Bandung, IDN Times – Fenomena Citayam Fashion Week (CFW) yang menjadi pembicaraan belakangan ini dapat dipahami dari berbagai sudut pandang. Tidak sedikit orang yang menilai youth culture ini sebagai sebuah kritik terhadap konsumerisme yang dilahirkan para pesohor dan influencer lewat berbagai platform media sosial.
Dengan penuh percaya diri para model CFW, yang sebagian besar berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke bawah, melenggang di kawasan Dukuh Atas, Jakarta. Zebra cross dan ruang-ruang publik perkotaan telah menjadi “panggung catwalk” yang disadari atau tidak, menawarkan budaya baru berupa alarm pemberontakan terhadap arus fashion kelompok pemuda ekonomi mapan.
Budaya akar rumput ini pun mendapat perhatian. Dengan memanfaatkan kinerja media sosial, nama para model CFW seperti Roy, Bonge, Jeje, hingga Kurma, meroket dan mulai dikenal banyak orang.
Sosiolog Universitas Airlangga (Unair), Tuti Budirahayu melihat dari beberapa sisi munculnya fenomena ini. Tuti memandang Citayam Fashion Week sebagai salah satu perlawanan yang terselubung dari anak-anak muda yang bertempat di daerah-daerah penyangga ibu kota.
Kawasan yang ada di tempat mereka tidak semegah Jakarta, khususnya kawasan SCBD. "Anak-anak muda ini kehilangan ruang berekspresi di kawasannya," ujarnya kepada IDN Times Jatim, Senin (25/7/2022).
Dari sinilah, mereka mencari tempat untuk bisa dilihat oleh orang banyak, kemudian dibuat konten di media sosial. "Tempat yang mereka pilih ini terjangkau dari transportasi massal. Titik tengahnya ada di sekitar SCBD. Menurut saya tempatnya cantik, banyak gedung-gedung megah," ungkap Tuti.
"Saya melihat catwalk-nya mereka itu bagian dari ketimpangan yang mereka alami," katanya. "Ini ide kreatif mereka yang dalam tanda kutip menunjukkan perlawanan terhadap ketimpangan yang terjadi antarwilayah," ujar Tuti menambahkan
Namun, dalam kacamata bisnis hingga politik, komunitas dan atensi budaya baru adalah sesuatu yang tak boleh dilewatkan. Bagaimana tidak, mendapat perhatian massa adalah harapan tiap pebisnis dalam mendulang cuan, juga politikus dalam menghimpun kepercayaan. Maka, jangan heran jika belum sempat berbulan-bulan Citayam Fashion Week digelar, pebisnis hingga politikus sudah mejeng di sana.
Bahayanya, nilai-nilai dalam urusan bisnis dan politik justru merupakan racun bagi gerakan budaya ekonomi menengah ke bawah. Kita dapat berkaca dari sejarah Harajuku, budaya pemberontakan fesyen di Jepang, yang akhirnya mati setelah tersentuh kepentingan bisnis.