksi garam - Fenomena kemarau basah mengganggu proses penguapan air laut, mengurangi kualitas dan kuantitas garam yang dihasilkan.
- Kerugian petambak garam dan ancaman masa depan usaha garam rakyat - Petani garam rakyat mengalami kerugian besar, harus menjual dengan harga rendah, dan tidak memiliki perlindungan terhadap cuaca ekstrem.
- Upaya mitigasi dan dukungan pemerintah untuk ketahanan produksi garam - Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Cirebon merancang program pendampingan teknologi bagi petani garam, termasuk penguatan sistem informasi cuaca.
Cirebon, IDN Times - Produksi garam di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat kini menghadapi tantangan berat akibat perubahan pola cuaca. Fenomena kemarau basah yang terjadi selama beberapa pekan terakhir telah mengganggu proses produksi garam di tambak-tambak rakyat.
Biasanya, musim kemarau adalah masa panen yang ditunggu-tunggu para petani garam di Cirebon. Proses penguapan air laut yang terjadi selama kemarau membuat kristal garam terbentuk sempurna, sehingga menghasilkan garam berkualitas tinggi.
Namun, kondisi yang terjadi belakangan ini sangat berbeda. Curah hujan yang cukup tinggi masih terjadi meskipun sudah memasuki musim kemarau, yang dikenal dengan istilah kemarau basah.
1. Gangguan cuaca dan imbasnya pada proses produksi garam

Kepala Bidang Perikanan Tangkap, Pengolahan dan Pengawasan Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, Ahmad Baihaqi, menjelaskan fenomena kemarau basah ini merupakan anomali iklim yang disebabkan oleh sejumlah faktor global, seperti la nina .
"Hujan yang terus turun pada saat seharusnya panen menyebabkan air laut di tambak menjadi encer kembali, sehingga proses penguapan tidak berjalan maksimal dan kristal garam tidak bisa terbentuk dengan baik,” ujar Ahmad, Sabtu (7/6/2025).
Akibatnya, siklus panen yang biasanya berlangsung selama 10 hingga 15 hari menjadi terganggu bahkan gagal total. Garam yang dihasilkan tidak hanya berkurang kuantitasnya, tetapi juga kualitasnya menurun drastis.
Kristal garam yang tercampur air hujan menjadi kusam, basah, dan mudah hancur, sehingga sulit disimpan dan tidak memenuhi standar kualitas industri.
2. Kerugian petambak garam dan ancaman nasa depan usaha garam rakyat

Kondisi ini berimbas langsung pada pendapatan petani garam rakyat. Baihaqi mengungkapkan, banyak petambak yang kini mengalami kerugian besar karena hasil panen menurun, bahkan sebagian harus menjual garam dengan harga sangat rendah di pasar tradisional.
Menurutnya, situasi ini menunjukkan betapa rapuhnya usaha garam rakyat di Cirebon terhadap perubahan iklim yang semakin tidak menentu. Sebagian besar petani masih menggunakan metode tradisional yang sangat bergantung pada kondisi alam, sehingga tidak memiliki perlindungan terhadap cuaca ekstrem.
Bila kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya intervensi teknologi atau dukungan pemerintah, bukan tidak mungkin petambak garam akan meninggalkan usahanya, yang tentu akan berdampak pada pasokan garam nasional.
"Banyak petambak yang tidak mampu menutupi biaya produksi, apalagi menyiapkan modal untuk musim panen berikutnya,” katanya.
3. Upaya mitigasi dan dukungan pemerintah untuk ketahanan produksi garam

Menanggapi situasi ini, Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Cirebon tengah merancang berbagai program pendampingan bagi para petani garam.
Salah satu yang sedang dikaji adalah penerapan teknologi seperti penggunaan alat penutup tambak dan geomembran yang dapat membantu menjaga kestabilan proses penguapan meskipun cuaca tidak menentu.
Baihaqi menegaskan, pendampingan ini tidak hanya berupa bantuan sekali pakai, tetapi lebih kepada pengenalan teknologi dan pelatihan agar petani mampu beradaptasi dengan kondisi iklim yang berubah.
Selain itu, penguatan sistem informasi cuaca juga menjadi fokus utama, sehingga petambak dapat memantau prakiraan cuaca dan mengambil langkah cepat jika hujan mendadak terjadi.
“Kami juga mendorong petambak agar menyesuaikan target panen dengan kondisi yang ada, misalnya dengan memperpendek siklus panen agar kerugian dapat diminimalisir,” tambah Ahmad.